Hentikan Tambang dan Pabrik Semen yang Menghancurkan Sumber Daya Air
Kami, Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia, memperingati Hari Air Sedunia dengan mendukung setiap perjuangan rakyat dalam melawan upaya-upaya yang mengancam hak asasi manusia atas air. Kami melihat bahwa seremoni Hari Air Sedunia yang setiap tahun diperingati pada 22 Maret, selama ini tidak disertai dengan adanya upaya yang serius dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi rakyat dunia terkait air. Kasus-kasus perampasan air dalam bentuk privatisasi, monopoli, dan komersialisasi sumber dan layanan air, pencemaran, hingga perusakan ekosistem penunjang keberlangsungan sumber air masih terus terjadi. Kami juga telah menyaksikan peniadaan yang terus meluas terhadap hak atas air, yang telah ditetapkan sebagai hak asasi manusia bersama dengan sanitasi melalui resolusi PBB pada bulan Juli tahun 2010, baik di negara berkembang maupun di negara maju.
Indonesia, sebagai negara yang turut menandatangani resolusi Majelis Umum PBB tersebut, selama ini juga belum secara konsisten menjalankan kewajiban HAM dalam bentuk menghormati (to respect), melindungi (to protect) dan memenuhi (to fulfill) hak atas air warganya. Pola pembangunan pemerintah yang bertumpu pada cara pandang pertumbuhan sebagai satu-satunya cara untuk mengerangkai ekonomi menjadi sebab dimulainya pelanggaran Hak Atas Air. Atas nama pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah mengutamakan investasi dibanding kewajibannya untuk menjalankan amanat konstitusi dan norma internasional terkait hak atas air. Sebagai sebuah hak asasi, air dan sumber air haruslah dipahami sebagai sebuah esensi dari kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kami mencatat kasus-kasus dan potensi perampasan air, secara nyata terus terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Privatisasi layanan air publik di Jakarta yang telah diputuskan oleh pengadilan Negeri Jakarta Pusat sebagai bentuk pengingkaran kewajiban negara dalam memenuhi hak atas warga Jakarta. Kasus lain seperti semakin berkembangnya investasi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK), oleh perusahaan asing maupun dalam negeri seperti Aqua di Sukabumi maupun Mayora di Banten telah dan akan membuat dan rakyat kehilangan sumber airnya. Begitu pula pencemaran sumber air oleh perusahaan seperti di Tumpang Pitu, Ciujung, Mojokerto, dsb. telah menjadikan rakyat tidak memiliki akses air secara layak dan membuat kesehatan mereka terganggu.
Rencana investasi industri semen di Pegunungan Karst Kendeng[1] merupakan salah satu contoh paling kasat mata untuk menunjukkan bahwa pemerintah Republik Indonesia selama ini telah mengesampingkan hak asasi manusia atas air demi kepentingan industri. Pemerintah Pusat melalui Kementerian-kementerian seperti BUMN, ESDM, hingga lembaga seperti BKPM, maupun Pemerintah Provinsi Jawa Tengah, selama ini terus ngotot untuk memastikan pabrik semen dapat segera beroperasi di Rembang. Putusan MA yang telah menetapkan keharusan pencabutan ijin, bahkan telah dibelokkan dan diselewengkan demi menjamin keberlanjutan usaha.
Karst, umum diketahui melalui berbagai penelitian, merupakan suatu kawasan yang memiliki karakteristik khusus dan memiliki fungsi strategis sebagai penyimpan cadangan air di bawah permukaan bagi wilayah di sekitar kawasan karst. Kekhususan karst yang berperan sebagai media penyimpan air dapat berkontribusi sebagai penyedia aliran andalan bahkan pada periode kekeringan yang panjang. Hal tersebut sebenarnya juga telah diketahui oleh pemerintah sehingga ada penetapan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang tidak boleh diganggu dan dirusak. Sebab, sekali terjadi perusakan pada KBAK maka seluruh ekosistem karst tidak dapat diperbaiki kembali. Sehingga penambangan karst yang pasti akan merusak ekosistem karst, dan dengan sendirinya merupakan bentuk perampasan air dan pelanggaran hak atas air warga, bahkan dapat mengakibatkan bencana ekologi seperti banjir.
Berdasarkan penelitian, jika investasi PT. Semen Indonesia diteruskan akan mengakibatkan fenomena terjadinya perampasan air dan hak atas air warga sekitar. Sebab, kerusakan akibat pertambangan yang akan dilakukan PT Semen Indonesia di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Pegunungan Kendeng seluas 131,55 hektare berdasar ijin akan memunculkan potensi hilangnya air 4.054.500 m3. Selain itu, data (PDAM, 2013) juga menujukkan bahwa kebutuhan air untuk masyarakat di 14 Kecamatan Kabupaten Rembang dengan estimasi memenuhi kebutuhan 607.188 jiwa, sebagian besar juga disuplai dari CAT Watuputih. Maka pemerintah dengan segala instrumennya sudah seharusnya bertugas melindungi kawasan-kawasan konservasi seperti CAT Watuputih.
