Mempertanyakan Tanggung Jawab Negara: Agenda Perlindungan Perempuan Buruh Migran Belum Menjadi Prioritas

Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Hari Buruh Migran Sedunia 2018
 
3 hari lalu, berita tenggelamnya kapal yang ditumpangi oleh sebanyak 16 buruh migran Indonesia (BMI) dari Malaysia di Selat Malaka Kabupaten Bengkalis Riau[1] mencuat di media menyusul peristiwa yang sama dengan jumlah korban 93 BMI dari Johor di Perairan Batam[2] yang terjadi pada bulan November lalu. Kedua peristiwa tersebut memakan korban sebanyak 14 jiwa meninggal dan 58 jiwa dinyatakan hilang. Sebelumnya, pada bulan Oktober, publik juga dikejutkan sekaligus dibuat geram dengan munculnya kasus Tuti Tursilawati di berbagai media massa, Perempuan Buruh Migran (PBM) asal Majalengka, Jawa Barat yang dieksekusi mati oleh Arab Saudi tanpa notifikasi resmi ke pemerintah Indonesia. Bersamaan dengan kasus-kasus di atas, peti mati yang berisi jenasah buruh migran asal NTT terus berdatangan. Tingginya kematian BMI asal NTT ditunjukkan melalui data kompilasi dari BP3TKI Kupang dan Solidaritas Kemanusiaan untuk Korban Perdagangan Orang yang menyebutkan dalam kurun waktu 8 tahun (2011- Feb 2018. Red), jumlah kasus pekerja migran dari NTT yang telah meninggal sebanyak 243 kasus.[3] Sementara tahun ini hingga Agustus 2018 saja, dari 71 BMI yang meninggal di Malaysia, hanya dua orang saja yang tercatat keberangkatannya melalui jalur prosedural. Ini menandakan praktik-praktik perekrutan dan penempatan BMI ke Negara-negara tujuan yang tidak sesuai prosedur (nonprosedural) masih banyak terjadi, dan menjadikan situasi buruh migran, terutama perempuan semakin rentan.
 
Tingginya angka praktik perekrutan dan penempatan BMI yang tidak sesuai prosedur tidak saja di wilayah NTT dengan Negara tujuan Malaysia. Data penanganan kasus Solidaritas Perempuan menunjukkan tingginya kasus-kasus penempatan non prosedural terhadap PBM juga terjadi di beberapa wilayah dengan Negara tujuan Arab Saudi yaitu sebanyak 36% dengan modus visa umroh dan cleaning service dan beberapa Negara timur tengah lainnya. Selain menjadi korban penempatan non prosedural, PBM juga menjadi korban perdagangan manusia. Maraknya kasus ini turut dipicu oleh terbitnya kebijakan Kepmenaker No. 260/2015 tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Pada Pengguna Perseorangan di 19 Negara-Negara Timur Tengah. Dengan dalih menurunkan angka kasus dan permasalahan yang menimpa PBM khususnya di kawasan Timur Tengah, pemerintah mengeluarkan kebijakan penghentian tersebut. Namun faktanya, kompleksitas persoalan PBM yang bekerja di Negara Timur Tengah paska penerapan kebijakan ini justru semakin meningkat.[4] Bentuk pelanggaran yang mengeksploitasi perempuan ini merupakan pola atau modus dari tindak pidana perdagangan orang atau trafficking yang dilakukan oleh pelaku baik PPTKIS, oknum pemerintah, majikan, maupun keluarga.[5]
 
Gambaran situasi di atas seharusnya menjadi cerminan bagi pemerintah Indonesia bahwa Kepmenaker No. 260 Tahun 2015 bukanlah langkah solusi dalam menyelesaikan berbagai persoalan PBM. Sebaliknya, kebijakan ini membuat PBM semakin rentan mengalami berbagai kekerasan, pelanggaran hak, termasuk menjadi korban trafficking. Terlebih kebijakan ini muncul di tengah situasi pemiskinan yang menguat di Indonesia, sehingga penutupan penempatan justru menjadi pelanggaran hak warga negara untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang layak. Selain itu, kebijakan penghentian ini bersifat diskriminatif karena membatasi dan mengatur pilihan perempuan untuk bekerja diluar negeri. Hal ini merupakan kegagalan Negara dalam menerjemahkan pelindungan bagi PBM yang dijamin secara tegas dalam Konvensi PBB Migran 1990 maupun Rekomendasi Umum Komite CEDAW No. 26 mengenai Pekerja Migran Perempuan. “Negara asal harus menghormati dan melindungi hak asasi perempuan warga negaranya yang bermigrasi dengan tujuan untuk bekerja (point 24)”.
 
Pada pertengahan 2018, pemerintah mencanangkan program uji coba penempatan BMI ke Arab Saudi dengan beberapa pengetatan di berbagai aspek. Namun lagi-lagi langkah ini dipandang reaksioner karena dilakukan tanpa adanya analisis secara komprehensif yang melibatkan pekerja migran ataupun organisasi yang bekerja untuk hak-hak pekerja migran.  Hal ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah menutup mata terhadap akar persoalan migrasi yang sesungguhnya serta tidak memiliki prioritas kerja dalam menghadirkan perlindungan bagi BMI.
 
