Solidaritas Perempuan NTT Gelar Diskusi Publik: Sejarah Gerakan Perempuan di NTT

Ditulis oleh Gres Gracella, Anggota SP di NTT

Setelah disahkan pada tanggal 26 September 2022 di Kupang, Anggota Solidaritas Perempuan NT T menggelar Diskusi Publik dengan tema “Sejarah Gerakan Perempuan di NTT”. Kegiatan yang dilaksanakan pada tanggal 30 September 2022 di gedung Ed Hotel SMK Negeri 3 Kupang ini dihadiri oleh 84 Peserta dari 35 NGO/CSO dan komunitas-komunitas anak muda yang ada di Kota Kupang.

Diskusi tersebut menghadirkan lima orang narasumber yakni; Marta Hebi, Aktivis Perempuan Sumba dan juga penulis buku Bukan Perempuan Biasa di Sumba,  Pdt. Ina Bara Pa perwakilan dari Gereja Masehi Inji di Timor (GMIT), Torry Ata Ketua Lembaga Perlindungan Anak (LPA) NTT, Pdt. Emmy Sahertian Aktivis Perempuan Buruh Migran dan Dinda Nuur Annisa Yura Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan. Tujuan dilakukannya diskusi ini adalah untuk menggali kembali sejarah pergerakan perempuan yang ada di Nusa Tenggara Timur dan juga sebagai ruang pembelajaran untuk melihat isu-isu sosial yang berdampak pada ruang hidup perempuan di Nusa Tenggara Timur.

Dalam sambutannya, Puspa Dewy selaku Dewan Pengawas Nasional Solidaritas Perempuan memperkenalkan bahwa Anggota Solidaritas Perempuan sudah ada di NTT dan juga menjelaskan kerja-kerja Solidaritas Perempuan.

Sebelum narasumber menyampaikan materi untuk memulai diskusi, Linda Tagie, sebagai moderator mengajak peserta diskusi mengheningkan cipta untuk mengenang peristiwa G30S dan mengingat jasa semua perempuan yang gugur di medan perang dengan kontribusi dan pengalamannya masing-masing. Peristiwa ‘65 tidak terlepas pada penghancuran gerakan perempuan yang tumbuh secara progresif di awal kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, keberadaan perempuan justru diberangus karena pemikirannya yang dianggap tidak sejalan dengan sistem yang saat itu berkuasa.

Martha Hebi sebagai narasumber pertama yang hadir melalui platform zoom menjelaskan pengalamannya dalam mendokumentasikan kisah Perempuan di Sumba: Meramu Sejarah dari Perempuan Pinggiran. Bagi Martha, sejarah selalu ditulis oleh perempuan-perempuan pilihan. Perempuan yang dipilih karena status sosial, karena privilege, perempuan istri pejabat. Sementara perempuan yang dianggap bukan pilihan, atau yang disebut Martha sebagai perempuan-perempuan pinggiran jarang diceritakan dalam narasi-narasi perempuan.  Buku Bukan Perempuan Biasa di Sumba, yang ditulis Martha menceritakan bahwa catatan pergulatan perempuan yang ia tulis merupakan upaya untuk menyuarakan sejarah yang dibungkam tentang kehidupan para perempuan petani, perempuan tukang urut, perempuan-perempuan seni yang menciptakan berbagai kesenian untuk melawan segala ketimpangan sosial di Sumba pada masanya. Upaya pendokumentasian cerita perjuangan  perempuan-perempuan pinggiran di Sumba ini bagi Martha adalah upaya menulis sejarah perempuan. Dengan pendekatan-pendekatan yang humanis, Marta mengajak semua peserta diskusi untuk memulai menulis apa yang kita lihat, apa yang kita alami dan apa yang ada di sekitar kita. “Mulailah menulis sejarah kita sendiri sebelum orang lain yang datang dan menulisnya”, ujarnya.

Selain Marta, Pdt. Ina Bara Pa menjelaskan bagaimana Gereja Masehi Injil di Timor (GMIT) juga turut serta berkontribusi untuk membangun gerakan perempuan di NTT. Menurut Pdt. Ina, GMIT sebagai warisan Kolonialisme yang berdiri sejak tahun 1947 juga mempunyai tantangan sendiri dalam menempatkan perempuan sebagai mitra di dalam pelayanan dan struktur. Meski hingga kini GMIT sudah dilayani oleh 1.516 pendeta (1.038 Perempuan dan 478 laki-laki data per September 2022) tetapi jumlah ini juga memiliki kisah perjalanan perempuan GMIT yang panjang dalam mendorong kepemimpinan perempuan. Hingga kini, GMIT juga fokus melayani di NTT dengan ancaman: Gempa, angin, kebakaran, tsunami, kekerasan seksual, kekerasan berbasis gender, buruh migran dan isu-isu sosial masyarakat lainnya.