Perjuangan perempuan Kendeng merupakan satu bukti keterikatan perempuan dengan alam sebagai ruang hidupnya, dan secara khusus pegunungan karst sebagai sumber airnya. Karena perempuan memiliki peran yang penting dalam memastikan ketersediaan dan pengelolaan air serta dalam menjaga air. Persoalan air menimbulkan dampak yang berbeda bagi perempuan. Beban perempuan dalam memastikan kebutuhan keluarga akan air akan meningkat dan berlapis di kala krisis air terjadi. Hal serupa juga terjadi di Kawasan Karst Lhoknga – Aceh. Pertambangan semen PT Semen Andalas Indonesia (yang kemudian diambil alih oleh Lafarge Cement Indonesia dan sekarang PT Holcim Indonesia) yang selama 35 tahun ini terus mengeruk dan menghancurkan kawasan karst Lhoknga serta menguasai sumber air masyarakat, tetap mengundang perlawanan dari masyarakat. Terutama ketika masyarakat, khususnya perempuan mengalami kesulitan untuk mengakses air bersih guna memenuhi kebutuhan keluarga.
Di sisi lain, kami mencatat bahwa sejak dibatalkannya UU No.7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air pada 2015 lalu, hingga saat ini, praktek pengelolaan air masih belum berubah seperti sebelum adanya putusan MK. Pemerintah Pusat, bersama dengan DPR, yang sekarang sedang memproses pembuatan RUU Air lebih fokus menjamin keberlangsungan kontrak dan ijin eksploitasi air dan wilayah kawasan konservasi air oleh badan usaha baik BUMN maupun swasta. Pemerintah telah mengabaikan konservasi sebagai bagian penting dari keberlanjutan ketersediaan air. Belum terlihat usaha pemerintah secara serius untuk melakukan perlindungan terhadap ekosistem air yang berarti juga usaha perlindungan terhadap hak atas air. Dengan demikian, Pemerintah telah mengabaikan gugatan Constitutional Review dan keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005, bertanggal 19 Juli 2005 dan Keputusan Nomor 85/PUU-XI/2013 yang menegaskan bahwa air adalah hak publik (res commune), yaitu suatu hak yang dimiliki oleh masyarakat, perempuan dan laki-laki, secara bersama-sama.
Kami, koalisi masyarakat sipil untuk penyelamatan kawasan karst, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, pada peringatan hari Air Internasional 22 Maret ini, menyatakan sikap:
- Menuntut Negara untuk segera membahas dan mengesahkan RUU Air dengan memastikan jaminan pemenuhan hak atas air dan perlindungan terhadap sumber daya air, termasuk kawasan karst.
- Menolak setiap bentuk eksploitasi sumber daya alam yang merusak ekosistem sumber air komunitas.
- Menuntut Pemerintah untuk menghentikan pertambangan semen di kawasan karst di Kutai Timur, Kutai Kartanegara, Maros, Trenggalek, Karawang, Aceh, dan secara khusus rencana investasi perluasan industri semen di Kupang dan Pegunungan Kendeng.
- Menuntut kepada Pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap rakyat yang sedang berjuang melindungi ekosistem air dan sumber airnya.
- Mendukung setiap perjuangan rakyat, perempuan dan laki-laki, dalam mempertahankan hak atas air dalam arti air sebagai ruang penghidupan maupun sumber penghidupan, baik untuk produksi ekonomi maupun reproduksi sistem sosial budaya.
- Menyerukan kepada setiap elemen masyarakat untuk turut serta mendukung perjuangan rakyat di sekitar Pegunungan Kendeng dan kawasan karst lainnya.
KRuHA – WALHI – KPA – JATAM – Solidaritas Perempuan – IHCS – JMPPK – Ciliwung Institute – debtWatch Indonesia – Bina Desa – FPPI
[1] Hasil penelitian Air Bawah Tanah di Gunung Watuputih oleh Dinas Pertambangan Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada Maret 1998 menjelaskan, bahwa; Gunung Watuputih dan sekitarnya secara fisiografis tergolong dalam tipe bentang alam karst, yang memiliki fenomena alam unik dengan adanya goa-goa alam dan sungai bawah tanah. Hasil pendataan secara berkala yang dilakukan oleh Semarang Caver Association (SCA) dan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) Rembang, terdata 49 goa yang tersebar di sekitar wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dan 4 diantaranya merupakan goa yang memiliki sungai bawah tanah aktif. Selain itu terdapat 109 mata air yang tersebar di wilayah CAT Watuputih sebagai mata air parenial yang mengalir di sepanjang musim kemarau dan penghujan. Berdasarkan Kajian Potensi Kawasan Karst Kendeng Utara, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, ditemukan bahwa dari 109 mata air yang ada di kawasan pegunungan karst Watuputih estimasi volume air yang dihasilkan bila disimulasikan, mata air yang terkecil 0,02 liter/detik dalam 1 hari akan menghasilkan air 1728 liter dalam satu hari. Mata air dengan debit terbesar 600 liter/detik dalam 1 hari akan menghasilkan 51.840.000 liter air dimana kurang dari 10% dimanfaatkan langsung untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya terdistribusi ke lahan pertanian.