Pernyataan Sikap Hari Perempuan Internasional 2023
Perempuan Menggugat
Jakarta, 8 Maret 2023
Setiap tanggal 8 Maret, Hari Perempuan Internasional diperingati sebagai momentum untuk menggerakkan perubahan terhadap situasi ketidakadilan, penindasan dan pemiskinan berlapis dan tersistematis yang dialami perempuan akibat sistem yang patriarkis. Situasi ketidakadilan perempuan dari masa ke masa terjadi dalam berbagai konteks.
Perempuan menghadapi ketidakadilan di dalam keluarga, lingkungan, hingga negara pada tubuh, pikiran, ruang gerak, akses perempuan terhadap perlindungan sosial hingga pemenuhan hak asasi perempuan. Kelindan dan lapisan identitas ras, etnis, kelas, orientasi seksual, menimbulkan kompleksitas persoalan perempuan, yang dimanfaatkan rezim kekuasaan untuk semakin mengontrol perempuan hingga saat ini.
Perempuan tidak menjadi elemen penting dan terhitung dalam agenda pembangunan yang dihegemoni elit bisnis dan politik. Di tengah ketimpangan ekonomi yang meningkat dari 0,003 menjadi 0,384 (BPS), ketimpangan agraria masif terjadi yaitu 1% pengusaha menguasai 68% tanah di Indonesia (BPS). Kedua ketimpangan tersebut menyumbang tingginya ketimpangan gender di Indonesia, yaitu mencapai 0,697 (WEF). Ketimpangan perempuan di bidang politik juga sangat rendah yaitu 0,169, jauh di bawah rata-rata global. Keterwakilan perempuan di parlemen pun hanya mencapai 21,39% pada periode 2019-2024, terlebih apabila berbicara keberpihakan pada perempuan dalam agenda bangsa. Setidaknya terdapat 421 perda yang mendiskriminasi perempuan, di mana sekitar 80% atau 333 di antaranya menyasar dan membatasi ruang gerak perempuan (Komnas Perempuan). Lalu sepanjang tahun 2019-2022 kekerasan dialami oleh perempuan, setidaknya 46 orang dikriminalisasi, 40 orang dianiaya, 3 orang tertembak, dan 5 orang tewas (KPA, 2023) saat memperjuangkan sumber-sumber agraria sebagai sumber kehidupannya.
Kami, Perempuan dan Rakyat menyatakan sikap bersama untuk menggugat Negara atas ketidakadilan, penindasan, pemiskinan serta kekerasan struktural melalui berbagai kebijakan dan peraturan negara yang tidak berpihak kepada rakyat, secara khusus bagi perempuan.
Pertama, penindasan dan perampasan kedaulatan perempuan. Segelintir orang atau kelompok dibiarkan memiliki kontrol dan akses yang berlebihan atas sumber daya di Indonesia, yang mengancam kedaulatan perempuan. Produk kebijakan-kebijakan yang telah disahkan, dari UU Minerba hingga UU Cipta Kerja yang menciptakan ekosistem investasi yang kondusif tidak memikirkan dampaknya terhadap perempuan. Penerbitan Perppu Cipta Kerja sebagai dalih menyelamatkan perekonomian Indonesia dengan alasan yang digenting-gentingkan dan dipaksa-paksakan, menandakan rezim yang dihegemoni dan melanggengkan kuasa oligarki. Sebaliknya, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) yang sangat mendesak bagi kelompok pekerja justru ditunda nyaris dua dekade, demikian juga dengan RUU Masyarakat Adat, serta absennya berbagai kebijakan dan peraturan yang melindungi perempuan petani, buruh, nelayan, perempuan adat, masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan, serta kelompok rentan lainnya. Perlindungan investasi dan kemudahan berusaha adalah prioritas di atas kepentingan kedaulatan rakyat atas sumber dayanya. Ketimpangan dan ketidakadilan struktural menjadi faktor utama terampasnya kedaulatan perempuan baik atas sumber daya, ruang hidup, lahan, pangan dan seksualitasnya.
