Feminist Economy Solidarity sebagai Upaya Kolektif Perempuan Akar Rumput Melawan Ekonomi Kapital

Bukan lautan hanya kolam susu..
Kail dan jala cukup menghidupimu..

Orang bilang tanah kita tanah surga..
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman..

Begitulah penggalan lirik dari ‘Kolam Susu’ yang dirilis Koes Plus pada tahun 1973. Lagu yang menjadi hits pada zamannya ini bahkan masih familiar didengar hingga hari ini. Namun, apakah kita masih bisa hidup seperti lagu Koes Plus di tengah gempuran kapitalisme hari ini?

Saat kita mendengar lagu ini, mungkin Yok Koeswoyo sebagai penulis belum dihadapkan dengan sulitnya menanam ataupun menangkap ikan hari ini. Kekayaan alam yang ada saat dulu belum dipenuhi proyek-proyek pemerintah yang klaimnya memakmurkan masyarakat meski pada kenyataannya proyek-proyek yang ada saat ini tak jauh dari kepentingan penguasa guna memperkaya diri dan kelompoknya dalam mengontrol perekonomian. Memangnya bagaimana caranya kapitalisme bekerja?

Mungkin kita tidak sadar bahwa apa yang ada hari ini sesungguhnya telah dikendalikan oleh sistem ekonomi dan tidak terlepas dari politik sebagai alatnya. Siapa yang bisa menebak apabila tiga bulan ke depan harga bahan pangan akan naik dan susah didapat karena tingginya permintaan pasar? Tidak jarang kita menemui harga bawang mencapai Rp. 120.000,-/kg atau harga daging yang mencapai Rp. 180.000,-/kg, itu pun sulit untuk didapat karena langka. Sama halnya dengan harga minyak sawit yang naik dua kali lipat dan sulit untuk didapat. Padahal, di balik itu semua, pemerintahlah yang berperan untuk mengontrol harga ataupun ketersediaan di pasar.

Di balik kelangkaan itu semua, kita tidak sadar bahwa pola konsumsi kita telah dibangun sehingga kita menjadi ketergantungan pada produk-produk yang ada di pasar hari ini. Sistem ekonomi telah begitu menghegemoni, tidak hanya mempengaruhi selera kita tetapi juga keyakinan kita terkait produk-produk industri yang terus dipromosikan dan didukung oleh berbagai kebijakan. Dilihat dari sejarahnya, industri sawit masuk ke Indonesia bersamaan dengan izin Departemen Kehutanan dalam pembukaan hutan dan lahan selama kurun waktu 1980-an. Sebanyak 2 juta hektar lahan hutan dibersihkan guna perkebunan dan transmigrasi.[1] Hal ini tidak terlepas dengan banyaknya konflik agraria di Era Orde Baru. Banyaknya merek minyak sawit di pasar juga tak lepas dari gurita bisnis yang dimiliki oleh orang yang sama. Sehingga, kapitalisme telah mengontrol konsumsi kita dengan memonopoli apa yang kita konsumsi sehari-hari. Praktiknya pun lekat dengan proses penguasaan yang merampas, menggusur, dan memiskinkan masyarakat, tidak terkecuali perempuan.

Berdasar dari situasi tersebut, Solidaritas Perempuan membangun dan memperkuat gerakan kolektif dalam sebuah perlawanan. Berangkat dari pengetahuan perempuan dan kearifan lokal yang telah tumbuh dan secara turun-temurun dilakukan oleh perempuan, Solidaritas Perempuan membangun Feminist Economy Solidarity (FES) bersama perempuan akar rumput di daerah pengorganisiran Solidaritas Perempuan. Feminis merupakan nilai utama yang menjadi titik tumpu sebagai dasar berjalannya kemandirian ekonomi kolektif ini. Dengan sistem ekonomi global yang berorientasi pada penumpukan modal dan pasar komersial dengan skala besar, Solidaritas Perempuan menilai bahwa sistem ini telah meminggirkan nilai-nilai kemanusiaan dan mengutamakan kompetisi untuk kepentingan individu. Lebih lanjut, hal ini juga menyingkirkan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam pengelolaan pangan, yang selama ini dijaga dan dilestarikan secara turun temurun. Padahal, pengelolaan pangan yang subsisten dan lestari terbukti telah mendukung daya tahan masyarakat dalam menghadapi berbagai krisis.

