JAKARTA, CITRAINDONESIA.COM- Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai Pemerintah terlalu memaksakan Reklamasi Teluk Jakarta hingga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk hak perempuan.
“Solidaritas Perempuan sebagai bagian dari Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai bahwa proyek Reklamasi Teluk Jakarta dipaksakan oleh Pemerintah dengan sejumlah pelanggaran HAM yang substantif dan proserural, termasuk Hak Perempuan,” kata perwakilan Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty kepada citraindonesia.com, di Jakarta, Senin (8/5/2017).
Arieska menuturkan, Pelanggaran HAM substantif yang dimaksud antara lain pelanggaran hak atas Pekerjaan, hak atas lingkungan, hingga hak atas pangan. Sementara secara prosedural, proyek Reklamasi dilakukan dengan melanggar aturan hukum dan tidak melibatkan masyarakat sebagai kelompok yang terkena dampak.
“Spesifik terhadap perempuan, tidak ada data terpilah gender dan kajian dampak yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dalam kajian proyek Reklamasi. Konsultasi AMDAL pun dilakukan pada malam hari, dimana sulit bagi Perempuan untuk terlibat karena peran gendernya,” keluhnya menjelaskan.
Bila merujuk kepada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sanksi administratif dapat ditingkatkan menjadi pencabutan Izin Lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya mengelabui masyarakat untuk mengetahui masalah lingkungan hidup dan terus berupaya mengamankan proyek reklamasi.
Koalisi mengaku, pemenuhan kewajiban dalam sanksi penghentian sementara tidak pernah terbuka kepada publik, termasuk perubahan dokumen dan perizinan lingkungan hidup. Masyarakat umum dan Koalisi khususnya komunitas nelayan tradisional tidak pernah dilibatkan dalam proses penegakan hukum.
Yang ada konsultasi publik pada 30 Januari 2017 dibuat secara diam-diam tanpa diperbolehkan mengikutinya secara luas yang hanya dilakukan sekali tanpa ada proses pemberian informasi dengan benar. Masyarakat mengetahui bocoran sosialisasi dari pihak warga yang masih berkomitmen menolak reklamasi.
Salah satu yang terjadi adalah konsultasi publik yang tertutup sehingga tidak dapat dianggap telah ada konsultasi publik. Selain itu konsultasi publik dilakukan malam hari dimana perempuan nelayan yang akan juga terdampak tidak dapat terlibat.
Saluran untuk keberatan tidak dibuka dengan luas dengan informasi melalui internet baik website dan sosial media tanpa memberikan ruang-ruang partisipasi yang lebih luas mengingat kerumitan kasus proyek reklamasi.
(1) SK No. SK.354/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Berupa Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan PT. Kapuk Naga Indah Pada Pulau 2B (C) dan Pulau 2A (D) Di Pantai Utara Jakarta;
(2) SK No. SK.355/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 tentang Pengenaan Sanksi Administratif Paksaan Pemerintah Berupa Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan PT. Muara Wisesa Samudra Pada Pulau G Di Pantai Utara Jakarta;
(3) SK No. SK.356/Menlhk/Setjen/Kum.9/5/2016 Tentang Penghentian Sementara Seluruh Kegiatan Pulau 2B (C), Pulau 2A (D) Dan Pulau G Serta Pembatalan Rencana Reklamasi Pulau 1 (E) Di Pantai Utara Jakarta.
Komite ini dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Republik Indonesia Nomor: SKEP.ll/MENKO/MARITIM/IV/2016 tentang Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Komite ini diketuai oleh Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Manusia, IPTEK dan Budaya Maritim Kemenko Maritim dan Sumber Daya.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang sengaja tidak melibatkan publik yang kritis. Hal ini terungkap dari agenda konsultasi publik KLHS, Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta pada Jumat, 10 Maret 2017 di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah.
Sangat jelas Pemprov Jakarta menutupi partisiaspi publik dengan mengirim undangan dengan tidak patut dalam waktu kurang dari satu hari (hanya beberapa jam saja), tidak memberikan kerangka acuan, termasuk menutupi materi KLHS yang akan dikaji secara bersama termasuk ahli dan akademisi dan organisasi yang kritis terhadap proyek ini hanya dicatut namanya.
Terlihat jelas KLHS ini bentuk partisipasi semu dan manipulasi yang dibuat hanya untuk memenuhi ketentuan prosedural.
Selain itu Reklamasi 17 pulau di Teluk Jakarta adalah praktek buruk pada perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang di Jakarta. Dengan dikeluarkannya ijin pelaksanaan reklamasi dan KLHS sesudah Pulau C dan D, serta sebagian Pulau G, menunjukkan buruknya kualitas Pemprov DKI Jakarta dalam penyelenggaraan pemerintan dan pengawasan pembangunan.
“Soal proses hukum gugatan Pulau G hingga masih kasasi di Mahkamah Agung,” ungkap Pengacara publik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Simamora kepada citraindonesia.com.
Hingga saat ini, diatas lahan Pulau D telah berdiri bangunan ruko dan rumah tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan bahkan tanpa Peraturan Daerah Zonasi Kawasan Pantura Jakarta.
Koalisi mempertanyakan keterbukaan informasi dari Kementerian Koordinator Maritim, khususnya setelah perubahan kepemimpinan dari Rizal Ramli menjadi Luhut Pandjaitan dengan serampangan dan tidak konsisten karena melanjutkan reklamasi.
Koalisi telah mengajukan informasi publik kepada institusi Menko Maritim yang menjadi penanggungjawab dari Tim Komite Gabunganii untuk melakukan diskusi, rapat, kajian, telaahan, memberikan masukan, rekomendasi dan upaya-upaya lain dalam rangka penyelarasan aturan evaluasi syarat-syarat yang terkait dengan reklamasi serta melaksanakan audit terhadap proses pelaksanaanpembangunan masing-masing perijinan.
Komite Bersama Reklamasi Pantai Utara Jakarta telah selesai bekerja terbukti dengan pernyataan yang menyatakan adanya pelanggaran berat dari salah satu pulau reklamasi dan menyampaikan laporan kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya.
Namun hingga detik ini, tidak ada keterbukaan dari Menkomaritim untuk membuka kajian dan data terkait hasil Komite Gabungan dan informasi dari proyek reklamasi Teluk Jakarta. (pemi)
Sumber : Citraindonesia.com