Hentikan Kedurhakaan Negara terhadap Perempuan dan Lingkungan untuk Restorasi Ekosistem

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera

Jakarta, 4 Juni 2021. Solidaritas Perempuan menyerukan agar Negara segera menghentikan kedurhakaannya terhadap perempuan dan lingkungan untuk restorasi ekosistem. Seruan ini disampaikan pada aksi peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang diperingati setiap tahunnya oleh dunia pada 5 Juni. Kelestarian lingkungan hidup adalah tanggung jawab global karena ekosistem berhubungan dengan seluruh jaringan hidup yang ada di muka bumi. Upaya yang dilakukan untuk memperbaiki lingkungan, seiring dengan tema global Hari Lingkungan hidup 2021 “Membayangkan kembali, menciptakan kembali, dan memulihkan kembali,” adalah aksi yang nyata dari seluruh entitas, terutama negara, untuk mengatasi akar persoalan pengrusakan lingkungan.

Kampanye perubahan pola konsumsi yang tersebar di media dan gaya hidup zero waste hingga praktik pertanian lestari yang banyak diinisiasi warga memang merupakan satu langkah menuju pemulihan lingkungan hidup.  Namun upaya tersebut tidak cukup tanpa menyasar akar permasalahan dari hilangnya ekosistem alam dan rusaknya lingkungan hingga menimbulkan berbagai bencana ekologi. Krisis iklim yang terjadi adalah satu faktor, namun kebijakan dan aksi pengelolaan lingkungan hidup yang eksploitatif, serakah dan mengabaikan keberlanjutan adalah penyebab penting yang perlu diatasi. “Negara telah mengingkari mandatnya untuk mensejahterakan warganya dan melindungi lingkungan sebagai ekosistem penting untuk keberlanjutan hidup. Negara telah durhaka terhadap perempuan dan lingkungan” tegas Nisaa Yura, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan. Setidaknya ada 10 durhaka Negara yang dilakukan terhadap perempuan dan lingkungan.

Pertama, Negara patuh dan tunduk pada kepentingan investor, hingga mengorbankan lingkungan dan kesejahteraan perempuan. Untuk mengejar investasi, ekonomi keruk pun menjadi pilihan bagi pemerintah dalam mengelola lingkungan hidup. 

Kedua, Negara agresif menghasilkan regulasi yang menghancurkan lingkungan dan merampas kehidupan perempuan. Tapi abai terhadap kebijakan yang dibutuhkan perempuan. UU Minerba dan Omnibus Law UU Cipta Kerja yang dikebut pengesahannya dalam situasi pandemi telah mengabaikan suara-suara rakyat. Sementara pembahasan regulasi yang sangat dibutuhkan perempuan seperti RUU KKG, RUU PKS, RUU Perlindungan PRT dan lainnya terus ditunda. 

Ketiga, watak patriarki Negara meminggirkan perempuan dari pembangunan yang hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, mengeksploitasi alam dan memperlebar ketimpangan ekonomi. Seorang perempuan pesisir Makassar menyerukan penolakannya terhadap pembangunan Makassar New Port, “Perempuan pesisir hanya punya laut, jangan rampas laut kami untuk Proyek Makassar New Port. Laut untuk Rakyat“, tegasnya. 

Keempat, Negara aktif mengikatkan diri pada komitmen perjanjian perdagangan bebas yang mengancam lingkungan dan menghilangkan kedaulatan perempuan. Pemerintah secara nyata menargetkan untuk menyelesaikan negosiasi perjanjian perdagangan bebas di tengah situasi pandemi Covid-19. Hal ini dilakukan tanpa kajian dampak dari perjanjian perdagangan bebas yang sebelumnya telah lebih dulu ditandatangani. Substansi dari perjanjian perdagangan bebas ini banyak yang melindungi investasi asing hingga mengancam lingkungan. 

Kelima, Negara sesat pikir dalam penanganan krisis iklim yang berorientasi pada proyek dan solusi palsu. Krisis iklim sebagai salah satu penyebab hilangnya ekosistem alam justru ditangani melalui proyek yang merusak lingkungan dan menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap ekosistem alamnya. Di Poso, pembangunan PLTA merusak dan mencemari sungai serta danau yang menghidupi warga di sekitarnya demi solusi iklim palsu. Pembangunan PLTA Poso yang harapannya mampu menghasilkan energi terbarukan ramah lingkungan tetapi kenyataannya justru menghancurkan sumber kehidupan dan ruang hidup perempuan. 