Kedua, pengingkaran Nawacita Presiden Jokowi. Misi Presiden Jokowi meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik, pemerintahan dan pembangunan tidak terpenuhi secara substantif. Tergambar nyata pada Proyek Strategis Nasional yang merampas tanah dan mencerabut berbagai kedaulatan perempuan seperti Bendungan Bener yang mendapatkan penolakan dari perempuan di Desa Wadas, Purworejo; penolakan proyek tambang pasir besi Perempuan Desa Seluma, Bengkulu, yang berujung kekerasan dan kriminalisasi; kejahatan lingkungan dan kemanusiaan pada proyek tambang dan pabrik smelter nikel di Morowali; dan berbagai tindak kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap perempuan pejuang agraria dan lingkungan hidup di seluruh pelosok negeri. Diskriminasi dalam pemenuhan hak juga dialami perempuan yang memperjuangkan hak ekonomi, hak atas ruang aman, hak atas lingkungan hidup karena hadirnya PLTA oleh PT. Poso Energi di Poso, PTPN III di Pematangsiantar, PTPN VII Ogan Ilir, PTPN XIX di Takalar, dan PT. TMS yang mengancam pulau kecil Sangihe. Semua proyek tersebut mengedepankan kekuatan aparat TNI dan Polri, dan tidak menjalankan mandat konstitusi, UU No. 7 Tahun 1984 dan Inpres No. 9 Tahun 2000 sebagai bentuk nyata pengingkaran rezim terhadap Nawacita Jilid dua.
Ketiga, pelanggaran hak asasi perempuan. Pengurus negara dalam hal ini wajib memenuhi dengan adil, tidak mendiskriminasi siapapun karena gender, orientasi seksual, usia, kondisi fisik dan mental, suku, kedudukan, agama, dan golongan sebagaimana diatur konstitusi dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Eksploitasi sumber-sumber agraria pun berkelindan dengan kepentingan elit bisnis dan politik dengan upaya penundukan perempuan melalui berbagai aturan di tingkat nasional dan daerah. Domestikasi perempuan menjadi berlipat-lipat akibat industrialisasi dan ekspansi korporasi yang masif. Pelibatan perempuan dalam pengambilan kebijakan terkait pembangunan hanya tokenisme, tanpa memperhatikan hak dasar perempuan dan kelompok marginal lainnya.
Keempat, pembangkangan konstitusi. Berbagai pelanggaran hak asasi perempuan, penindasan, perampasan kedaulatan, dan pemiskinan, serta penghancuran ruang hidup secara struktural merupakan bentuk-bentuk pembangkangan konstitusi oleh rezim. Terdapat berbagai kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang mengakibatkan penggusuran atas nama pembangunan dan proyek strategis nasional, ancaman kedaulatan pangan, fleksibilitas tenaga kerja, liberalisasi pendidikan, dan legitimasi pengrusakan lingkungan hidup, serta berbagai pelanggaran HAM pada perempuan petani, nelayan, buruh, perempuan adat, masyarakat miskin kota dan pedesaan, serta kelompok rentan lainnya.
Kelima, pemiskinan struktural yang dialami oleh perempuan. Kehadiran berbagai regulasi yang inkonstitusional menyengsarakan perempuan. Produk legislasi tidak berpihak pada perempuan kelas pekerja. Perppu Cipta Kerja hanya memperparah politik upah murah dan kesenjangan upah yang dialami oleh 507.722 buruh perempuan, yang akan melipatgandakan peran ganda produktif dan reproduktif perempuan dalam rumah tangga. Menurut UN Women (2022), buruh perempuan berupah 23% (Rp 2.454.023) lebih rendah daripada buruh laki-laki (Rp 3.840.084). Perppu bukan hanya mempertinggi angka kesenjangan upah, tetapi juga diskriminasi terhadap buruh perempuan yang hamil dan melahirkan. Adanya pemberlakuan upah per jam akan berakibat pada cuti hamil dan melahirkan tak berbayar dan memiskinkan perempuan dan keluarganya. Rahim perempuan menjadi legitimasi korporasi untuk memiskinkan perempuan. Di sisi lain, sebanyak 4,2 juta PRT dimana 75% di antaranya adalah perempuan bertahun-tahun bekerja tanpa perlindungan hukum dan berupah jauh (83%) di bawah rata-rata upah nasional. Rata-rata upah PRT per bulan hanya Rp 437.416 jauh di bawah rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP) mencapai Rp 2,72 juta (BPS). Bukannya menyediakan akses-akses pelayanan mendasar seperti kesehatan, pendidikan, lapangan kerja dan upah layak, dan lingkungan yang bersih, negara ini justru terus saja masih terjebak pada sistem jejaring sosial yang patuh pada prinsip-prinsip neoliberal; melalui mekanisme subsidi jangka pendek, transfer tunai dan sistem penargetan berbasis data antara institusi negara yang saling tumpang tindih, tata kelola keuangan yang bersumber pada hutang atas nama penghematan (austerity), dan eksploitasi sumber-sumber agraria yang merusak lingkungan.
