Siaran pers!
SP Anging Mammiri
Protes penolakan pembangunan pelabuhan makassar new port sejak tahap pertama (2017) telah disuarakan perempuan pesisir bersama nelayan tradisional di Kelurahan Cambaya, Buloa, Tallo. Aksi protes tersebut dikarenakan aktivitas pembangunan telah menghilangkan mata pencaharian nelayan, sumber pangan perempuan, pencemaran lingkungan, lumpur dampak dari transportasi alat-alat berat, sampah hingga limbah minyak.
Berbagai upaya telah ditempuh perempuan pesisir dan nelayan tradisional dalam mencari keadilan atas ruang hidup mereka di pesisir, bertemu dengan pihak perusahaan (Pelindo), berdialog dengan pemerintah Gubernur Sulsel, Pemerintah Kota Makassar, Komisi E, Komisi B, Komisi C, Sekretaris DPRD Provinsi Sulsel. Dalam berbagai ruang dialog Perempuan pesisir dan nelayan tradisional menyampaikan tuntutannya yakni mendesak pemerintah dan perusahaan memulihkan hak ekonomi dan pemulihan hak atas lingkungan.
Bahkan RDP yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 2023, pemerintah DPRD dan Perusahaan PT. Pelindo IV bersepakat untuk bersama-sama ke Jakarta bertemu dengan PT.Pelabuhan Indonesia membicarakan persoalan ini, namun lagi-lagi Komisi B beserta pihak perusahaan mengabaikan hasil kesepakatan tersebut. Komisi B bertemu dengan PT.Pelabuhan Indonesia di Jakarta tanpa melibatkan perwakilan perempuan dan nelayan tradisional. Hal ini menunjukkan ketidakpatuhan atas hasil RDP dan ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan perempuan.
Aktivitas reklamasi Pembangunan Pelabuhan MNP berdampak pada hilangnya pekerjaan perempuan pencari kerang, kanjappang dan mengurangi pendapatan nelayan tradisional. Perempuan harus bekerja dan berpikir ekstra untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih karakteristik laut yang diidentikkan dengan maskulinitas, seringkali dianggap sebagai ranah yang tidak mungkin menjadi wilayah kelola perempuan. Akibatnya perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi, tidak diakui identitas sebagai nelayan meski secara turun temurun memanfaatkan pesisir sebagai ruang kelola. Perempuan nelayan tidak menerima program pemberdayaan, kartu asuransi nelayan sementara mereka beraktivitas di laut sama seperti nelayan laki-laki.
Skema Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai Upaya Sentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020 juga merupakan aturan yang berorientasi pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur. Rentetan persoalan agraria dan lingkungan hidup timbul akibat PSN sehingga berdampak buruk pada kehidupan rakyat, salah satunya Proyek Pelabuhan Makassar Newport (MNP) yang telah memiskinkan perempuan pesisir dan nelayan tradisional di pesisir Makassar.
Peresmian pelabuhan MNP oleh Presiden Joko Widodo, bentuk nyata pengabaian negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan pesisir dan nelayan tradisional. Sampai hari ini ada 150 perempuan nelayan masih terus berjuang mempertahankan ruang kelolanya di pesisir yang terdampak proyek MNP. Pelanggaran hak perempuan telah diadukan kepada Komnas HAM dan Komnas PEREMPUAN Republik Indonesia. Fakta lainnya bahwa Proyek Strategis Nasional ala Jokowi hanya mengutamakan kepentingan bisnis kelompok pemodal. Janji-janji proyek pembangunan untuk kesejahteraan rakyat belum menjawab akar persoalan masyarakat, justru melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi, dan ketimpangan gender. Suryani, Ketua SP Anging Mammiri.
Kontak person: 0812-4120-9441 (Icha)