Refleksi Satu Tahun UU PPMI
Pada November 2017, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan UU No. 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (UU PPMI). UU PPMI menggantikan UU No. 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Di Luar Negeri (UU PPTKILN) yang selama ini turut menjadi akar persoalan dari buruknya sistem migrasi yang membuat pekerja migran, terutama perempuan rentan terhadap kekerasan dan pelanggaran hak. Terdapat beberapa perbaikan dalam UU PPMI yang menganut semangat dan prinsip-prinsip perlindungan dalam Konvensi PBB Migran 1990 maupun mencakup beberapa pengaturan yang mengakomodir masukan buruh migran dan masyarakat sipil. Sayangnya, berdasarkan hasil identifikasi awal yang dilakukan Solidaritas Perempuan masih ada pasal diskriminatif terhadap PBM yang bekerja sebagai PRT, seperti proses penempatannya masih diserahkan kepada pihak swasta/perusahaan yang, berdasarkan analisis kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran hak, justru menjadi aktor utamanya. Padahal PBM-PRT merupakan kelompok pekerja paling rentan serta jauh dari akses terhadap keadilan dan sudah seharusnya pemerintah memberikan perlindungan secara langsung dan maksimal. Selain itu, terdapat pasal yang berpotensi mengkriminalisasi PBM yang menjadi korban pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh calon/sponsor atau perusahaan.
 
UU PPMI juga memandatkan kepada pemerintah untuk menyusun 28 peraturan turunan[6] yang harus diselesaikan paling lambat 2 tahun sejak diundangkan. Faktanya hingga UU berusia satu tahun lebih, baru satu peraturan yang berhasil diterbitkan yaitu Permenaker No. 18/2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Migran Indonesia.[7] Peraturan ini pun disusun tanpa mengindahkan prinsip meaningful consultative baik dengan masyarakat sipil maupun buruh migran. Hal ini diduga juga akan terjadi pada pembahasan peraturan turunan yang lainnya sehingga patut dipertanyakan kembali penerapan prinsip transparansi dan partisipasi dalam pembahasan kebijakan pemerintah. 2019 merupakan momentum politik bagi Indonesia. Karenanya, penting untuk mengawal kepentingan Perempuan Buruh Migran agar menjadi prioritas baik bagi pemerintahan saat ini maupun pemerintah ke depan. Buruh Migran sejatinya bukan hanya menjadi target suara namun harus secara jelas dilihat sebagai pemangku kepentingan, serta menjadikan perlindungan buruh migran sebagai agenda prioritas negara.
 
Melihat dan menganalisis situasi-situasi diatas, maka dalam momentum Hari Buruh Migran Internasional tahun 2018, Solidaritas Perempuan menyampaikan sikap dan desakan sebagai berikut:

  1. Bahwa pemerintah belum melaksanakan UU No. 18/2017 sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan dalam Konvensi PBB Migran 1990 dan CEDAW. Oleh karena itu pemerintah perlu secepatnya menyusun agenda prioritas mengenai perlindungan BMI khususnya perempuan yang bekerja sebagai PRT.
  2. Pemerintah segera membahas dan menerbitkan 28 peraturan pelaksana UU No. 18/2017 sesuai dengan mandat yang diatur dalam UU tersebut agar ada kepastian hukum bagi PBM dalam memperjuangkan hak-haknya.
  3. Pemerintah hari ini, maupun calon pemimpin Indonesia ke depan menjadikan perlindungan Perempuan Buruh Migran sebagai prioritas agenda secara substantif, serta melibatkan buruh migran, terutama perempuan serta masyarakat sipil dan dalam penyusunan setiap kebijakan perlindungan buruh migran termasuk pembahasan peraturan pelaksana UU No. 18/2017.
  4. Bahwa pemerintah harus melakukan evaluasi menyeluruh sebagai langkah pembatalan terhadap Kepmenaker No. 260/2015 karena bertentangan dengan Konvensi PBB Migran 1990 dan CEDAW. Termasuk pembatalan terhadap program uji coba penempatan ke Arab Saudi yang dinilai tidak berlandaskan pada kepentingan perlindungan bagi BMI khususnya perempuan.
  5. Pemerintah harus mengambil upaya-upaya nyata mewujudkan perlindungan hak bagi PBM-PRT melalui ratifikasi Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga.
  6. Pemerintah pusat dan daerah harus menerapkan prinsip dan mekanisme yang proaktif dan responsif gender dalam merespon maupun menindaklanjuti setiap pengaduan kasus-kasus yang dialami oleh PBM korban kekerasan dan pelanggaran hak termasuk korban trafficking.

 

Jakarta, 18 Desember 2018

 

Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan

 

Narahubung:
Risca Dwi (081219436262)

[1]https://www.merdeka.com/peristiwa/kapal-tenggelam-di-selat-malaka-bawa-16-tki-ilegal-5-masih-hilang.html
[2]https://daerah.sindonews.com/read/1152028/194/kapal-pengangkut-93-tki-tenggelam-di-batam-53-penumpang-hilang-1478053586
[3] http://www.liputanbmi.com/baca/2685/pegiat-buruh-migran-sikapi-tingginya-kematian-tki-asal-ntt
[4] Berbagai pengaduan kasus diterima baik oleh organisasi masyarakat sipil yang bekerja untuk isu buruh migran, pemerintah, maupun kepolisian dilaporkan antara lain pelanggaran kontrak kerja yang memiliki presentasi tertinggi seperti penahanan dokumen, penahanan oleh majikan, penyekapan, pemerasan, pemalsuan dokumen, over contract, gaji tidak dibayar, gaji tidak dibayar sesuai kontrak, tidak mendapat hari libur, dilarang beribadah, dipindah-pindah kerja/majikan, serta kekerasan fisik/psikis/seksual.
[5] Data penanganan kasus Solidaritas Perempuan, 2015-Juni 2018.
[6] Pemerintah memangkas menjadi 13 peraturan turunan.
[7] Menggantikan Permenaker No. 7/2017 tentang Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja Indonesia.

Translate »