Jakarta, 18 Oktober 2017. UU No. 7 Tahun 2016 telah mendiskriminasi perempuan karena identitas perempuan hanya dilekatkan kepada laki-laki sebagai bagian dari keluarga nelayan. Ketiadaan legitimasi ini berdampak terhadap terpinggirkannya perempuan dari upaya perlindungan dan pemberdayaan yang ditujukan bagi nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam. Perempuan tidak bisa mengakses, mengontrol, berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari kebijakan maupun program yang direncanakan untuk perlindungan maupun pemberdayaan.
Selanjutnya, pola pemberdayaan ekonomi yang diterapkan pemerintah pada perempuan pesisir tanpa membongkar relasi kuasa hanya akan memperkuat ketidakadilan gender bagi perempuan nelayan. Tidak dianggapnya perempuan sebagai pencari nafkah utama, penghasilan tambahan, menjadikan perempuan hanya dimanfaatkan oleh suaminya untuk bisa mengakses modal tapi kontrol atas pemanfaatan modal tersebut masih di tangan laki-laki.
Hilangnya wilayah kelola baik petani maupun melayan juga merupakan kontribusi proyekproyek
investasi baik perusahaan nasional atau asing. Reklamasi menjadi contoh bagaimana perempuan nelayan kehilangan sumber kehidupan akibat ancaman penggusuran dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah seringkali tidak melakukan analisis potensi dampak yang berbeda terhadap perempuan dan tidak melibatkan perempuan dalam proses konsultasi. Selain itu, masuknya perusahaan-perusahaan melalui perkebunan monokultur ataupun mekanisasi pertanian juga merupakan contoh penghilangan sumber kehidupan perempuan.
Dalam banyak kasus perampasan sumber kehidupan ini kemudian berkorelasi dengan masifnya perpindahan (migrasi) masyarakat terutama perempuan ke kota atau atau bahkan ke luar negeri untuk mencari sumber kehidupan lain. Dan tanpa kebijakan perlindungan buruh migran yang memadai, perempuan seringkali harus berhadapan dengan pelanggaran hak, kekerasan dan bahkan ancaman hukuman mati di negeri orang. Upaya perlindungan terhadap petani, nelayan, pembudidaya ikan dan petambak garam sejatinya telah dimanifestasikan melalui beberapa produk perundang-undangan yakni Undang-Undang Pangan, Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam serta Undang-Undang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Bahkan dalam konteks perlindungan terhadap perempuan telah diintegerasikan upaya pengarusutamaan gender dalam seluruh kememterian di Indonesia agar dalam setiap rencana dan anggaran dalam bersifat adil gender.
Meskipun pengaturan mengenai perlindungan terhadap para produsen pangan ini belum maksimal, jangan sampai Pemerintah justru mundur membelakangi beberapa upaya yang telah dilakukannya, melainkan bergerak maju untuk melindungi para petani, nelayan dan produsen pangan lainnya.
Sumber:
Majalah Kartini (http://majalahkartini.co.id/berita/peristiwa/5-kebijakan-meraih-kedaulatan-pangan/)