Batalkan BIT Indonesia-Singapura

Jakarta, 17 Oktober 2018. Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi, mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak meratifikasi Perjanjian Investasi Bilateral (Bilateral Investment treaty) dengan Singapura karena penandatanganan perjanjian tersebut mengancam kedaulatan negara. Mereka juga menuntut agar Pemerintah Indonesia untuk membuka transparansi teks perjanjian dan melibatkan publik acara luas dalam proses pengambilan keputusan baik pada institusi pemerintah maupun institusi legislatif.

Desakan ini dilakukan untuk menyikapi penandatanganan Perjanjian BIT antara Indonesia dengan Singapura pada 11 Oktober 2018 di Bali disela-sela pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia.

Perjanjian BIT memuat salah satu instrument Bank Dunia dalam memberikan perlindungan maksimum kepada Investor asing dibawah Konvensi ICSID. Instrumen ini dikenal dengan mekanisme gugatan investor asing terhadap negara atau dikenal dengan istilah Investor to State Dispute Settlement (ISDS).

Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ), Rachmi Hertanti, menyatakan bahwa penandatanganan BIT adalah sebuah kemunduran dari kebijakan yang pernah diambil Pemerintah Indonesia pada 2013 untuk mereview dan menghentikan pemberlakuan BIT. “pemerintah telah mengingkari komitmennya kepada rakyat, padahal secara sadar diakuinya jika BIT dan ISDS itu merugikan Indonesia bahkan dapat mengesampingkan Konstitusi dan undang-undang nasional”, tegas Rachmi.

Koalisi ini menilai penandatanganan yang dilakukan bersamaan dengan berlangsungnya sidang tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali pekan lalu (8-14 Oktober 2018) berada dibawah tekanan sistem neo-liberal yang dianut oleh IMF dan Bank Dunia. “ini semakin memperlihatkan nuansa keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada sistem neo-liberal yang mempertahankan impunitas korporasi ketimbang perlindungan hak rakyat” terang Muhammad Reza Koordinator dari KRuHA yang juga Korrdinator Gerak Lawan.

“BIT akan memberikan perlindungan hukum dan hak yang sangat kuat bagi investor, melampaui kedaulatan Negara dalam upaya melindungi warganya. Termasuk dalam hal tanggungjawab Negara untuk mengeluarkan regulasi pada sektor di mana perempuan mengalami dampak yang sangat signifikan sementara aturan yang sudah ada masih lemah. Misalnya bagaimana prinsip persetujuan bebas tanpa paksaan dalam pelaksanaannya tetap mengecualikan perempuan karena budaya patriarki dalam masyarakat. Selain itu, BIT sudah pasti akan menyasar sumber daya alam. Di mana, perempuan  mengelola dan memanfaatkan dengan kearifan pengetahuan perempuan dan tergantung padanya,” tegas Puspa Dewy, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Penandatanganan BIT Indonesia-Singapura sangat luput dari perhatian publik, bahkan parlemen sekalipun. Kerahasiaan dalam proses negosiasi dan jauh dari pengawasan publik telah menghilangkan demokrasi.  Hal ini diterangkan oleh Marthin Hadiwinata dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia(KNTI), “tertutupnya partisipasi dan akses publik terhadap informasi serta draft teks perjanjian di dalam negosiasi BIT telah mengancam demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia” pungkasnya.

David Sitorus, Ketua IHCS menjelaskan bahwa BIT Indonesia-Singapura disahkan atau diratifikasi tanpa memerlukan persetujuan DPR RI sehingga fungsi kontrol rakyat/DPR atas kekuasaan Pemerintah telah hilang. “hal ini telah bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena dampaknya yang sangat fundamental bagi kehidupan rakyat maka sudah sepatutnya BIT Indonesia-Singapura harus mendapatkan persetujuan rakyat. Jika tidak, maka BIT Indonesia-Singapura harus dianggap Inkonstitusional”, tegasnya.

Dari paparannya, kembali Koalisi Masyarakat Sipil Indonesia untuk Keadilan Ekonomi menyatakan secara tegas penolakannya terhadap BIT Indonesia-Singapura dan mekanisme ISDS yang diatur dalam perjanjian tersebut. Bahkan mereka mendesak Pemerintah Indonesia untuk membatalkan dan tidak meratifikasi BIT Indonesia-Singapura. Serta menuntut agar Pemerintah Indonesia untuk membuka transparansi teks perjanjian dan melibatkan publik acara luas dalam proses pengambilan keputusan baik pada institusi pemerintah maupun institusi legislatif. **

 

Informasi selanjutnya, hubungi:

Rachmi Hertanti (IGJ): 0817-4985180

Puspa Dewy (SP): 0852-60241597

Marthin Hadiwinata (KNTI): 0812-86030453

Muhammad Reza Sahib (KRuHA/Gerak Lawan): 0813-70601441

David Sitorus (IHCS): 0813-17066828

Translate »