Keenam, eksploitasi dan politisasi hak suara perempuan. Setiap tahun pemilu, perempuan hanya dijadikan objek politik. Pemilu selayaknya hadir menjadi sebuah ruang demokrasi yang akan menentukan agenda bangsa, termasuk menjadi gambaran dan refleksi akan situasi perempuan ke depan. Namun, substansi situasi dan kepentingan perempuan senantiasa absen dari berbagai diskursus calon pemimpin negara. Tidak hanya itu, Pemilu juga kerap menjadi ruang konsolidasi oligarki dan kepentingan modal yang lagi-lagi akan berdampak pada kehidupan dan kedaulatan perempuan. Sistem politik hari ini masih berorientasi pada demokrasi prosedural, dan kehilangan substansinya untuk menghormati, memenuhi, melindungi, dan memulihkan hak asasi manusia utamanya hak asasi Perempuan.
Ketujuh, penghancuran ruang hidup dan demokrasi. Politik identitas disertai politik ketakutan, melalui UU ITE dan KUHP menghancurkan nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan, dan menambah lapisan penindasan perempuan dan LGBT-Q. Peran perempuan banyak direduksi dan haknya direnggut melalui berbagai kebijakan diskriminatif dan predatoris. Agenda pembangunan yang tidak disusun berdasarkan kepentingan dan pengalaman perempuan berangsur merampas kedaulatan yang mereka miliki atas sumber-sumber agraria, pangan, pengetahuan tradisional, lingkungan hidup, politik, serta kedaulatan lainnya. Hal ini terlihat dari berbagai penggusuran yang menggunakan tindakan kekerasan, intimidatif dan kriminalisasi terhadap perempuan pejuang HAM. Selain itu juga terdapat upaya-upaya rezim otoriter saat ini yang mengabaikan tanggungjawab terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu hingga saat ini, di tanah Papua dan di seluruh pelosok negeri.
Kedelapan, perempuan dalam pusaran hukuman mati. Praktik peradilan pidana saat ini masih mengedepankan pendekatan punitif. Akibatnya, perempuan menjadi kelompok yang rentan saat berhadapan dengan hukuman mati. Merri Utami adalah salah satu perempuan dari ratusan perempuan lain di dunia yang berada dalam deret tunggu hukuman mati. Hingga hari ini, ia masih menunggu jawaban grasi yang diajukannya kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak enam tahun lalu. Pada Hari Internasional Perempuan ini, kami meminta Presiden Jokowi untuk mengabulkan grasi Merri Utami dan memberinya kesempatan untuk hidup bersama dengan anak dan cucunya.
Kesembilan, Perempuan di wilayah konflik. Kekerasan dan pelanggaran HAM terus terjadi di tanah Papua. Masifnya investasi yang masuk ke Papua yang mengancam hutan adat dan wilayah adat di satu sisi, dan pendekatan keamanan yang selalu digunakan dengan pengerahan pasukan keamanan (Polisi/Militer) semakin melanggengkan pelanggaran terhadap hak asasi perempuan Papua.
