Deklarasi Perempuan Pesisir Sulawesi Selatan :
Kami, 138 perempuan dan laki-laki yang terdiri dari nelayan dan masyarakat pesisir dari Kelurahan Buloa, Kelurahan Tallo, Kelurahan Cambaya, Galesong kabupaten Takalar dan Pulau Lae-lae, bersama sejumlah aktivis dan organisasi yang berjuang untuk keadilan bagi perempuan, nelayan, masyarakat pesisir, serta keadilan ekologi, pada tanggal 5-6 November 2018 telah berkumpul bersama untuk mengkonsolidasikan situasi masyarakat, khususnya perempuan, yang tinggal dan hidup di sekitar wilayah pesisir pantai Sulawesi Selatan melalui Tudang Sipulung Raya.
Kami menyaksikan saat ini Sulawesi Selatan sedang dikepung dengan berbagai proyek pembangunan yang menghancurkan kehidupan nelayan, dan masyarakat pesisir, terlebih perempuan. Dalam 2 (dua) hari pertemuan Tudang Sipulung Raya menemukan fakta bahwa pembangunan disekitar pesisir pantai Sulawesi Selatan bertumpu pada proyek pembangunan infrastruktur untuk kepentingan investasi yang hanya menguntungkan “sekelompok” orang tanpa melihat dan memprioritaskan kepentingan masyarakat khususnya kepentingan perempuan yang menggantungkan hidupnya di laut, di antaranya melalui:
- Proyek pembangunan pelabuhan Makassar New Port yang terletak di Kelurahan Tallo yang akan mereklmasi laut seluas 1.426 Hektar yang merupakan pelabuhan untuk jalur peti kemas
- Proyek Reklamasi pesisir Centre Point of Indonesia (CPI) yang terletak di Kecamatan Mariso telah mereklmasi laut seluas 157 Ha yang juga akan menggusur masyarakat yang tinggal pulau lae-lae.
- Proyek tambang pasir laut yang terletak di Galesong Kabupaten Takalar dengan luas konsesi 1.000 Ha dan pengerukan pasir laut untuk material reklamasi pantai disekitar kawasan proyek CPI.
- Proyek Kota Tanpa Kumuh (KotaKu) yang merupakan salah satu proyek yang didanai oleh Bank Dunia dalam bentuk pinjaman, yang melihat masyarakat dan kawasan pesisir pantai di Sulawesi Selatan khususnya di Kota Makassar merupakan kawasan kumuh yang “penting” untuk ditata. Padahal, stigma kota kumuh dan penataan kota hanyalah dalih pemerintah, untuk meminggirkan, memindahkan dan bahkan menggusur nelayan yang sejak turun temurun tinggal dan hidup di kawasan pesisir pantai.
- Berbagai proyek tersebut diatas telah membatasi akses masyarakat nelayan khususnya perempuan terhadap lautnya yang dimanfaatkan untuk mencari ikan, kerang, ke piting dan kanjappang. sebanyak 135 Perempuan pesisir/nelayan di Kawasan pesisir Cambaya, Buloa dan Tallo kehilangan akses terhadap lautnya, 35 perempuan produsen pangan kecil di kelurahan Cambaya terancam kehilangan sumber pangannya dan sebanyak 520 KK di RW 04 Kelurahan Tallo, 520 KK di RW 02 Kelurahan Buloa dan 385 KK di RW 02 Kelurahan Cambaya mengalami ancaman penggusuran akibat proyek ambisius Pemerintah.
- Dalam situasi di atas, masyarakat, termasuk perempuan dan anak, mengalami penurunan kualitas hidup karena pencemaran laut dan perempuan mengalami berbagai dampak buruk dan ketidakadilan berlapis seperti penambahan jam kerja, mencari berbagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga hingga perempuan kerap terjebak pada utang, serta rentan mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk diberbagai ranah.
Berbagai proyek pembangunan infrastruktur yang “katanya” untuk kesejahteraan rakyat justru berbanding terbalik dengan fakta yang terjadi dilapangan, proyek tersebut justru telah menambah deretan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) dan pelanggaran Hak Asasi Perempuan (HAP). Tak hanya itu, berbagai proyek tersebut juga akan menghilangkan pengetahuan, nilai sosial dan budaya masyarakat nelayan, bahkan menghilangkan identitas bangsa Indonesia sebagai negara maritim. Lebih jauh lagi, hal ini turut mengancam kedaulatan pangan bangsa, di mana pangan Indonesia salah satunya bertumpu pada sektor perikanan
Berbagai situasi di atas melahirkan kesadaran penuh untuk terus berjuang dan melawan ketidakadilan yang terjadi. Kami sadar betul, bahwa memperjuangkan hak-hak nelayan dan masyarakat pesisir, adalah memperjuangkan kedaulan bangsa, dan perempuan memiliki peran yang signifikan di dalam perjuangan tersebut. Karena itu, kami akan terus bersatu, mengkonsolidasikan dan memperkuat gerakan untuk memperjuangkan kedaulatan perempuan pesisir atas Sumber Produksi Pangan. Kami juga menyerukan kepada pemerintah legislatif maupun eksekutif untuk menjalankan kewajiban mereka dalam menghormati, memenuhi, dan melindungi perempuan nelayan, dengan menuntut :
- Pemerintah menunda pengesahan dan mereview Rancangan Peraturan Daeranh tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang akan melegitimasi pelaksanaan reklamasi pantai di kawasan pesisir selatan. RZWPK3 harus dibangun berdsarkan kepentingan masyarakat terutama masyarakat pesisir, dengan berorientasi kepada pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan hak-hak nelayan, perempuan maupun laki-laki. Karenanya, pembahasan RZWP3K selayaknya melibatkan masyarakat pesisir, perempuan maupun laki-laki, serta organisasi masyarakat sipil yang memperjuangkan hak nelayan dan masyarakat pesisir, organisasi perempuan, serta organisasi yang memperjuangkan keadilan ekologis dan lingkungan.
- Pemerintah menetapkan Kelurahan Cambaya, Buloa, Tallo dan Sekitarnya sebagai wilayah kelolah nelayan, dan memasukkanya ke dalam Ranperda RZWP3K
- Pemerintah menyusun kebijakan daerah untuk perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, dengan memasukkan pengakuan terhadap identitas perempuan nelayan, serta jaminan hak-hak perempuan.
- Menghentikan semua proyek pembangunan infrastruktur yang terdapat di pesisir pantai Sulawesi selatan yang telah merampas sumber produksi pangan dan sumber ekonomi perempuan, di antaranya proyek MNP, CPI, dan Tambang Pasir.
Makassar, 6 November 2018