Perempuan Menuntut Pemerintahan Jokowi-JK untuk mengembalikan kedaulatan perempuan atas sumber-sumber agraria

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Kembalikan Kedaulatan Perempuan, Wujudkan Keadilan Agraria
Memperingati Hari Tani Nasional 2015

“Perempuan Menuntut Pemerintahan Jokowi-JK untuk mengembalikan kedaulatan perempuan atas sumber-sumber agraria.”

Selama 55 tahun mandat Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) untuk mewujudkan keadilan agraria dengan memperhatikan prinsip kesetaraan gender dalam pengelolaan sumber-sumber agraria telah diabaikan. Fakta hari ini menunjukan semakin banyak Undang-undang dan kebijakan lainnya yang menfasilitasi kepentingan pasar bebas dan investasi dalam merampas sumber-sumber agraria, MP3EI adalah salah satunya. Situasi ketimpangan penguasaan agraria terus menerus dibiarkan telah menyebabkan pemiskinan masyarakat dan hilangnya kedaulatan perempuan atas sumber-sumber kehidupannya. Bukannya mengatasi persoalan tersebut, pemerintahan justru semakin tersesat dalam melaksanakan agenda reforma agraria.

Persoalan ketimpangan penguasaan sumber agraria yang seharusnya dapat diselesaikan dengan pelaksanaan UUPA, justru sebaliknya. Ketimpangan semakin meluas dan sering berujung pada konflik agrarian. Rakyat harus diperhadapkan dengan tindakan-tindakan militer dari perusahaan negara maupun swasta. Solidaritas Perempuan mencatat bahwa sepanjang 2012 – 2014, sedikitnya 2 perempuan dianiaya, 2 perempuan dikriminalisasi, 3 perempuan tertembak dan 3 perempuan luka-luka akibat bentrokan yang terjadi dalam konflik agraria. Angka ini hanya merupakan angka minimal yang terungkap dan tercatat melalui media. Data lainnya menunjukan bahwa dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir (2004-2014), tercatat setidaknya terjadi 1.391 konflik agraria, di mana 85 petani tewas, 110 orang tertembak, 633 orang mengalami penganiayaan dan 1.395 orang ditangkap (Data KPA, 2014). Sayangnya, belum ada data terpilah yang menunjukan jumlah perempuan yang menjadi korban dari konflik agrarian tersebut. Ini dikarenakan persoalan perempuan dalam pengelolaan sumber agraria masih tersembunyi dan tidak diidentifikasi.

Sayangnya, SP menilai sampai saat ini pemerintah belum berhasil menerjemahkan reforma agraria yang sesungguhnya. Program NAWACITA nyatanya tidak menjawab persoalan perempuan atas agraria. Program 9 juta ha, justru akan menguatkan ketimpangan penguasaan. Rencana Pemerintah Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 menerjemahkan reforma agraria hanya pada kepastian hukum hak atas tanah seperti pendaftaran tanah positif, penegasan batas lahan hutan dan non-hutan serta sertifikasi. Kesemua itu menekankan pada prosedur legal-administratif dan bukan secara substantif mendorong pemenuhan dan perlindungan hak atas tanah yang sesungguhnya. RPJMN juga tidak memperhitungkan situasi khusus perempuan dalam hal penguasaan, penggunaan, pemanfaatan ataupun kepemilikan tanah. Tidak adanya data terpilah gender dan analisis yang mengidentifikasi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pengelolaan sumber agraria, ataupun langkah-langkah nyata yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi kesenjangan tersebut adalah bukti bahwa pemerintah belum mengakui perempuan sebagai pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber-sumber agraria.

Pemerintahan Jokowi – JK tidak melihat peran penting dan situasi khusus perempuan dalam pengelolaan sumber agraria. Bagi perempuan, tanah, air dan hutan adalah tempat untuk hidup dan menyediakan sumber kehidupan untuk kelangsungan keluarga dan komunitasnya. Meski secara faktual, perempuan banyak berkontribusi dalam proses produksi, namun peran ini dinilai hanya membantu laki-laki sebagai kepala keluarga. Sehingga perempuan dibatasi akses dan kontrolnya atas sumber-sumber agraria. Diskriminasi dan ketidakadilan gender ini telah gagal diatasi oleh Negara Indonesia sebagai Negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).

Melalui momentum peringatan Hari Tani Nasional 2015 dan menjelang 1 tahun pemerintahan Jokowi – JK, Solidaritas Perempuan bersama perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan buruh migran, perempuan miskin kota dan perempuan aktivis di 12 wilayah di Indonesia, yaitu Aceh, Palembang, Padang, Lampung, Jakarta, Yogyakarta, Poso, Palu, Makassar, Kendari, Sumbawa, dan Makassar secara serentak menyatakan dan menuntut Negara segera mengembalikan kedaulatan perempuan atas sumber agraria untuk mengeluarkan kebijakan dan melakukan tindakan nyata dengan:

  1. Memastikan akses dan kontrol perempuan atas pengelolaan sumber daya agraria untuk mengembalikan kedaulatan perempuan atas tanah, air dan hutan
  2. Menciptakan kondisi yang mendukung kesetaraan perempuan dalam hal pengetahuan, kapasitas, dan pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam.
  3. Mengakui perempuan sebagai subyek dari pelaksanaan reforma agraria serta Melaksanakan reforma agraria berkeadilan gender
  4. Menyelesaikan konflik agraria dengan prinsip inklusif, sensitif dan responsif gender, dengan mempertimbangkan situasi, kondisi dan dampak yang dialami perempuan akibat dari terjadinya konflik agrarian.

Jakarta, 22 September 2015

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh
Solidaritas Perempuan Palembang
Solidaritas Perempuan Sebay Lampung
Solidaritas Perempuan Jabotabek
Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta
Solidaritas Perempuan Mataram
Solidaritas Perempuan Sumbawa
Solidaritas Perempuan Kendari
Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makassar
Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso
Solidaritas Perempuan Palu
Anggota Solidaritas Perempuan di Padang

Kontak Person:
Arieska Kurniawaty (0812 8056 4651)

Translate »