Liputan Diskusi Gerakan Perempuan bersama Media
Jakarta, Jum’at 13 Desember 2019. Solidaritas Perempuan menginisiasi diskusi gerakan perempuan Indonesia bersama media sebagai bagian dari rangkaian kegiatan peringatan 29 tahun Solidaritas Perempuan. Diskusi media ini menjadi ruang interaksi antara gerakan perempuan dan rekan-rekan media massa sebagai upaya untuk membangun pemahaman bersama mengenai kondisi dan situasi perempuan di Indonesia saat ini. Adapun tema yang dibahas dalam diskusi ini adalah “Refleksi dan Proyeksi Agenda Politik Perempuan Indonesia” dengan menghadirkan narasumber dari gerakan perempuan yang memiliki latar belakang pengalaman maupun fokus kerja yang berbeda-beda. Di antara narasumber tersebut antara lain Atnike Sigiro (Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan), Fr. Yohana Tantria Wardani (Wakil Ketua Bidang Program Pegembangan Komunitas Kalyanamitra), Ratna Batara Munti (Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan), Kanzha Vina (Koordinator Sanggar Swara), Mutiara Ika Pratiwi (Koordinator Perempuan Mahardhika), Ulfa Kasim (Koordinator Pendidikan Feminis Kapal Perempuan), Dian Kartika Sari (Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia) dan Dinda Nuurannisaa Yura (Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan).
Diskusi dengan media ini berlangsung sejak pukul 14.00 dan berakhir di pukul 17.00 yang dimoderasi oleh Ratna Fitriani, anggota Solidaritas Perempuan. Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura dalam pernyataan pembukanya menyampaikan, bahwa gerakan perempuan hari ini berhadapan dengan meningkatnya fundamentalisme radikal dalam hal interpretasi agama maupun pasar. Keyakinan akan kebenaran tunggal dalam hal interpretasi agama maupun dalam hal pembangunan ekonomi telah berakibat pada hilangnya segala pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh perempuan, yang berdampak pada terus terjadinya kekerasan dan penindasan berlapis terhadap perempuan. Fundamentalisme radikal menyasar tubuh, pikiran, ruang gerak, maupun hasil kerja perempuan untuk dikendalikan. Sehingga, menjadi hal yang penting untuk terus menyuarakan dan memperjuangkan kedaulatan perempuan. Termasuk untuk terus menguatkan konsolidasi di antara gerakan perempuan.
Lebih lanjut, Dian Kartika Sari dari Koalisi Perempuan Indonesia menyampaikan bahwa semua isu merupakan isu perempuan, dan semua isu merupakan isu politik. Namun sayangnya tidak banyak organisasi perempuan yang bergerak bersuara tentang akses perempuan terhadap sumber daya alam sebagai sumber kehidupan. Solidaritas Perempuan di usianya yang ke-29 tahun tetap konsisten dalam perjuangan tersebut. Selanjutnya Fr. Yohana Tantria Wardani dari Kalyanamitra juga menyampaikan terkait pentingnya penguatan dan pendidikan politik pada perempuan guna menguatkan kesadaran kritis ditengah menguat pula konsolidasi dan narasi lawan dari kelompok anti feminis. Koordinator Jaringan Kerja Prolegnas Pro Perempuan (JKP3), Ratna Batara Munti menceritakan proses panjang perjuangan feminis dalam mempengaruhi legislasi nasional. Keberhasilan yang patut diingat salah satunya adalah advokasi UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang setelah melalui proses yang panjang. Namun hari ini, tantangan yang harus dihadapi adalah menguatnya narasi anti feminis yang banyak didorong oleh kelompok-kelompok fundamentalisme agama. Hal ini terjadi tidak hanya di tingkat nasional, tapi juga di daerah melalui berbagai kebijakan diskriminatif.
Persoalan lain yang disuarakan oleh Ulfa Kasim dari KAPAL Perempuan adalah soal pendidikan yang diskriminatif bagi perempuan. Tidak hanya dalam hal akses tapi juga substansi dalam kurikulum pendidikan di Indonesia. Terlebih perkembangan hari ini, ada tren dimana pendidikan diarahkan pada pendidikan keluarga berbasis agama tertentu saja dan mengabaikan agama lainnya. Sementara itu, Mutiara Ika dari Perempuan Mahardika menyampaikan pentingnya gerakan perempuan menguatkan konsolidasi bersama dalam melawan tindakan represi negara hari ini yang semakin masif dan berorientasi pada investasi. Khususnya pada konteks perempuan buruh dan industrialisasi yang menjadi perspektif pembangunan ekonomi Pemerintah hari ini yang meminggirkan kepentingan warga hanya mengutamakan kepentingan segelitir oligarki.
Khanza Vina, Koordinator Sanggar SWARA mengkritisi terjadinya pergeseran perspektif masyarakat menjadi sangat biner. Padahal jika melihat pada tradisi dan budaya yang hidup dalam masyarakat Indonesia, telah lama hidup berbagai identitas maupun ekspresi gender. Tapi saat ini, kebencian terhadap kelompok LGBT semakin menguat dan seringkali digunakan dalam hal mengalihkan perhatian masyarakat dari kasus korupsi ataupun kasus lainnya yang terkait langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Transpuan yang telah mengalami diskriminasi bahkan sejak kecil pun saat ini harus kehilangan hak-haknya sebagai warga negara, bahkan dipersekusi dan mengalami kekerasan. Sebagai penutup, Atnike Sigiro dari Jurnal Perempuan menegaskan bahwa subordinasi dan marjinalisasi pada perempuan yang semakin menguat dan langgeng sesungguhnya menguntungkan penguasa. Posisi dan persoalan yang dialami perempuan masih dianggap sepele oleh penguasa, hal ini jelas terlihat dan dapat kita rasakan dalam beberapa hari belakangan bagaimana lambatnya pengesahan RUU Penghapusan kekerasan seksual, sementara diskriminasi dan kekerasan seksual yang dialami perempuan terus menguat. Munculnya gerakan reformasi dikorupsi menjadi relevan dan penting untuk ada hari ini sebagai bentuk perlawanan kita pada kekuasaan yang oligarki dan berwatak patriarki hari ini.
Melawan patriarki, adalah melawan struktur kuasa yang menindas perempuan. Artinya, perlawanan yang selama ini dilakukan perempuan adalah juga perlawanan terhadap oligarki, di mana konsolidasi oligarki hari ini, telah membuat negara tidak memenuhi tanggung jawabnya, dan justru digunakan sebagai alat yang memiskinkan dan menindas perempuan, maupun masyarakat marjinal lainnya. Diskusi dengan media ini kemudian dilanjutkan dengan sesi pertanyaan dari media maupun publik yang hadir, termasuk di antaranya adalah kelompok muda.