Solidaritas Perempuan dan KIARA: Reklamasi Hancurkan Rumah Tangga Nelayan

Jakarta, 20 Oktober 2017. Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia 2017, Solidaritas Perempuan dan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) mendesak pemerintah untuk tidak melangkah mundur dari cita-cita kedaulatan pangan.
 
“Selama 3 tahun pemerintahan Jokowi-JK, berbagai kebijakan maupun proyek justru mengancam petani dan nelayan sebagai produsen pangan terutama perempuan. Dalam gaungan poros maritim dan negara agraris yang sering dilekatkan pada Indonesia, pemenuhan hak petani dan nelayan sebagai produsen pangan justru diabaikan. Padahal bicara pangan bukan hanya ketahanan atau terpenuhinya target produksi tetapi juga kesejahteraan para produsen pangan.” jelas Solidaritas Perempuan dan KIARA dalam keterangan resmi yang diterima redaksi, Selasa ditulis Jumat (20/10/2017).
 
Solidaritas Perempuan dan KIARA menuturkan, Nelayan sebagai produsen pangan telah diakui dalam UU Pangan tersebut, tetapi tidak secara spesifik mengatur dan memberikan perlindungan terhadap nelayan sebagai pelaku pangan. Identifikasi nelayan yang diatur dalam UU Pangan tidak sesuai dengan konteks situasi nelayan nasional yang mayoritas hingga 90 persen adalah nelayan kecil dan tradisional. Terlebih lagi dengan lahirnya Undang-Undang No 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam sebagai jawaban atas kebutuhan aturan hukum untuk melindungi masyarakat pesisir nyatanya masih belum memberikan perlindungan kepada masyarakat pesisir (nelayan dan perempuan nelayan) atas wilayah tangkap yang bebas dari ancaman pencemaran, perusakan alam dan alat tangkap yang merusak, dan perlindungan kesejahteraan nelayan dari masalah ekonomi dan dampak perubahan iklim.
 
Selain itu, UU No. 7 Tahun 2016 telah mendiskriminasikan perempuan karena identitas perempuan hanya dilekatkan kepada laki-laki sebagai bagian dari keluarga nelayan. Perempuan sebagai produsen pangan di sektor perikanan dan kelautan mengalami ketidakadilan dalam hal ketidaan legitimasi identitas. Ketiadaan legitimasi ini berdampak terhadap terpinggirkannya perempuan dari upaya perlindungan dan pemberdayaan yang ditujukan bagi nelayan, pembudi daya ikan dan petambak garam. Perempuan tidak bisa mengakses, mengontrol, berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari kebijakan maupun program yang direncanakan untuk perlindungan maupun pemberdayaan. Selanjutnya, pola pemberdayaan ekonomi yang diterapkan pemerintah pada perempuan pesisir tanpa membongkar relasi kuasa hanya akan memperkuat ketidakadilan gender bagi perempuan nelayan.
 
Tidak dianggapnya perempuan sebagai pencari nafkah utama – penghasilan tambahan, menjadikan perempuan hanya dimanfaatkan oleh suaminya untuk bisa mengakses modal tapi kontrol atas pemanfaatan modal tersebut masih di tangan laki-laki. Hilangnya wilayah kelola baik petani maupun melayan juga merupakan kontribusi proyek-proyek investasi baik perusahaan nasional atau asing. Reklamasi menjadi contoh bagaimana perempuan nelayan kehilangan sumber kehidupan akibat ancaman penggusuran dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah seringkali tidak melakukan analisis potensi dampak yang berbeda terhadap perempuan dan tidak melibatkan perempuan dalam proses konsultasi. Selain itu, masuknya perusahaan-perusahaan melalui perkebunan monokultur ataupun mekanisasi pertanian juga merupakan contoh penghilangan sumber kehidupan perempuan. Dalam banyak kasus perampasan sumber kehidupan ini kemudian berkorelasi dengan masifnya perpindahan (migrasi) masyarakat terutama perempuan ke kota atau atau bahkan ke luar negeri untuk mencari sumber kehidupan lain. Dan tanpa kebijakan perlindungan buruh migran yang memadai, perempuan seringkali harus berhadapan dengan pelanggaran hak, kekerasan dan bahkan ancaman hukuman mati di negeri orang.

Sumber:
Berita 360 (http://berita360.com/solidaritas-perempuan-dan-kiara-reklamasi-hancurkan-rumah-tangga-nelayan/)

Translate »