Perempuan dan kedaulatan pangan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Praktik selama ini, pengetahuan kearifan dan pengalaman yang dimiliki perempuan mampu mempertahankan pola pengelolaan produksi pangan alami yang berkelanjutan. Dalam hal distribusi juga bisa dilihat perempuan yang banyak menggerakkan pasar-pasar tradisional di desa dan kota. Termasuk produk pangan rumahan yang banyak dikelola dan dijalankan oleh perempuan. Hingga akhirnya pangan tersedia di atas meja makan untuk konsumsi keluarga pun tetap dilekatkan menjadi tanggungjawab bagi perempuan.
Namun perubahan sistem pangan di dunia, termasuk di Indonesia telah meminggirkan peran dan pengetahuan perempuan. Globalisasi ekonomi yang mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi memaksa produsen pangan kecil bersaing dengan korporasi pangan. Sistem pengelolaan pangan tradisional dipandang tidak efektif dan efisien dari segi produksi sehingga digantikan dengan sistem yang modern untuk memacu peningkatan hasil produksi. Petani,nelayan, dan masyarakat adat secara sistemik dijebak dalam teknologi yang tidak mampu diciptakannya sendiri sehingga biaya produksi pangan melangit. Benih telah dikuasai oleh perusahaan, bahkan semakin massif munculnya benih dengan rekayasa genetika yang mengancam kesehatan, keanekaragaman hayati dan lingkungan. Perempuan yang selama ini berperan dalam keanekaragaman hayati dan keberlangsungan alam menjadi tersingkir. Keahliannya dalam konservasi berbagai benih tanaman pangan, merawat tanaman dan mengolah hasil panen digantikan oleh benih unggul, pupuk kimia, herbisida dan pestisida yang diproduksi oleh pabrik. Belum lagi penggunaan teknologi yang sulit diakses oleh perempuan. Di sisi lainnya, perdagangan bebas membuka impor pangan yang menjadikan produsen pangan kecil harus juga bersaingan dengan produk pangan dari luar negeri yang harganya lebih murah dengan kualitas baik karena masih disubsidi. Sementara subsidi pertanian dan perikanan di Indonesia terus dipaksa untuk dicabut.
Kebijakan ekonomi yang bertumpu pada investasi juga mengakibatkan alih fungsi lahan, perampasan tanah dan sumber kehidupan lainnya yang disertai dengan kekerasan, intimidasi dan kriminalisasi. Realitas ketimpangan struktur agraria menimbulkan konflik agraria yang diperparah dengan budaya patriarki yang lebih mengutamakan laki-laki. Ketimpangan relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat yang berimplikasi pada ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah antara perempuan dan laki-laki akibat adat dan budaya. Hilangnya sumber kehidupan tidak hanya dalam hal perampasan hak atas tanah, melainkan juga pencemaran lingkungan yang merusak ekosistem.
Hal ini dilihat dari ancaman industri ekstraktif yang rakus air dan membongkar bentang alam. Sehingga industri ekstraktif ini merupakan industri yang patriarch/maskulin. Beberapa industri ekstraktif antara lain pertambangan batu bara, nikel, emas, galian c, karst untuk marmer dan semen, juga termasuk perkebunan kelapa sawit. Padahal air adalah hal yang tak terpisahkan dalam perjuangan mewujudkan kedaulatan pangan, baik sebagai sumber produksi maupun sebagai konsumsi. Namun, seperti halnya sumber daya lainnya, air juga dieksploitasi, dicemari, dan diprivatisasi. Karakter industri ekstraktif antara lain bisnisnya yang eksploitatif, memarjinalisasi fungsi alam, mengorbankan kepentingan perempuan, klaim teknologi sehingga meminggirkan masyarakat adat, menghancurkan kearifan tradisi dan budaya, serta menggunakan kekuasaan yang berbasis pada kekerasan yang berujung pada konflik sumber daya alam.
Di sektor pesisir, masih banyak kekerasan yang dialami oleh perempuan nelayan akibat kebijakan dan program negara. Beberapa di antaranya adalah reklamasi, penambangan pasir, pembangunan PLTU yang telah merampas ruang hidup nelayan dan masyarakat pesisir. Tidak adanya pengakuan identitas perempuan nelayan, menjadikan perempuan nelayan terkecualikan dalam program perlindungan maupun kebijakan negara. Sebagai contoh asuransi untuk nelayan yang masih diskriminatif terhadap perempuan. Kebijakan perubahan alat tangkap juga berimplikasi pada rumah tangga nelayan antara lain terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Persoalan lainnya yang juga mengemuka adalah perampasan ruang hidup oleh kekuatan korporasi melalui rencana zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang tidak partisipatif dan privatisasi pulau-pulau kecil seperti yang terjadi di Pulau Pari.
