Solusi Iklim Palsu Negara dalam Negosiasi COP 29

Siaran Pers 14 November 2024 
Solidaritas Perempuan

Baku Azerbaijan, Utusan Khusus Delegasi Republik Indonesia, Hashim Sujono Djojohadikusumo di depan sidang plenary COP29 (12/11/2024).

Hashim dalam pidatonya mewakili Prabowo pada Leader Summit COP29 di Baku Azerbaijan, bertameng ambisi untuk mencapai target nol emisi di tahun 2060 dan pertumbuhan ekonomi 8% setiap tahunnya menggelar karpet merah seluas-luasnya untuk investasi. Alih-alih menjadi ruang intervensi dalam menuntut tanggung jawab negara utara yang banyak berkontribusi dalam parahnya krisis ikim yang terjadi hari ini di Indonesia, warisan narasi komodifikasi sumber daya alam malah terus dipertahankan.

Ada beberapa catatan penting solidaritas perempuan berkaitan dengan isi pidato tersebut:

Pertama, pelipatgandaan kapasitas energi bersih menjadi 75 GW akan meningkatkan konflik agraria dengan masyarakat. Mempercepat pertumbuhan, menciptakan lebih banyak lapangan kerja, memastikan ketahanan pangan, dan mengurangi kemiskinan dengan proyek energi bersih hanyalah mitos. Proyek Geothermal di Poco Leok dan PLTA Poso adalah beberapa dari sekian banyak contoh bagaimana proyek transisi energi yang digadang-gadang sebagai energi bersih terus melahirkan tindak kekerasan dan memiskinkan masyarakat, perempuan, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya. Masyarakat Sulewana di Kabupaten Poso, yang hidup di sekitar wilayah PLTA Poso 2 hari ini telah kehilangan sumber protein ikan karena tenggelamnya keramba-keramba dan zidat yang merupakan hewan endemik akibat meningkatnya debit air Sungai Poso untuk Aktivitas PLTA. Selain itu. Penggerusan dasar sungai Poso untuk menjamin ketersediaan debit air bagi operasional PLTA 2 juga menyebabkan rumah hingga tempat ibadah mengalami keretakan dan terancam roboh. Sementara di Poco Leok, proses pembangunan Geothermal telah merebut tanah adat, menimbulkan pencemaran air, menciptakan konflik sesama warga dan merusak tanah yang di atasnya ditanami Vanili, Cengkeh, Kakao dan Kopi serta menghilangkan pengetahuan perempuan tentang obat tradisional dari tumbuhan yang ada di sekitar wilayah pembangunan.

Dari contoh-contoh tersebut, terlihat bahwa tidak akan pernah ada keseimbangan antara pertumbuhan dan keberlanjutan lingkungan apabila pembangunan proyek transisi energi mengabaikan persetujuan masyarakat serta daya dukung dan daya tampung lingkungan. Bahkan masih jauh dari apa yang disebut transisi energi yang berkeadilan. Selain itu, pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Gender  yang telah dimiliki oleh Indonesia harus melampaui partisipasi perempuan, melainkan bagaimana aspek pemenuhan dan penghormatan hak perempuan atas sumber penghidupan, termasuk kerja-kerja perawatan yang dilakukan perempuan, juga menjadi bagian dari pertimbangan pelaksanaan transisi energi yang berkeadilan.

Kedua, Hashim juga menyampaikan jika “Presiden Prabowo membayangkan pertumbuhan ekonomi yang melebihi 8 persen per tahun, sambil memastikan pembangunan yang hijau, tangguh, dan inklusif bagi seluruh rakyat kita”. Kata inklusif  hanya akan menjadi jargon, jika dilakukan tanpa ada negosiasi yang kuat dari pemerintah Indonesia untuk memaksimalkan Gender Action Plan sebagai agenda utama pada COP 29, mengingat perempuan dan kelompok rentan merupakan penerima dampak berlapis dari krisis iklim. Dari hasil konsultasi iklim bersama perempuan di tapak, terlihat perempuan petani terus mengalami gagal panen, perempuan nelayan mengalami gagal tangkap karena cuaca ekstrim, kekeringan hingga terdampak bencana iklim yang berimbas pada hilangnya sumber penghidupan. Situasi-situasi kemudian tersebut mengharuskan perempuan melakukan migrasi yang eksploitatif.

Ketiga, ambisi restorasi dan rehabilitasi hutan 12,7 hektar pada Pemerintahan Prabowo Subianto juga menjadi target investasi yang juga dinegosiasikan pemerintah Indonesia pada COP 29. Food Estate sebagai Proyek Strategis Nasional berpotensi menjadi  karpet merah untuk eksploitasi sumber daya alam dan hutan. Proyek Food Estate, yang diklaim sebagai solusi krisis pangan oleh pemerintah, justru memperdalam krisis bagi perempuan dan petani kecil. Proyek ini tidak hanya menyebabkan hilangnya lahan pertanian produktif, tetapi juga memperburuk ketergantungan Indonesia pada impor pangan. Selain itu Restorasi hutan melalui proyek Food Estate hanya akan  mengulang kegagalan yang sama. Di Kalimantan Tengah, dari 30 titik yang dipantau dan bersinggungan dengan kawasan gambut lindung, ditemukan 15 titik lahan food estate seluas 4.159,62 hektare terbengkalai, sedangkan  seluas 274 hektare berubah menjadi kebun sawit. Kegagalan Food Estate seharusnya menjadi refleksi  yang serius  oleh pemerintah indonesia bukan justru mengobral  investasi melalui cop 29[1]. Tegas Armayanti Sanusi Ketua Solidaritas Perempuan, yang turut hadir dalam konferensi iklim tingkat global tersebut.

Menyikapi hal tersebut, Solidaritas Perempuan mendesak dan menuntut kepada pemerintah Indonesia agar :

  1. Menghentikan proyek transisi energi yang merebut hak hidup masyarakat, khususnya perempuan, masyarakat adat dan kelompok marjinal lainnya. Utamakan Hak Asasi Manusia serta pengakuan terhadap wilayah kelola sebagai sumber penghidupan perempuan
  2. Menghentikan perluasan proyek Food Estate sebagai solusi palsu krisis iklim, yang telah menciptakan feminisasi pemiskinan melalui penghancuran ruang kelola masyarakat dan eksploitasi sumber daya alam
  3. Menjalankan Rencana Aksi Gender Perubahan Iklim (RAN-GPI) dengan mengedepankan  partisipasi bermakna perempuan, serta memastikan  pemenuhan dan penghormatan hak perempuan atas sumber penghidupan.
  4. Mengakui pengetahuan perempuan dalam  melakukan aksi adaptasi dan mitigasi iklim
  5. Menuntut negara-negara utara menjalankan tanggung jawab historis melalui pendanaan iklim dengan mekanisme yang adil, transparan, langsung, responsif gender dan tidak dalam bentuk hutang.

Narahubung:
Amelia – 0822-9185-3619
Dina – 0858 7065 5315
———————-
[1] Food Estate: ‘Kegagalan berulang’ proyek lumbung pangan, sawah di Kalteng berubah jadi kebun sawit – BBC News Indonesia

Translate »