Jakarta, 17 Mei 2016. “Pemerintah Indonesia harus tegas dan konsisten dalam melakukan langkah mengatasi perubahan iklim. Pemerintah harus segera keluar dari jebakan solusi palsu, seperti REDD+, yang hanya menguntungkan Negara industri serta mengorbankan masyarakat, termasuk perempuan Indonesia. Segera menghentikan investasi asing untuk penggunaan bahan bakar fosil di Indonesia. Serta segera keluarkan kebijakan perlindungan hak perempuan untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam penanganan perubahan iklim.” tegas Nisaa Yura, Koordinator Program Solidaritas Perempuan dalam aksi Menuntut Keadilan Iklim Berkeadilan Gender, Hentikan Solusi Palsu, Hentikan REDD+.
Aksi ini dilakukan Solidaritas Perempuan bersama perempuan komunitas di Jakarta, Selasa, 17 Mei 2016 dalam rangka menanggapi penandatanganan Perjanjian Paris oleh Pemerintah Indonesia di New York pada 22 April 2016, yang menyatakan persetujuannya atas Perjanjian Paris tersebut, dimana perjanjian ini telah menghilangkan tanggung jawab historis dari Negara industri dengan mengatur pembagian tanggung jawab secara fleksibel melalui komitmen penurunan emisi secara sukarela dan disesuaikan dengan kapasitas masing-masing Negara. Perjanjian ini juga mendorong skema penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan atau yang dikenal sebagai REDD+ untuk dilakukan di Negara berkembang, baik melalui skema pasar maupun skema gabungan mitigasi dan adaptasi, serta tetap membuka ruang untuk perdagangan karbon sukarela untuk mencapai target penurunan emisi dari Negara industri.
Padahal, fakta kegagalan REDD di Indonesia telah terjadi. Salah satunya pada proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) di Kalimantan Tengah. Sayangnya, pemerintah tidak menjadi ini sebagai pembelajaran dan menegaskan REDD sebagai solusi palsu Beberapa fakta KFCP yang menunjukkan kegagalan secara nyata dari REDD adalah dengan terus berlangsungnya deforestasi dan kebakaran hutan di wilayah proyek, serta tidak adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat, terutama perempuan. Proyek REDD ini justru berdampak pada konflik sosial serta kerusakan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi dari masyarakat di wilayah proyek, termasuk meningkatkan ketidakadilan bagi perempuan.
Situasi di atas tidak terlepas dari tidak adanya mekanisme yang jelas dari REDD itu sendiri, seperti tidak ada pelibatan masyarakat, laki-laki dan perempuan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, tidak ada mekanisme perlindungan hak masyarakat, serta berorientasi hanya pada pelaksanaan kegiatan proyek atau manfaat dari stok karbon. Akibatnya, proyek yang dilaksanakan justru membatasi akses dan kontrol masyarakat, perempuan dan laki-laki terhadap hutan yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka. “Akibat hadirnya REDD, perempuan semakin meningkat bebannya karena tidak lagi bisa mengambil sayuran, obat-obatan dan sumber air dari hutan. Mereka harus berpikir dan bekerja lebih berat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan keluarga. Padahal perempuan tidak pernah dilibatkan di dalam perencanaan dan pengambilan keputusan, termasuk persetujuan soal ini,” ungkap Nisaa.
Aksi ini ditujukan untuk mendesak pemerintah menghentikan REDD+, yang selama ini menjadi solusi palsu bagi perubahan iklim. Aksi ini juga menjadi ruang bagi Solidaritas Perempuan dan perempuan komunitas untuk menyuarakan kepada pemerintah dan publik mengenai REDD+ sebagai solusi palsu dari perubahan iklim.
Setidaknya 8 alasan mengapa REDD+ adalah solusi palsu, yaitu 1) REDD membatasi akses dan kontrol komunitas terutama perempuan yang bergantung pada hutan, serta memindahkan komunitas dari ruang hidupnya, 2) REDD mengancam kedaulatan pangan komunitas yang bergantung pada hutan, karena mereka tidak bisa lagi mengambil sumber daya hutan, berburu, memancing ikan, mengambil sayur-sayuran dan obat-obatan tradisional, serta melakukan aktivitas pertanian dan berpotensi semakin memiskinkan komunitas, 3) REDD mengancam sosial, ekonomi, budaya dan kearifan lokal komunitas dalam pengelolaan hutan yang berkelanjutan, 4) REDD menguatkan ketidakadilan gender dan meningkatkan beban berlapis bagi perempuan dalam memastikan keberlangsungan hidup keluarga 5) REDD hanya menjadikan perempuan dan masyarakat sebagai objek tanpa pelibatan penuh di dalam perencanaan, implementasi, pengawasan dan evaluasi proyek 6) REDD dengan skema pasar dan offset hanya mengkompensasi dan memberkan izin kepada penghasil emisi untuk terus mengeluarkan emisi dan menghindari untuk melakukan pengurangan emisi secara nyata, 7) REDD hanya menguntungkan pelaku pasar dan perantaranya melalui jual beli karbon, dan 8) REDD tidak berdampak pada pengurangan emisi dan berpotensi menimbulkan konflik karena tidak mempertimbangkan dan mengutamakan aspek sosial. budaya, ekonomi, kearifan lokal, dan situasi perempuan.
“Kami menuntut solusi nyata, bukan solusi palsu. Krisis iklim hanya dapat ditangani dengan mengatasi akar penyebab dari pemanasan global melalui penurunan emisi secara drastis dan reparasi atas utang iklim dari Negara industri ke Negara berkembang,” tandas Nisaa. Nisaa juga menegaskan, bahwa penanganan perubahan iklim seharusnya tidak menguatkan ketidakadilan terhadap perempuan, tapi harus didorong untuk mewujudkan keadilan gender, melalui penciptaan kesetaraan dan keadilan gender, serta pemberdayaan perempuan. “Penanganan perubahan iklim harus dilakukan dengan memastikan kebijakan perlindungan hak perempuan, peningkatan kapasitas bagi perempuan, keterlibatan penuh perempuan dalam pengambilan keputusan, pengembangan inisitiaf berbasis pengetahuan dan kearifan perempuan, serta alokasi pendanaan untuk menciptakan kondisi pendukung bagi perempuan untuk berdaya. Karena, tidak ada keadilan iklim tanpa keadilan gender.” pungkasnya.
CP: Aliza (aliza@solidaritasperempuan.org)