Hadapi Bencana Pasar Bebas, Perempuan Indonesia Bergerak Merebut Kedaulatan
Jakarta, 22 Desember 2015. Perempuan petani, perempuan nelayan, dan perempuan buruh migran melihat bahwa perjanjian perdagangan bebas yang mengikat Indonesia sebagai sebuah bencana yang merampas sumber-sumber kehidupan perempuan. Pemerintah Jokowi – JK tidak juga memutuskan untuk keluar dari WTO meskipun negosiasiasi-negosiasinya menghasilkan skema yang mematikan petani dan nelayan tradisional. Perkembangan terakhir, Menteri Perdagangan justru sibuk ikut memperjuangkan kepentingan negara maju dan abai akan kepentingan rakyat. Pemerintah Indonesia lebih fokus pada ‘isu Singapura’ yang terkait dengan investasi dan aturan persaingan usaha yang akan memberikan keuntungan kepada para investor dari negara-negara maju. Akibatnya Indonesia kehilangan kesempatan untuk meningkatkan subsidi bagi petani dan nelayan.
Tidak adanya subsidi dan bantuan pemerintah terhadap petani dan nelayan tradisional menjadikan hasil produksi petani dan nelayan tidak kompetitif jika dibandingkan dengan produksi pertanian dan perikanan dari negara maju. Khusus bagi perempuan petani dan nelayan, ketimpangan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya antara laki-laki dan perempuan memperburuk dampak yang dialaminya. Perempuan petani dan nelayan dengan akses dan kontrol terhadap sumber daya yang terbatas dipaksa bersaing dengan hasil produksi pertanian dan perikanan dari negara maju atau bahkan perusahaan pangan.
Pun jelang berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Pemerintah sibuk dengan jargon peningkatan daya saing. Hal ini menunjukan negara berpikir sempit bahwa ekonomi hanya soal memproduksi, sehingga mengabaikan hubungan simbiosis antara peran produksi, yang dianggap sebagai peran laki-laki dan reproduksi yang biasanya dilakukan oleh perempuan. Hal ini tentunya mengecualikan peran ekonomi sebagian besar perempuan yang selama ini memiliki peran aktif di dalam ekonomi, sebagai petani, nelayan, buruh, maupun peran ekonomi lainnya. Perempuan tidak dianggap sebagai subjek dalam ekonomi, sehingga perempuan tidak pernah diperhitungkan dalam berbagai kebijakan perekonomian. Hal ini terlihat dari ASEAN Community yang menempatkan perempuan hanya dalam pilar Sosial-Budaya sebagai kelompok masyarakat yang perlu ‘disantuni’ dan tidak dalam kedua pilar lainnya.
Berbagai skema di atas telah merebut kedaulatan perempuan atas tanah maupun sistem pengelolaan pangan. Perempuan terus dipinggirkan dari sumber-sumber kehidupannya di desa, sehingga seringkali terpaksa harus bermigrasi ke luar negeri untuk bekerja dengan perlindungan yang minim. Termasuk ketika peringatan 22 Desember yang merupakan hari dimana perempuan memperjuangkan ruangnya untuk terlibat dalam persoalan rakyat kemudian disempitkan hanya menjadi peringatan atas salah satu peran perempuan saja. Karena itu, pada hari gerakan perempuan Indonesia, perempuan kembali berjuang untuk bergerak merebut kedaulatannya dalam menghadapi bencana pasar bebas.
CP: Arie (arieska@solidaritasperempuan.org)