Selama ini, saat kita berbicara ekonomi maka hal itu tidak terlepas dari konteks global, di mana modal selalu diorientasikan dalam bentuk uang. Padahal bila kita melihat potensi perempuan akar rumput, diri mereka sendiri adalah modal yang dapat menghasilkan nilai ekonomi, dan memenuhi kebutuhan mereka secara mandiri. Modal inilah yang dijadikan untuk berlawan dan merebut hak-haknya kembali. Seperti yang dilakukan oleh Kelompok Pertanian Lestari Karisma di Kulonprogo yang secara kolektif bercocok tanam organik sebagai bentuk inisiatif mereka menjaga kelestarian alam dan mandiri atas pangan. Dalam pengelolaannya, mereka juga saling berbagi pengetahuan lokal yang selama ini mereka lakukan guna menjaga pangan sehat dan berkelanjutan. Saat harga minyak sawit meroket dan mengalami kelangkaan, Wadon Wadas sudah memproduksi minyak kelapa sendiri dan tidak bergantung pada pasar. Dengan begitu, mereka telah melawan komoditas pasar hari ini, termasuk melawan penguasaan sawit yang mengekspansi secara besar-besaran dan merusak lingkungan.

Dalam FES, perempuan juga bersolidaritas dalam melakukan perlawanan. Di Seri Bandung, Palembang, Kelompok Perempuan Pejuang Seri Bandung (KPPS) menginisiasi FES dengan menganalisis potensi yang mereka miliki dan dapat dikelola. Melalui uji coba yang mereka lakukan, KPPS menghasilkan Emping Ubi Umak dengan menanam ubi di atas lahan mereka yang telah dirampas oleh PTPN Cinta Manis. Walau pada praktiknya, mereka hanya dapat menanam di tepi kebun, itu pun masih harus menghadapi potensi tanaman yang dirusak. Dengan menanam, mereka telah melawan dan melestarikan tanah mereka guna menghidupkan perjuangan mereka.

Selain itu, antar kelompok perempuan dalam FES juga sudah membangun rantai pasar yang baik antara satu kelompok dengan kelompok lainnya, mereka juga saling menguatkan dan menghidupi, seperti yang dilakukan oleh kelompok perempuan Desa Sidodadi. Di Sidodadi perempuan saling berbagi dan bertukar pangan sesuai dengan apa yang mereka tanaman di halaman rumahnya. Simbiosis mutualisme terjadi sedemikian baik di antara mereka karena tidak ada kompetisi dan keinginan untuk menguasai. Hal inilah yang menjadi pembeda dengan prinsip ekonomi kapitalis yang hanya berorientasi pada keuntungan.

Selain Kelompok Pertanian Lestari Karisma di Kulonprogo dan KPPS di Seri Bandung, FES juga terdapat di beberapa wilayah pengorganisiran Solidaritas Perempuan lainnya yang tentunya mengedepankan kearifan lokal dan pengetahuan yang mereka miliki di masing-masing wilayah. Melalui FES perempuan telah melawan penindasan melalui upaya kolektif, disamping menyokong perekonomian mereka, dan tentunya dengan mengasah solidaritas mereka. Sesungguhnya tongkat kayu dan batu akan jadi tanaman ketika tanah yang kita tanami dapat kita kelola secara merdeka. Melalui FES, perempuan juga akan merebut kedaulatannya sehingga FES hari ini dapat menjadi sarana fundraising bagi perempuan akar rumput guna menjadi bahan bakar perjuangan dan penguatan kolektivitas. Dengan begitu, kita dapat memperpanjang nafas perjuangan kita bersama.

[1] Norman Jiwan. The Political Ecology of the Indonesian Palm Oil Industry. Hal. 52. Dalam Oliver Pye dan Jayati Bhattacharya (edited by). 2013. The Palm Oil Controversy in Southeast Asia. A Transnational Perspective. ISEAS. Singapura.

Translate »