Siaran Pers “Kegagalan Demonstrasi REDD di Indonesia: Pemerintah Australia dan Indonesia Harus Bertanggung Jawab atas Persoalan yang Ditimbulkan KFCP di Kalimantan Tengah”

Proyek KfcpKeputusan AusAID untuk menghentikan proyek Kalimantan Forest Climate Partnership (KFCP) merupakan hal yang sangat tepat. Proyek Kalimantan Forest and Climate Partnership (KFCP) yang didanai oleh Australia sebesar USD 30 juta, mencakup wilayah seluas 120.000 ha di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, telah membawa banyak persoalan bagi masyarakat di wilayah proyek. Proyek ini melibatkan 7 desa, 5 dusun dan 2 dukuh. Proyek ini telah diidentifikasi sebagai proyek gagal oleh berbagai pihak.

Sejak mulainya di tahun 2009 hingga berakhirnya Proyek KFCP pada Juni 2012, telah menimbulkan persoalan di masyarakat, perempuan dan laki-laki. Anehnya, dengan berbagai persoalan yang sudah ada, proyek tersebut masih diperpanjang hingga Juni 2013 dan sempat ada rencana untuk diperpanjang lagi hingga 2014. Berbagai persoalan yang terjadi antara lain pelanggaran kesepakatan, mekanisme yang memicu konflik antar warga, hingga penghalangan akses masyarakat ke hutan untuk mengambil hasil hutan dengan membuat bendungan pada aliran sungai-sungai kecil yang dipergunakan warga untuk memasuki kawasan hutan. Pembuatan bendungan (tabat) pada aliran sungai jelas mengakibatkan masyarakat tidak dapat masuk ke hutan melalui sungai. Hak atas upah pembibitan yang mayoritasnya dikerjakan oleh perempuan, juga dilanggar. Kesepakatan awal setiap KK akan mendapatkan upah sebesar Rp.1.800/bibit, namun faktanya perempuan hanya menerima Rp.600,-/bibit. Fakta tersebut menunjukkan bahwa KFCP telah melanggar kesepakatannya dengan masyarakat desa. Masih banyak pelanggaran kesepakatan lainnya yang dilakukan KFCP.

Selain itu, kehadiran KFCP juga telah mengakibatkan konflik horizontal dan perubahan pola sosial di masyarakat. Banyaknya pihak-pihak asing yang masuk ke desa dan kesimpangsiuran informasi telah membuat masyarakat menjadi lebih mudah saling curiga, dan mengikis budaya gotong royong warga. Selain itu, pembiasaan KFCP untuk memberikan uang transportasi dalam setiap pertemuan sosialisasi, yang biasa dikenal masyarakat sebagai “uang duduk”, membuat masyarakat menjadi terbiasa untuk adanya uang dalam setiap pertemuan warga, sehingga apabila tidak ada uang dalam pertemuan, sebagian masyarakat menjadi lebih enggan untuk hadir. Kerusakan pola sosial budaya semacam ini merupakan kerugian yang tidak dapat digantikan dengan kompensasi uang.

Persoalan di atas masih terjadi dan belum diselesaikan oleh pihak KFCP, padahal perpanjangan proyek KFCP telah selesai pada Juni 2013. Bahkan saat ini muncul persoalan baru, yaitu penabatan (bendungan) oleh pihak KFCP di beberapa desa, salah satunya desa Sei Ahas. “Padahal sebanyak 54 warga yang memiliki kebun, telah menolak untuk dilakukan penabatan (bendungan), bahkan warga telah menolak kehadiran KFCP di desa mereka” Ujar Perempuan dari Desa Sei Ahas. Penabatan tersebut rencananya akan dilakukan pada 6 Juli 2013, bukan cuma satu, tetapi terdapat 3 penabatan yang akan dibangun. Warga akan semakin kesulitan untuk mengakses hutan dengan adanya penabatan tersebut. Namun, warga agak khawatir untuk melakukan penolakan secara terang-terangan, karena menurut informasi, proses penabatan akan menghadirkan pihak kepolisian. Apalagi pernah terjadi dalam proses musyarawah desa, ada kehadiran polisi. “Keterlibatan polisi ketika proses musyawarah antara pemerintah, pihak pelaksana proyek, dan warga, menunjukkan bahwa tidak terjadi proses FPIC dalam pelaksanaan proyek KFCP” Ungkap Puspa Dewy – Koordinator Program Solidaritas Perempuan.

Berbagai situasi dan persoalan tersebut terjadi, tidak terlepas karena sejak awal adanya proyek KFCP tersebut, masyarakat, khususnya perempuan, tidak mendapatkan informasi dengan jelas, serta tidak dilibatkan dalam konsultasi proyek KFCP. Terlebih lagi, dalam implementasinya, masyarakat, khususnya perempuan di wilayah sekitar lokasi proyek KFCP merasa dirugikan dengan kehadiran proyek KFCP. Hak-hak perempuan dalam pengelolaan sumber daya hutan semakin termarginalkan, perempuan tidak dapat lagi mengambil bahan pangan, bahan baku untuk mengayam tikar, maupun menyadap karet.

Solidaritas Perempuan menuntut tanggung jawab AuSAID dan pemerintah Indonesia atas persoalan yang terjadi di Kalimantan Tengah akibat kehadiran proyek KFCP. “Walaupun AusAID mengatakan akan mengakhiri/tidak memperpanjang pembiayaan proyek KFCP, namun AusAID dan pihak KFCP tetap harus bertanggung jawab atas persoalan dan konflik di masyarakat, dan merehabilitasi kerusakan lingkungan dan sosial yang terjadi” tegas Puspa Dewy.

Jakarta, 09 Juli 2013

Wahidah Rustam
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

Kontak Person :
Aliza Yuliana (aliza@solidaritasperempuan.org)

Translate »