Menurut Pdt. Ina, semua kekerasan berbasis gender yang terjadi di NTT umumnya disebabkan oleh budaya patriarki yang mendominasi masyarakat. Pdt. Ina juga menjelaskan bahwa sejarah perempuan NTT tersimpan di dalam tenunan dan mitos atau cerita sejarah lisan. “Perempuan modern menulis di atas kertas, tetapi perempuan budaya menulis di dalam motif,” ungkapnya.

Narasumber ketiga, Torry Ata yang adalah Ketua LPA juga menjelaskan bahwa gerakan perempuan adalah gerakan perlawanan terhadap ketidakadilan sosial dan ketidakadilan gender. Gerakan Perempuan di NTT dipengaruhi oleh gerakan perempuan secara nasional. Jejak sejarah gerakan perempuan di NTT sejak zaman Orde Baru hingga Reformasi di Nusa Tenggara Timur berfokus pada partisipasi perempuan dalam ranah politik, eksekutif, yudikatif dan ranah publik juga keterlibatan perempuan di tingkat desa dan upaya penghapusan kekerasan, trafficking, perkawinan usia anak serta diskriminasi juga support group terhadap korban.

Pdt. Emmy Sahertian yang juga adalah aktivis perempuan menceritakan pengalaman penanganan kasus-kasus Perdagangan Orang yang terjadi di NTT. Bagi Pdt. Emmy, Perdagangan orang adalah pelanggaran HAM berat yang berkaitan dengan  perbudakan modern, juga memberangus kemanusiaan perempuan sebagai mata rantai kehidupan ciptaan Tuhan dan mata rantai peradaban manusia yang adil, damai dan setara, serta salah satu bentuk kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Ada beberapa faktor yang menjadikan perempuan sebagai korban berlapis dari Tindak Perdagangan Orang, antara lain: Kerentanan Budaya melalui ketimpangan dan ketidakadilan gender, ketergantungan, karena dalam budaya perempuan bukan pengambil keputusan, korban KDRT dan orang tua tunggal juga budaya yang tabu. Selain itu, Kerentanan Ekonomi yang disebabkan oleh rendahnya pendidikan dan keterampilan hidup juga beban ganda untuk membantu ekonomi keluarga dengan keterampilan yang minim, kekurangan akses modal, tanah, air dan ruang kreatif untuk pengembangan  serta migrasi kerja terpaksa. Semua hal ini rentan membuat perempuan NTT menjadi korban perdagangan orang.

Menurut Emmy, sejak tahun 2016 hingga kini banyak perempuan pekerja migran yang direkrut secara non-prosedural pulang sebagai jenazah. Mereka adalah gadis remaja, perempuan dan ibu rumah tangga. Emi menegaskan bahwa ada mafia yang bermain di dalam kasus trafficking di NTT. Mafia itu baik dari aktor/oknum negara, gereje, hingga adat.

Pemateri terakhir,  Dinda Nuur Annisa Yura sebagai Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan menjelaskan bahwa sejarah gerakan perempuan di NTT tidak terlepas dari sejarah gerakan perempuan global dan sejarah  gerakan perempuan di Nasional. Menurut Dinda, Gerakan perempuan terus berkembang dengan concern isu yang beragam. Namun pembelajaran yang bisa diambil adalah bagaimana gerakan perempuan dan para aktivisnya berkontribusi untuk menghadirkan perspektif feminis di berbagai isu, salah satunya dengan menjadi bagian dari gerakan yang lebih luas. “Perempuan juga berbicara terkait agraria, lingkungan, buruh, buruh migran, juga demokrasi dan politik,” ujarnya.

Dinda juga menjelaskan kerja-kerja Solidaritas Perempuan yang fokus membangun gerakan di akar rumput. Menurut Dinda, Solidaritas Perempuan fokus pada penguatan gerakan politik perempuan dan perempuan dalam konteks keadilan agraria, kedaulatan pangan, keadilan iklim, hak buruh migran dan seksualitas. Serta membangun jaringan dan konsolidasi bersama gerakan lainnya.

Diskusi yang dimulai sejak pkl. 10.00 hingga 13.00 itu diakhiri dengan sesi tanya jawab oleh peserta diskusi. Libby Sinlaloe dari Rumah Perempuan juga menanyakan apakah Solidaritas Perempuan sudah melakukan kerja pendokumentasian terhadap sejarah perempuan NTT itu sendiri dan bagaimana kita perlu mensinergikan gerakan bersama berdasarkan profesi agar menguatkan gerakan perempuan di Nusa Tenggara Timur. Hal ini menjadi masukan mengingat bagi Solidaritas Perempuan pendokumentasian pengalaman dan pengetahuan perempuan merupakan hal penting untuk pembelajaran bagi gerakan.

Sebagai peserta diskusi, Melly Luwu juga berpendapat bahwa diskusi publik hari ini sebagai langkah awal Solidaritas Perempuan di Nusa Tenggara Timur untuk membangun dan membangkitkan gerakan perempuan di Nusa Tenggara Timur. “Semoga perjuangan baik ini berumur panjang agar terus berdampak bagi semua masyarakat di Bumi Flobamora”, ungkapnya.

Translate »