Hentikan Kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan, Ratifikasi Konvensi Migran 1990, Sekarang!
21 tahun telah berlalu sejak lahirnya Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Seluruh Hak-hak Buruh Migran dan Anggota Keluarganya (Konvensi Migran 1990). Hari ini, kita masih menyaksikan, berbagai kekerasan dan pelanggaran hak-hak Buruh Migran Perempuan terus terjadi. Buruh Migran Perempuan terus saja mengalami kerentanan, sejak mereka keluar dari rumah, menjalani tahap pra pemberangkatan, pada tahap penempatan, bahkan hingga tahap kepulangan.
Pemerintah sesungguhnya mengakui[1] bahwa saat ini terdapat 6,2 juta TKIdi luar negeri, terdiri dari 4,2 juta resmi dan ± 2 juta ilegalyang tersebar di 41 negara. Penempatan TKI ke luar negeri tahun 2006 hingga tahun 2009, tercatat sebanyak 2.653.649 orang, di mana 1.963.632 orang atau 74% merupakan TKI informal dan 2.110.974 orang atau 80% adalah perempuan. Data tersebut mempelihatkan pemaknaan pemerintah bahwa buruh migran tidak berdokumen sebagai Ilegal. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak menempatkan Baruh Migran sebagai manusia yang melekat hak Asasinya
Meningkatnya jumlah Buruh Migran tidak diiringi dengan perbaikan perlindungan dan kualitas hidup mereka. Bahkan, dalam beberapa tahun belakangan berbagai kasus ancaman mati, dan eksekusi hukuman mati terus menghantui buruh migran. Bedasarkan keterangan Satuan Tugas Penanganan Kasus Warga Negara Indonesia/Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang terancam Hukuman Mati, bulan November 2011, sebanyak 303 Buruh Migran Indonesia di luar negeri terancam Hukuman Mati dan mayoritas adalah Buruh Migran Perempuan. Banyak di antara buruh migran yang dipenjara dan terancam hukuman mati adalah korban tuduhan sepihak majikan ataupun pihak-pihak lainnya. Beberapa yang lainnya, terancam hukuman mati karena membela diri, dan mempertahankan nyawa juga hak-haknya. Banyaknya kasus yang muncul tidak hanya memperlihatkan minimnya perlindungan dan bantuan hukum bagi Buruh Migran, tetapi juga memperlihatkan adanya pengabaian tanggung jawab pemerintah untuk melindungi hak-hak Buruh Migran Perempuan karena masih membiarkan kekosongan sistem hukum dan sistem perlindungan buruh migran Indonesia.
Sudah terlalu banyak kasus kekerasan, pelanggaran hak, dan kriminalisasi yang dihadapi oleh buruh migran perempuan. Sayangnya, hingga detik ini, pemerintah tidak juga mengambil langkah konkret untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990. Hingga saat ini Indonesia sebagai salah satu Negara asal buruh migran dalam jumlah besar tidak memiliki payung hukum yang komprehensif dan memadai untuk perlindungan Buruh Migran. UU No. 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri (PPTKILN), maupun aturan lainnya justru memberikan gambaran paradigma pemerintah yang lebih mementingkan aspek penempatan dan komodifikasi (tata niaga) daripada aspek perlindungan.
Kami sungguh prihatin terhadap lemahnya komitmen pemerintah dan DPR dalam membangun kebijakan yang menjamin perlindungan hak-hak Buruh Migran. Konvensi Migran 1990 seharusnya menjadi dasar hukum sekaligus menjadi landasan dalam membangun sistem perlindungan buruh migran termasuk dalam pembahasan Revisi UU No. 39 Tahun 2004 di DPR. Begitu pun dengan respon dan kinerja yang cenderung lamban dari pemerintah dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan
Berdasarkan kondisi tersebut, Solidaritas Perempuan (SP), Solidaritas Buruh Migran Karawang (SBMK), Solidaritas Buruh Migran Cianjur (SBMC), menuntut:
- Pemerintah dan DPR-RI segera Meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-hak Seluruh Buruh Migran dan Keluarganya (Konvensi Migran 1990).
- Kemenakertrans, BNP2TKI, Satgas Anti Hukuman Mati, Satgas Penanganan TKI Bermasalah, Gugus Tugas PPTPO, Kementrian Luar Negeri, secara sesungguh-sungguh dan responsif menangani kasus-kasus kekerasan terhadap Buruh Migran Perempuan dengan pendekatan Hak Asasi Manusia dan berperspektif gender.
- Pemerintah RI segera lindungi dan selamatkan saudara, istri, anak, kerabat kami Buruh Migran Perempuan yang saat ini bekeja mempertaruhkan hidup dan nyawa mereka di luar negeri
Jakarta, 23 Desember 2011
Hormat kami,
Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Kontak person:
Thaufiek Zulbahary – 08121934205
Nisaa Yura – 085921191707