Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan bersama kelompok muda di Jakarta mengadakan Feminist Sunday Class pada 11 September 2022. Kegiatan yang dilakukan di Taman Menteng ini mengambil tema “RUU KUHP dan Anak Muda”. Ruang aman ini dibentuk guna merespon situasi dan menghidupkan kembali ruang dialektika kritis di kalangan kelompok muda. Masing-masing peserta diskusi menyuarakan kegelisahannya berkaitan dengan kondisi negara hari ini. Regulasi yang amburadul, kebijakan yang tidak pernah berpihak pada masyarakat, dan situasi negara yang semakin memiskinkan masyarakat. Setelah disahkannya UU Cipta Kerja (UUCK), UU Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), kini negara bersiap untuk mengesahkan Revisi Undang-undang Kitab Undang-Undang Peraturan Pidana (RUU KUHP).
Wacana revisi KUHP memang menjadi wacana panjang paska Indonesia merdeka. KUHP yang hingga hari ini digunakan oleh Indonesia adalah KUHP yang dirancang oleh kolonial Belanda, sehingga dalam proses pembuatannya tentu penuh dengan kepentingan kolonial yang saat itu menjajah Indonesia. Sehingga, dalam revisi KUHP hal yang mendasar adalah pentingnya menghilangkan perspektif kolonialisme dalam pengaturannya. Sayangnya, meski telah berjalan sejak 1964, draft yang ada masih tak bisa lepas dari corak kolonial, yang tentunya semakin membungkam demokrasi masyarakat, terutama perempuan.
Ada 37 kata perempuan dalam draft RUU KUHP 2022, namun tak ada satu pun pasal yang melindungi ataupun menjawab permasalahan perempuan. Ini menunjukkan bahwa KUHP justru dibuat tanpa perspektif untuk melindungi perempuan. Terlihat jelas bagaimana pasal-pasal di dalamnya mengatur otoritas tubuh perempuan dan menempatkan perempuan justru sebagai pelaku pidana atas aturan yang didasarkan pada moralitas. Pasal 415 dan Pasal 416 RUU KUHP yang mengatur tentang perzinaan dan kohabitasi berkaitan erat dengan urusan moral yang seharusnya tidak diatur oleh negara.
Di samping itu, beberapa pengaturan berkaitan dengan alat kontrasepsi dan aborsi juga masih menjadi sorotan karena beberapa definisi yang masih belum jelas. “Beberapa pasal yang menurutku belum bijak dan layak untuk dikatakan sebagai satu kebijakan, misalnya soal bagian ketiga yang membahas tentang ‘Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan’ yang definisi mengenai siapa saja yang berhak untuk mengedukasi penggunaan alat pencegahan kehamilan masih bias. Jika dituliskan bahwa yang berhak mengedukasi adalah relawan yang kompeten ditunjuk langsung oleh pejabat yang berwenang, lalu bagaimana kualifikasi relawan kompeten yang dimaksudkan?” Papar Monika, selaku peserta Feminist Sunday Class.
Sebagai kelompok muda, salah satu peserta menyebut urgensi adanya reformasi KUHP. Namun, dalam revisinya perlu pengawalan untuk memastikan bahwa aturan yang ada memang dibuat dengan menjamin adanya kepastian hukum dalam masyarakat dan hukum itu harus bersendikan pada keadilan.
RUU KUHP adalah kepentingan publik dan bagaimana membicarakan RUU KUHP sudah seharusnya sampai pada semua lapisan masyarakat. Sayangnya, pada kick off RUU KUHP yang diselenggarakan pemerintah tidak nampak ruang partisipasi. Sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah hanyalah klaim untuk memuluskan tahapan pengundangan, karena nyatanya, sosialisasi hanyalah forum satu arah khas pemerintah yang hanya memaparkan kepentingannya. Forumnya pun dibuat eksklusif tanpa kejelasan siapa saja yang bisa diundang. Undangan hanya bersifat pemenuhan kuota dalam sosialisasi.
Lebih lanjut, peserta diskusi lainnya memaparkan bahwa RUU KUHP harusnya ditolak oleh semua masyarakat. Ada banyak aturan menyesakkan ketika ini disahkan. “Namun pada kenyataannya ada banyak masyarakat yang lebih memilih bekerja menukarkan keringat mereka dengan makanan daripada mempelajari ratusan pasal di RUU KUHP. Disitulah harusnya kelompok muda yang sadar tidak hanya menjadi pelopor penolakan-penolakan RUU KUHP, namun juga menjadi corong untuk membumikan kesesatan dan kerugian masyarakat apabila RUU KUHP Disahkan.” Ujar Dila, peserta Feminist Sunday Class.
Monika dan peserta lainnya juga berharap untuk keberlanjutan perlawanan. “Harapanku semoga pergerakan kelompok muda hari ini dan seterusnya bergerak untuk kepentingan orang banyak, bernafas panjang, meskipun dalam perjalanannya belum berlipat ganda yang penting tetap ada,” ujar Monika.