Ngaji Feminis: Kuasa Patriarki dalam Menafsir Islam

Semua agama sejatinya mengajarkan kebaikan, dan makhluk hidup adalah setara di mata Sang Pencipta. Begitupun dengan kedudukan perempuan yang setara, sehingga ketidakadilan yang terjadi pada perempuan sejatinya tumbuh akibat konstruksi yang dibangun di masyarakat. Menyambut bulan ramadhan, Solidaritas Perempuan mengadakan Ngaji Feminis yang dilakukan pada 4 April 2023 di Sekretariat Nasional Solidaritas Perempuan dengan tema “Ketimpangan dan Ketidakadilan Gender dalam Tafsir Islam”.

Ngaji Feminis dibuka oleh Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nuur Annisaa Yura. Dinda menyampaikan bahwa banyak ketidakadilan yang dialami oleh perempuan dengan mengatasnamakan tafsir-tafsir tertentu. Hal tersebut salah satunya terlihat dari banyaknya kebijakan diskriminatif terjadi dengan mengatasnamakan syariah ataupun agama tertentu.

Ngaji Feminis kali ini menghadirkan Nur Rofiah, seorang akademisi dan juga ulama perempuan yang tergabung dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI). KUPI yang menginjak usia 2 tahun telah berkontribusi dalam menciptakan tafsir-tafsir yang berperspektif gender. Menurutnya, tafsir tidak terjadi dalam ruang hampa, di mana budaya patriarki dan konstruksi sosial juga mempengaruhi para penafsir. Ditambah dengan penguasaan ilmu pengetahuan oleh laki-laki yang dapat dilihat dari dominasi filsuf. Sehingga selama berabad-abad, ilmu pengetahuan juga ditafsir dan dikuasai oleh laki-laki. Sehingga konstruksi sosial yang hidup pun juga ditentukan oleh perspektif yang patriarkis. “Karena kehidupan manusia itu, yang disebut sebagai peradaban manusia, dibaliknya ada tradisi berabad-abad adat-istiadat yang biadab terhadap perempuan. Dan itu dilakukan secara kolektif dari dulu sampai sekarang,” tutur Nur.

Selama berabad-abad, perempuan diperlakukan hanya sebagai harta milik laki-laki. Ketika lahir sebagai milik ayah, ketika menikah berpindah menjadi milik suami, dan ketika suaminya meninggal, diwariskan kepada anak dan/atau kerabat laki-laki terdekat. Hal ini menunjukkan bahwa kedudukan perempuan masih dianggap sebagai objek, sehingga memperlakukan perempuan tidak manusiawi masih dianggap wajar dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini pula yang akhirnya membangun konstruksi yang telah hidup di masyarakat hingga menjadi sistem pengetahuan.

Bukan Pengucilan karena Dianggap Najis, Menstruasi adalah Waktu Istirahat untuk Perempuan

Bila melihat pengalaman kemanusiaan,perempuan, memiliki pengalaman khas. Salah satunya ialah sistem reproduksi yang ada secara biologis. Namun, kerap-kali pengalaman kekhasan perempuan ini justru menimbulkan ketidakadilan pada perempuan. Salah satu contoh yang kerap terjadi adalah diskriminasi terhadap perempuan yang sedang mengalami menstruasi karena dianggap sebagai hal tabu dan kotor. Di Nepal, ada tradisi yang bernama Chhapaudi. Dalam tradisi ini, perempuan yang tengah datang bulan atau menstruasi dilarang untuk menyentuh makanan, lambang atau simbol agama, hewan ternak, dan pria selama masa menstruasi. Tak cuma itu, mereka juga harus tidur jauh dari orang lain.[1]

Tradisi lain juga terjadi di Ethiopia. Pada tahun 1976, perempuan Yahudi tinggal di gubuk niddah (diusir saat menstruasi) atau biasa disebut Mergem Gogo. Mereka yang melanggengkan niddah hanya akan berhenti pergi ke gubuk menstruasi jika sudah menopause karena telah mengakhiri kenajisan dan dianggap hampir sama dengan laki-laki. Perempuan suku Aborigin di Australia tak lepas dari tabu menstruasi yang menempatkan perempuannya tinggal di gubuk menstruasi ketika haid, gubuk tersebut dibangun ibu mereka sendiri. Setelah menstruasinya berakhir, barulah mandi di sungai dan gubuknya dibakar.[2]

Nur Rofiah menyebutkan bahwa pengalam menstruasi perempuan bukan berarti pengucilan bagi perempuan, melainkan memberikan waktu istirahat bagi perempuan, tidak memberikan pekerjaan-pekerjaan yang berat, dan memberikan perhatian khusus karena menstruasi merupakan pengalaman khas perempuan yang dapat menimbulkan rasa lelah dan sakit.

“…hendaklah engkau menjauhkan diri dari  wanita di waktu haid, dan janganlah kamu mendekati mereka, sampai mereka suci…” (QS. Al-Baqarah: 222).

Menurut Nur Rofiah, tafsir yang valid adalah tafsir yang tidak membuat reproduksi perempuan semakin sakit. Tidak mengandung ataupun mendorong yang mengakibatkan perempuan mengalami ketidakadilan hanya karena identitasnya sebagai perempuan. “Tidak boleh ada tafsir yang stigmatis, marginalisasi perempuan yang mendudukkan perempuan sebagai makhluk terendah, yang mendorong kekerasan pada perempuan, melegalisasi double burden, mestinya tidak begitu,” tambahnya.

Islam sebagai Proses

Sebagai sebuah sistem, ada 3 jenis ayat al qur’an. Pertama, al qur’an sebagai arah yang menuntun, atau sebagai pedoman arah kehidupan manusia. Kedua, al qur’an sebagai fondasi moral atau prinsip dasar. Ini merupakan ayat penting yang akan menjadi landasan nilai seseorang, sehingga ketaatan sebagai sesama makhluk itu bukan pada figur, tetapi pada nilai. Ketiga, al qur’an sebagai cara, yang akan menjadi petunjuk praktis-pragmatis pada masyarakat untuk menggerakan sistem yang zalim menjadi adil dan semakin adil. Untuk kategori ayat ketiga ini terikat waktu, sehingga akan bergantung pada konteksnya. Sehingga, penerapannya dapat dinegosiasikan dengan memahaminya secara kontekstual.         

 

Nur Rofiah juga membagikan tiga tahapan islam sebagai proses yang merujuk pada tafsir-tafsir dalam qur’an. Dimulai dari titik berangkat yang telah hidup pada berabad-abad tahun lamanya pada awal islam turun ke bumi. Salah satu contohnya terjadi bagaimana ayat ini menafsirkan poligami. Pada tahap berangkat, poligami yang awalnya tidak ada batasan, dibatasi hingga menjadi 4 orang istri dengan penekanan bahwa poligami sulit dilakukan dan harus dilakukan secara adil.

Sehingga, pengarusutamaan tafsir yang berperspektif gender perlu digaungkan guna mendobrak konstruksi sosial yang telah hidup bersama tafsir-tafsir yang patriarkis. Untuk menuju ke sana, tentu kita perlu untuk terus berjuang dan terus tumbuh menjadi individu yang kritis dan adil.

[1] https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20190110162626-284-359943/chhaupadi-saat-menstruasi-dianggap-bawa-sial-di-nepal, diakses pada 12 April 2023.
[2] https://radarmojokerto.jawapos.com/sambel-wader/05/04/2022/memahami-kemanusiaan-perempuan-melalui-fikih-haid/, diakses pada 12 April 2023.

Translate »