Ancaman terhadap perempuan dan kedaulatan pangan juga muncul akibat perubahan iklim. Cuaca esktrem menyulitkan petani untuk memprediksi mesin tanam dan musim panen, sehingga terancam gagal panen. Sementara bagi nelayan, badai dan tidak menentunya arah angin juga berpengaruh terhadap keselamatan nelayan dan juga hasil tangkap. Kebijakan dan proyek iklim pemerintah kemudian juga tidak menyelesaikan persoalan, banyaknya solusi palsu seperti REDD+, Climate Smart Agirculture, justru mengkibatkan perempuan tidak bisa mengakses sumber pangannya di hutan, maupun membuat perempuan petani bergantung pada teknologi dan benih perusahaan.
Negara telah meminggirkan perempuan dan menganggap perempuan tidak punya pengetahuan yang kemudian berimplikasi pada diskriminasi terhadap perempuan. Peran perempuan dinihilkan sehingga tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Akibatnya kebijakan pangan dan sumber daya alam justru membawa Indonesia pada darurat ekologis yang berdampak buruk bagi masyarakat. Dampak buruk ini dirasakan lebih berat dan mendalam bagi perempuan karena konstruksi sosialnya. Sehingga ketimpangan dan ketidakadilan gender semakin menguat akibat pemiskinan perempuan ini. Perempuan pun terpaksa alih pekerjaan sebagai buruh dan memutuskan untuk bermigrasi ke kota dan luar negeri untuk bekerja di sektor yang rentan mengalami kekerasan dan pelanggaran hak. Kekuatan korporasi semakin menguat tanpa pertanggungjawaban mutlak yang dapat dituntut (strict liabality) akibat pelanggaran hak asasi manusia, termasuk hak perempuan, dan kerusakan lingkungan. Kekuatan korporasi juga telah mampu mengubah pola konsumsi perempuan dan keluarganya, termasuk mengubah persepsi perempuan terhadap tubuhnya.
Meskipun demikian, rakyat tidak pernah tinggal diam dan terus melakukan perlawanan. Dan pada setiap perlawanan selalu ada perlawanan perempuan yang berkarakter sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman perempuan. Perjuangan perempuan dalam mewujudkan kedaulatan pangan dihadapkan pada tekanan, intimidasi, kriminalisasi, dan kekerasan berbasis gender. Secara khusus, situasi terkini nyata memperlihatkan hilangnya akses terhadap keadilan perempuan pejuang kedaulatan pangan. Bahkan ketika masyarakat dinyatakan menang dalam peradilan, namun tidak ada implementasinya.
Tahun 2018 ini adalah tahun politik yang merupakan peluang maupun tantangan besar. Biaya politik sangat tinggi sehingga para kandidat bisa menjadikan SDA sebagai sumber dana politik. Dan penguasa sumber daya alam merupakan penguasa politik. Sehingga diperlukan gerakan untuk mendorong agenda politik perempuan. Kedaulatan Pangan adalah kedaulatan bangsa, sehingga harus menjadi prioritas agenda politik ke depan. Momentum ini penting untuk memastikan arah kebijakan dan pembangunan berorientasi pada kedaulatan pangan dan kedaulatan rakyat.
Untuk menyikapi situasi ini, 130 perempuan pejuang kedaulatan pangan yang berasal dari Aceh, Palembang, Lampung, Jakarta dan Kepulauan Seribu, Yogyakarta, Pati, Sumbawa, Mataram, Kendari, Makassar dan Takalar, Poso, Palu, Samarinda, Kapuas berkumpul di Hari Perempuan Sedunia menegaskan hal-hal sebagai berikut:
- Menemukenali dan menguatkan inisiatif berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan dalam pengelolaan pangan, khususnya mempertahankan pengelolaan pangan alami sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi global.
- Memperkuat pengorganisasian dan gerakan akar rumput untuk mewujudkan kedaulatan pangan, termasuk mengkritisi dan melakukan aksi kritis dalam melawan bentuk-bentuk dan mekanisme perdagangan bebas dan investasi.
- Mendorong sinergi antar gerakan perempuan dengan gerakan sosial, termasuk memperkuat solidaritas antar rakyat tanpa terfragmentasi kasus.
- Mengintervensi ruang-ruang pengambilan keputusan, di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk terus menyuarakan kepentingan perempuan.
