Berdasarkan pemantauan kebijakan dan pengalaman penanganan kasus Solidaritas Perempuan, SP menilai bahwa telah terjadi pembiaran negara terhadap perlindungan hak-hak BMP dan keluarganya. Situasi tersebut terlihat dengan lemahnya tanggung jawab negara terkait perlindungan BMP akibat tidak adanya kebijakan yang melindungi BMP dan keluarganya secara komperhensif. Minimnya perlindungan hak BMP merupakan implikasi dari paradigma pemerintah yang cenderung mengkomodifikasi BMI dan lebih mementingkan aspek penempatan daripada perlindungannya. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kebijakan negara yang bermuara dari UU No. 39 tahun 2004 tentang Perlindungan dan Penempatan TKI di Luar Negeri (PPTKILN) yang lebih melihat buruh migran sebagai entitas komoditas perniagaan dari pada sebagai manusia yang hak-haknya harus dilindungi.
Pemerintah Indonesia dalam membangun sistem dan menangani buruh migran belum mengunakan kerangka HAM. Ini dibuktikan dengan situasi saat ini dimana Indonesia belum meratifikasi Konvensi Migran 1990 yang menjamin perlindungan buruh migran dan anggota keluarga di semua tahapan proses migrasi (persiapan bermigrasi, keberangkatan, transit, dan kepulangan ke Negara asal dan kampong halaman).
Dalam Konvensi Migran 1990 ini, buruh migran dilindungi dari kondisi hidup dan kondisi kerja buruh migrant yang tidak manusiawi, sasaran penyiksaan atau tindakan kejam, perlakuan tidak manusiawi atau perlakuan yang menurunkan martabat; untuk tidak dijadikan budak; kerja paksa; kekerasan fisik, sexual serta perlakuan yang buruk. Konvensi ini menjamin hak-hak BM untuk memiliki kebebasan berfikir, berekspresi dan beragama, menikmati perlakuan yang tidak berbeda dari yang diberikan kepada penduduk di Negara tempat kerja, terkait dengan upah dan kondisi lain dari pekerjaan serta membentuk serikat asosiasi dan serikat pekerja, akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan dan pelayanan sosial.
Konvensi ini juga menjamin akses BM terhadap informasi terkait dengan hak mereka; kesamaan di muka hukum, akses untuk mendapat pelayanan dan tidak dihukum secara tidak proporsional seperti pengusiran; hak BM untuk kembali ke Negara asal; melakukan partisipasi politik di Negara asal; serta untuk mengirimkan uang hasil kerjanya ke negara asal. Akibat belum meratifikasi Konvensi tersebut, pemerintah belum mempunyai sistem perlindungan BMI serta kewajiban hukum untuk memenuhi hak-hak buruh migran sebagaimana tercantum dalam konvensi tersebut. Dari aspek substansi, UU yang ada yaitu UUPPTKILN lebih mengatur aspek tata niaga daripada aspek perlindungan hak-hak buruh migran. Dari 109 (seratus sembilan) pasal, hanya 8 (delapan) pasal yang berjudul perlindungan. Pun setelah dianalisa, pasal-pasal tersebut nyatanya tidak betul-betul melindungi buruh migran.
Dari aspek kinerja aparat pemerintah, terlihat bahwa respon dan penanganan buruh migran tidak berjalan secara sistematis dan komprehensif. Berbagai respon dilakukan hanya bersifat reaksioner, tanpa menyentuh akar persoalan yaitu sistem perlindungan buruh migran yang berperspektif gender dan HAM. Akibatnya banyak buruh migran yang mengalami kesulitan dalam menuntut dan mengakses hak-haknya yang terlanggar. Lebih parah lagi, banyak buruh migran perempuan yang mengalami revictimisasi, dipersalahkan (victim blaming) pada saat mereka mencoba menyampaikan pengaduan atau berkoordinasi dengan aparat pemerintah untuk menangani kasus pelanggarannya.
Dari aspek budaya hukum, belum adanya kerangka HAM pada sistem penempatan buruh migran Indonesia terus menempatkan BMP rentan terhadap berbagai ketidak adilan gender seperti stereotyping, sub-ordinasi, beban ganda, kekerasan, dan diskriminasi. Situasi ini didasarkan pada pemahaman bahwa Buruh migran terus dipandang sebagai sumber devisa bagi negara semata dan luput bahwa buruh migran perempuan adalah manusia yang melekat hak-haknya baik sebagai pekerja, sebagai warga negara, maupun sebagai perempuan.
Cara pandang bahwa buruh migran sebagai sumber bisnis juga berimplikasi pada terhambatnya pemenuhan hak-hak mereka. Pihak-pihak terkait penempatan BMP seperti PPTKIS dan cabang-cabangnya, sponsor, calo, pelaksana tes kesehatan, BLK, petugas PAP belum melihat BMP sebagai manusia yang harus dipenuhi haknya. Pandangan tersebut selain menghambat perlindungan hak buruh migran juga merentankan BMP menjadi korban berbagai eksploitasi selama proses migrasi baik saat sebelum berangkat hingga kepulangan. Selain itu, aparat pemerintah dan DPR masih banyak yang menstigma BMP PRT sebagai pihak yang acapkali menurunkan harkat martabat bangsa di luar negeri daripada sebagai warga negara yang harus mendapatkan hak-haknya.
Mandat program ini diarahkan pada upaya-upaya untuk membangun gerakan feminis berbasis pada Buruh Migran Perempuan (termasuk calon dan mantan) beserta keluarganya untuk melawan ketidakadilan gender dan pemiskinan akibat poliik Negara dan non-negara, agar mereka mampu memiliki akses dan kontrol atas hak-haknya dan keputusan politik yang menentukan hidupnya.
Dengan penguatan ini, mereka diharapkan mampu menghadapi kerentanan terhadap prose’s migrasi yang tidak aman, trafficking serta HIV dan AIDS. Selain itu, dapat membangun konsolidasi diantara komunitas SP dan anggota keluarganya untuk mendesak pemerintah agar memberikan jaminan payung hukum perlindungan hak-hak BMP dan anggota keluarganya melalui ratifikasi Konvensi Migran 1990, serra mendorong perubahan sistem penempatan dan perlindungan BMP yang lebih melindungi dari prose’s yang melemahkan dan memiskinkan mereka.
Program ini juga diarahkan pada upaya-upaya menggalang dukungan publik di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional untuk bersama-sama melindungi BMP dari kerentanan mereka terhadap trafficking, HIV dan AIDS.
Untuk mencapai mandat tersebut, SP telah merancang strategi program yang terdiri dari peningkatan kapasitas, pengorganisasian, penanganan kasus, serta advokasi dan kampanye. Integrasi strategi ini ditujukan agar BMP-PRT dapat mendesakkan adanya perubahan kebijakan yang lebih melindungi hak-hak BMP dan anggota keluarganya, antara lain: (1) Mendesakkan ratifikasi Konvensi Migran 1990, (2) revisi UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Indonesia, (3) Mendorong Perlindungan untuk Pekerja Rumah Tangga, (3) Monitoring Implementasi CEDAW di Indonesia, (4) Monitoring Implementasi MoU terkait dengan Buruh Migran, (5) Monitoring implementasi UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (6) Advokasi terkait Kerentanan Buruh Migran terhadap HIV dan AIDS, serta (7) membangun instrumen perlindungan BMP di tingkat regional (ASEAN) dan Internasional.