Kepentingan perempuan yang selalu dipinggirkan dalam berbagai kebijakan Negara, menempatkan perempuan menjadi elemen rakyat yang paling terdampak melalui proses-proses marjinalisasi, stigmatisasi dan kerentanan terhadap ketidakadilan, penindasan, kemiskinan dan kekerasan berlapis akibat (i) kebijakan yang tidak berperspektif perempuan, tanpa adanya ruang demokrasi, (ii) tidak adanya proses konsultasi yang partisipatif untuk mengakomodir isu-isu yang dialami oleh perempuan, (iii) praktik-praktik kebijakan di lapangan yang menormalisasi diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dan (iv) berbagai kekosongan kebijakan dari rezim ke rezim yang ditunggu-tunggu oleh kelompok perempuan pekerja yang membutuhkan perlindungan hukum sesegera mungkin. Negara justru melahirkan kebijakan yang mengutamakan kepentingan elit bisnis.
Dengan demikian, Perempuan Menggugat Negara untuk:
- Menghapuskan segala bentuk ketidakadilan, penindasan, pemiskinan dan kekerasan perempuan akibat sistem yang patriarkis.
- Mengakui, menghormati, melindungi dan memulihkan hak rakyat termasuk hak perempuan atas kerja layak, perlindungan sosial termasuk kesehatan dan pendidikan, kebebasan berekspresi, pengelolaan sumber-sumber agraria dan lingkungan hidup.
- Menjadikan kepentingan perempuan sebagai agenda penting dalam merumuskan berbagai kebijakan, peraturan dan program pemerintah ke depan.
- Menghentikan eksploitasi hak suara perempuan untuk kepentingan kuasa politik dalam politik prosedural, dan menjalankan demokrasi substansial.
- Menghentikan liberalisasi agraria dan berbagai solusi palsu ketimpangan dan ketidakadilan agraria dan lingkungan dengan menjalankan reforma agraria sebagai basis pembangunan nasional.
- Mencabut Perppu Cipta Kerja dan berbagai kebijakan turunannya, serta peraturan bermasalah lainnya yang mencabut hak-hak perempuan dari sumber-sumber kehidupannya, dan memperburuk krisis iklim
- Mengesahkan RUU PPRT dan berbagai kebijakan dan peraturan yang berpihak pada perempuan petani, buruh, nelayan, perempuan adat, masyarakat miskin pedesaan dan perkotaan, serta kelompok rentan lainnya.
- Membatalkan kebijakan yang mengancam kebebasan berekspresi dan pers, seperti UU ITE dan KUHP yang berpotensi melanggar hak kesehatan reproduksi dan mencerabut ruang hidup perempuan.
- Membatalkan RUU Energi Baru dan Terbarukan karena melanggengkan solusi palsu krisis iklim, yang akan berdampak pada kehidupan perempuan.
- Bertanggungjawab atas pelanggaran HAM berat di masa lalu, menghentikan kriminalisasi dan kekerasan terhadap perempuan pembela HAM, dan kejahatan kemanusiaan di Papua dan di seluruh pelosok negeri.
- Mencabut Kebijakan Qanun Jinayat di Aceh yang mendiskriminasi perempuan, dan Kepmenaker No.260/2015 yang mengeksploitasi perempuan buruh migran, serta berbagai kebijakan yang tidak berkeadilan gender.
Demikian pernyataan sikap bersama ini kami sampaikan agar menjadi perhatian semua pihak.
Hormat Kami:
Solidaritas Perempuan, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, JATAM, WALHI, YLBHI, KPA, APWLD, KontraS, HuMa, KASBI, Perempuan Mahardhika, Arus Pelangi, Suara Perempuan, Suluh Perempuan, Enter Nusantara, PBHI, Indonesia for Global Justice, KRuHA, Didaktika, Lingkar Studi Feminis, Front Muda Revolusioner (FMR), BEM-FIB UI, BEM UI, BEM Universitas Nasional, BEM UHAMKA, BEM UIN, LMND, Resisten Jakarta, FPPI, Perserikatan Sosialis, LBH Masyarakat, dan berbagai elemen rakyat lainnya.