- Mendorong hak atas akses informasi publik dalam melakukan perjuangan kedaulatan pangan, antara lain informasi terkait PTPN, HGU, Kontrak Kerjasama Pemerintah – Swasta, dan teks negosiasi perjanjian perdagangan bebas, dan rancangan undang-undang.
- Mendorong kepemimpinan perempuan untuk merebut ruang politik dari tingkat lokal hingga nasional untuk memastikan agenda politik perempuan.
- Menggalang solidaritas untuk kelompok-kelompok masyarakat yang berelasi namun belum terhubung, misalnya kelompok masyarakat pedesaan yang merupakan produsen dengan kelompok masyarakat perkotaan yang sebagian besarnya adalah konsumen.
Kepada Negara untuk:
- Merombak sistem ekonomi yang saat ini bertumpu pada investasi dan pertumbuhan ekonomi menjadi sistem ekonomi yang berorientasi pada kedaulatan rakyat, kesejahteraan rakyat dan berkeadilan antara perempuan dan laki-laki.
- Mengakui peran, posisi dan hak-hak perempuan dalam pengelolaan pangan yang harus terefleksi dalam setiap tahapan kebijakan dan program dengan memastikan akses, kontrol, partisipasi dan manfaat terhadap perempuan.
- Memastikan keterlibatan perempuan, individu dan kolektif, secara bermakna dengan melihat pengalaman dan pengetahuan perempuan dalam kebijakan dan program pemerintah. Adapun keterlibatan ini harus dipastikan dalam setiap level pemerintah dari lokal dan nasional.
- Mengubah dan menata kembali struktur agraria melalui reforma agraria sejati yang adil gender sebagai penataan sumber pangan yang adil untuk memastikan perempuan memiliki akses dan kontrol terhadap pangan dan tanah dengan partisipasi publik secara luas dan kritis.
- Mengesahkan kebijakan yang menjamin hak perempuan atas sumber kehidupannya, antara lain rancangan Perpres Reforma Agraria, RUU Pertanahan, RUU Air.
- Membuat terobosan politik dan hukum dengan tindakan nyata dalam penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh dan berkeadilan gender.
- Konsisten melaksanakan regulasi untuk melindungi lahan pertanian pangan berkelanjutan hingga di tingkat lokal.
- Memastikan jaminan keamanan dan keselamatan perempuan pejuang kedaulatan pangan yang memperjuangkan haknya, termasuk dari ancaman intimidasi dan kriminalisasi.
- Memenuhi hak atas akses informasi warga negara untuk membuka informasi terkait PTPN, HGU, Kontrak Kerjasama Pemerintah – Swasta, teks negosiasi perjanjian perdagangan bebas, dan rancangan undang-undang.
- Menyediakan data terpilah gender yang tepat dan akurat, mencakup data agraria dan data sebaran perempuan nelayan.
- Mengubah kebijakannya yang selama ini eksploitatif dan melanggar HAM, ke arah kebijakan yang berlandaskan kepada konstitusi dan HAM dan secara khusus hak asasi perempuan.
- Menghentikan dikeluarkannya izin perkebunan dan industri ekstraktif yang mengeksploitasi sumber daya air dan tanah dan mengancam kedaulatan perempuan atas tanah dan air.
- Menjamin wilayah kelola perempuan dengan penyusunan RZWP3K yang partisipatif. Termasuk alat produksi seperti perahu dan alat tangkap bagi perempuan.
- Indonesia keluar dari keanggotaan WTO, IMF dan Bank Dunia.
- Tunduk dan patuh terhadap putusan pengadilan yang memenangkan rakyat, antara lain putusan privatisasi air Jakarta.
- Membuat dan melaksanakan Kebijakan dan Program Kebijakan Iklim yang berkeadilan gender, dengan berkomitmen pada adaptasi bagi masyarakat pertanian dan pesisir yang terkena dampak perubahan iklim, serta menghentikan solusu palsu proyek iklim yang menghilangkan kedaulatan perempuan atas pangan.
Organisasi yang mendukung:
- Solidaritas Perempuan (SP)
- Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa
- Solidaritas Perempuan Palembang
- Solidaritas Perempuan Sebay Lampung
- Solidaritas Perempuan Jabotabek
- Solidaritas Perempuan Kinasih
- Solidaritas Perempuan Mataram
- Solidaritas Perempuan Sumbawa
- Solidaritas Perempuan Kendari
- Solidaritas Perempuan Palu
- Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Makasar
- Solidaritas Perempuan Sintuwu Raya Poso
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
- Indonesia for Global Justice
- Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
- Sarekat Pengorganisasian Rakyat Indonesia (SPR)
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
- Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI)
- Jaringan Buruh Migran (JBM)