“Tanpa adanya kesadaran atas Hak Buruh Migran, maka pemenuhan dan perlindungan Buruh Migran terutama Perempuan akan sulit tercapai.”
17 Maret 2019, putaran ke 3 Debat Pilpres telah dilakukan dengan menampilkan kedua kandidat Calon Wakil Presiden K.H. Ma’ruf Amin dari Pasangan Calon 1 (Jokowi-Mar’uf Amin) dan Sandiaga Uno dari Pasangan Calon 2 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno). Debat yang merupakan satu-satunya sesi yang mempertemukan kedua kandidat wakil presiden ini membahas isu Pendidikan, Kesehatan, Ketenagakerjaan, Sosial dan Budaya.
Mencermati paket isu yang dibahas dalam Debat Pilpres ke-III ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari isu-isu yang telah dibahas dalam dua debat sebelumnya. Pada debat tersebut, kedua kandidat menyampaikan visi, misi serta program kerja, yang salah satunya berkaitan dengan persoalan ketenagakerjaan. Bicara persoalan ketenagakerjaan, tidak saja bicara seputar persoalan buruh dalam negeri namun sangat perlu mengukur sejauh mana komitmen kedua kandidat untuk mengatasi kompleksitas persoalan buruh migran. Melihat akar persoalan yang memicu arus migrasi, salah satunya pembangunan infrastruktur yang massif di daerah telah meminggirkan peran masyarakat lokal hingga menggerus sumber-sumber kehidupan. Di sisi lain, ketersediaan sumber produksi dan lapangan pekerjaan yang minim menyerap pekerja dengan tingkat pendidikan rendah juga turut menjadi faktor pendorong tingginya arus migrasi pekerja keluar negeri. Laki-laki dan perempuan memang terdampak dari model pembangunan di atas, namun dampak pemiskinan lebih berat dan berlapis dialami oleh perempuan karena tambahan tugas-tugas domestik yang dilekatkan oleh masyarakat. Kondisi ini yang menyebabkan tingginya angka perempuan yang bermigrasi keluar negeri untuk bekerja, terutama di sektor domestik atau rumah tangga yang saat ini masih sangat rentan kekerasan.
Lebih jauh, perempuan buruh migran memiliki kerentanan yang tinggi terhadap berbagai kasus-kasus pelanggaran hak asasi dan praktik trafficking. Kerentanan ini merupakan implikasi dari lemahnya upaya-upaya pemerintah dalam memastikan perlindungan buruh migran baik melalui kebijakan maupun praktik-praktik tata kelola pelayanan migrasi. Selain itu, kuatnya paradigma komoditisasi buruh migran yang tercermin dari dilibatkannya peran swasta dalam sistem penempatan buruh migran juga menjadi akar persoalan kasus-kasus pelanggaran hak buruh migran terus meningkat.
Analisis akar persoalan di atas yang dialami buruh migran, khususnya situasi perempuan, sama sekali tidak terangkat dari kedua peserta debat. Namun, Cawapres No.1 sempat menyoroti upaya pemerintah terkait perlindungan buruh migran yang menyatakan “akan dilakukan sertifikasi, meningkatkan soft skill, hard skill, bersaing di luar negeri. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja kita di luar negeri”. Sayangnya, upaya itu ditargetkan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja agar mampu bersaing di pasar kerja global. Terlihat bahwa Pasangan Calon No. 1 tidak memiliki terobosan strategi untuk meningkatkan perlindungan buruh migran. Lebih jauh, lagi-lagi paradigma dalam melihat buruh migran sesungguhnya bukan dalam konteks hak asasi, namun masih terjebak dalam paradigma komodifikasi buruh migran dengan kepentingan penempatan buruh migran di dalam daya saing pasar kerja. Sementara Cawapres No. 2 samasekali tidak menyinggung persoalan buruh migran dan terlihat tidak memiliki strategi untuk mengatasi persoalan buruh migran.
Menyikapi hasil Debat Pilpres ke 3 terutama pada strategi kedua kandidat untuk memastikan perlindungan buruh migran, Puspa Dewy, Ketua Solidaritas Perempuan menanggapi “Banyaknya kasus kekerasan dan pelanggaran hak perempuan buruh migran, termasuk mereka yang terjebak dalam praktik perdagangan orang tidak menjadikan isu ini sebagai prioritas bagi calon pemimpin ke depan. Pernyataan maupun visi-misi kedua calon memperlihatkan dengan jelas perspektif kedua Pasangan Calon dalam mengatasi persoalan buruh migran masih parsial, tidak komprehensif, dan tidak menyentuh akar persoalan.”
Lebih lanjut, Puspa Dewy mengatakan “Dengan pemahaman dan paradigma yang demikian, dapat dipastikan kerentanan dan kasus-kasus pelanggaran hak asasi yang dialami perempuan buruh migran tidak akan bisa terselesaikan, justru akan semakin meningkat dan semakin kompleks. Terutama perempuan buruh migran yang bekerja di sektor domestic yang belum diakui negara, terus menghadapi ketidakadilan dan penindasan berlapis akibat sistem kebijakan yang mendiskriminasi peran mereka”. Oleh karena itu, Solidaritas Perempuan perlu memastikan calon pemimpin ke depan juga memasukkan perlindungan perempuan buruh migran domestik menjadi prioritas kerja mereka selama 5 tahun kedepan, termasuk memastikan implementasi sejumlah kebijakan terkait perlindungan buruh migran antara lain UU No. 18/ 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, UU No. 6/2012 tentang Ratifikasi Konvensi PBB 1990, dan UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dengan pembenahan sistem pengawasan yang melibatkan perempuan buruh migran dan masyarakat sipil.
Berikut Link Briefing Paper
Briefing Paper “Menyoal Visi Misi Capres dan Cawapres 2019-2024 dalam Mewujudkan Perlindungan bagi Perempuan Buruh Migran”
Narahubung Ega: 081288794813 Risca: 081219436262