Asia Regional Conference on Enhancing Collective Advocacy, Action and Empowerment of Domestic Workers in Asia

Solidaritas Perempuan Menyuarakan Pengalaman Pekerja Migran Domestik  Untuk Mendorong Terwujudnya Perlindungan yang Komprehensif
Oleh: Risca Dwi

Filipina, 22-24 Oktober 2017, Solidaritas Perempuan menghadiri konferensi regional se-Asia dengan tema “Enhancing Collective Advocacy, Action and Empowerment of Domestic Workers in Asia” yang diselenggarakan oleh Migrant Forum in Asia (MFA) bekerjasama dengan International Domestic Workers Federation (IDWF) di Hotel Jen, Manila.

Konferensi ini dihadiri oleh perwakilan dari pekerja rumah tangga (PRT)/serikat PRT, pemimpin dan perwakilan dari organisasi masyarakat sipil, serikat pekerja, organisasi buruh migran, organisasi berbasis agama, organisasi perempuan, dan jaringan pengacara yang berasal dari Negara-negara di Asia diantaranya Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, Sri Lanka, Hong Kong, Taiwan, Kuwait, Qatar, Jordan and Lebanon. Konferensi juga turut menghadirkan perwakilan anggota parlemen dari anggota Negara ASEAN yaitu Bangladesh, Cambodia dan Nepal.

Konferensi ini ditujukan untuk menyediakan ruang bersama bagi PRT, organisasi masyarakat sipil, pengacara, dan pemerintah untuk dapat berbagi keberhasilan dan tantangan yang dihadapi dalam memajukan agenda perlindungan hak bagi PRT, mengidentifikasi isu-isu kunci yang menjadi prioritas, memetakan inovasi-inovasi baru yang mungkin dilakukan, serta menyusun strategi advokasi dan aksi regional dalam hal memberdayakan dan mewujudkan kerja layak untuk PRT. Selain itu, konferensi ini juga dimaksudkan untuk mendorong anggota parlemen Negara-negara di Asia untuk membuka ruang diskusi mengenai Konvensi ILO 189 termasuk membuka peluang untuk dimulainya proses ratifikasi.

Maia D. Montenegro, pekerja domestic asal Filipina dan Dina Nuryati, mantan PRT Migran asal Indonesia menjadi pembicara utama yang membuka rangkaian sesi selama 3 hari. Maia memaparkan situasi persoalan yang pernah dihadapinya mulai dari upah yang rendah, minimnya akses, dan tidak mendapatkan hari libur. Perjuangan bertahun-tahun yang dilakukannya bersama PRT dan jaringan lain membuahkan hasil dengan disahkannya RUU Perlindungan PRT dan diratifikasinya Konvensi ILO 189 sehingga Filipina menjadi Negara pertama yang memiliki kebijakan tentang Perlindungan PRT di ASEAN. Sementara, Dina menekankan pada pentingnya menjaga semangat dan solidaritas dalam membangun perjuangan sehingga semua persoalan dan tantangan yang muncul dapat diatasi secara bersama-sama. Refleksi dari pengalamannya, Dina berpesan untuk tidak meninggalkan perjuangan ketika sudah mendapatkan kesempatan belajar dan mengembangkan kapasitas diri merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk merawat perjuangan tersebut.

Pada forum ini, Solidaritas Perempuan yang diwakili oleh Risca Dwi juga menyampaikan pandangan berbasis pengalaman Solidaritas Perempuan selama berinteraksi dengan perempuan buruh migran yang mayoritas bekerja sebagai (PRT) di luar negeri. Risca memaparkan situasi kerentanan dan kekerasan berlapis yang dialami perempuan buruh migran sejak sebelum masuk dalam proses migrasi hingga kembali ke kampung halamannya. Kerentanan dan kekerasan tersebut muncul karena masih kuatnya ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Terlebih perempuan yang bekerja sebagai pekerja domestik (PRT) belum mendapat pengakuan sebagai pekerja dihampir semua negara ASEAN, menjadi faktor kuat terjadinya ketidakadilan dan pelanggaran hak perempuan sebagai pekerja. Perempuan PRT Migran mengalami diskriminasi berlapis yang berbasis gender, seksualitas, kelas sosial, ekonomi, agama, dan ras.

Pada sesi dialog dengan anggota parlemen, wakil dari Cambodia menjelaskan tentang dinamika politik kepentingan yang menjadi tantangan untuk memajukan agenda kebijakan perlindungan PRT. Tantangan lain muncul dari belum terbangunnya persamaan pemahaman akan pentingnya kebijakan tersebut terutama di tingkat pemerintah sehingga penting bagi dirinya sebagai anggota parlemen untuk mendorong kerjasama antar pemerintah. Sementara wakil parlemen dari Nepal juga memaparkan situasi persoalan yang sama, namun dia mengusulkan agar agenda mendorong kebijakan perlindungan bagi PRT juga dapat di munculkan pada momen pemilihan wakil parlemen melalui kontrak politik. Situasi persoalan dan tantangan yang dihadapi oleh kedua Negara tersebut serupa dengan apa yang terjadi di Indonesia. Selama 13 tahun, perjuangan PRT dalam mendorong RUU PPRT untuk segera dibahas dan disahkan masih terganjal oleh tidak adanya keseriusan pemerintah dan DPR untuk mewujudkan perlindungan bagi PRT baik yang bekerja di dalam maupun luar negeri.

Diakhir konferensi, peserta menyepakati sebuah pernyataan sikap bersama yang disampaikan untuk anggota Negara-negara ASEAN dalam ASEAN Migrant Forum on Migrant Labour (AFML) ke 10, untuk memperhatikan dan berkomitmen pada empat isu besar yang terdiri dari perlindungan PRT dalam undang-undang ketenagakerjaan dan sosial, prinsip-prinsip dan hak-hak dasar di tempat kerja bagi PRT, jaminan perlindungan sosial, dan akhiri xenophobia, serta diskriminasi, khususnya bagi pekerja rumah tangga.

Translate »