Keenam, Negara khianat terhadap reforma agraria dan berpihak pada investasi yang rakus pada sumber agraria dan mengeksploitasi lingkungan. Mandat reforma agraria yang seharus membongkar ketimpangan kepemilikan, penguasaan dan pemanfaatan sumber-sumber agraria justru dibajak dan dipersempit melalui agenda reforma agraria yang selama ini dipromosikan oleh pemerintah, namun tidak menyelesaikan persoalan ketimpangan tersebut. Faktanya perempuan terus berhadapan dengan konflik agraria berkepanjangan karena tanahnya direbut oleh perkebunan skala besar. “Hidup dan mati kita butuh tanah, tapi tanah kami dirampas PTPN Cinta Manis” tegas perempuan petani dari desa Seri Bandung – Kabupaten Ogan Ilir. 

Ketujuh, Negara represif, menggunakan kekerasan dan melakukan kriminalisasi terhadap perempuan yang memperjuangkan kelestarian lingkungan. Tren penggunaan kekerasan dan kriminalisasi yang dialami oleh perempuan yang memperjuangkan ekosistem alamnya kian meningkat. Seperti yang dialami oleh perempuan adat Pubabu ketika mempertahankan hutan adatnya. Ataupun saat wadon (perempuan) Wadas – Purworejo yang mengalami luka-luka saat melakukan aksi damai menolak pertambangan akibat tindak represif dari polisi yang memaksa masuk. 

Kedelapan, Negara lamban dan tidak responsif serta sensitif gender dalam penanganan bencana, terlebih bencana ekologi yang terjadi. Catatan Solidaritas Perempuan dalam penanganan bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada 2018 lalu, perempuan dalam situasi darurat bencana mengalami kekerasan seksual, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), hingga terjerat dalam kemiskinan yang kemudian menjerumuskan perempuan dalam pernikahan usia dini, termakan bujuk rayu calo untuk menjadi pekerja migran di luar negeri, bahkan menjadi pekerja seks dan korban trafficking.

Kesembilan, Negara menghancurkan sumber kehidupan dan ruang hidup perempuan, memaksa perempuan mencari penghidupan di luar negeri dengan kerentanan terhadap kekerasan, pelanggaran hak, trafficking, dan berbagai kasus lainnya.  Berdasarkan Catatan Akhir Tahun (Catahu) Advokasi Kasus SP tahun 2020, SP telah menangani 63 kasus perempuan buruh migran yang mengalami pelanggaran hak dan kekerasan serta menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. 

Kesepuluh, Negara enggan mengakui peran dan posisi perempuan hingga meminggirkan perempuan dari pengambilan keputusan di berbagai tingkatan. Hal ini menjadikan suara perempuan kerap tidak didengar dan kepentingan perempuan tidak terakomodir. Di dalam banyak proyek yang meminggirkan masyarakat dan menghancurkan lingkungan, seringkali tidak melibatkan masyarakat terlebih perempuan di dalam perencanaan, implementasi maupun pengawasan.

Kedurhakaan Negara terhadap perempuan dan lingkungan harus segera dihentikan untuk restorasi ekosistem yang merupakan elemen penting bagi kehidupan manusia. Orientasi pembangunan yang selama ini bertumpu pada investasi dan bisnis harus dibongkar. Pembangunan seharusnya berorientasi pada komunitas dan kepentingan warga di mana perempuan memiliki peran dan inisiatif signifikan di dalamnya. Perempuan dan alam memiliki relasi yang sangat erat, rusaknya lingkungan akan berdampak secara berbeda dan spesifik terhadap perempuan. 

Solidaritas Perempuan adalah organisasi yang didirikan sejak 10 Desember 1990. Solidaritas Perempuan bekerja bersama perempuan petani, perempuan nelayan, perempuan miskin kota, perempuan buruh migran dan perempuan akar rumput lainnya untuk mewujudkan tatanan sosial yang demokratis, berlandaskan prinsip-prinsip keadilan, kesadaran ekologis, menghargai pluralisme dan anti kesetaraan yang dilandaskan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara dimana keduanya dapat berbagi akses dan kontrol atas sumber daya alam, sosial budaya, ekonomi dan politik secara adil.

Untuk informasi lebih lanjut maupun wawancara 
Nama  : Dian Prawita
Nomor kontak: 087817083572
Alamat email : dianprawita@solidaritasperempuan.org

Translate »