Solidaritas Perempuan menyampaikan duka cita mendalam atas peristiwa pengeboman dan penyerangan yang terjadi di Surabaya, dan beberapa wilayah lainnya sepekan terakhir. Peristiwa ini telah mengorbankan setidaknya 28 orang meninggal dunia dan 57 orang luka-luka (diantaranya perempuan dan anak-anak), serta memunculkan kesedihan dan rasa trauma mendalam tidak hanya bagi korban tetapi juga masyarakat luas. Terkait dengan peristiwa tersebut, Solidaritas Perempuan menyampaikan pandangannya:
- Bahwa penyebaran radikalisme dilakukan secara sistematis, terorganisir dan meluas di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Bahkan, faham radikalisme ini tidak hanya menyasar masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan dan ekonomi rendah, tetapi juga masyarakat yang memiliki pendidikan dan ekonomi menengah ke atas. Sehingga terorisme yang berlandaskan pada paham radikal ini bukan sekedar tindakan reaktif, namun memiliki pola yang sistematis mulai tahap perekrutan, kaderisasi, penyebaran melalui berbagai media hingga aksi yang semakin massif terjadi di Indonesia, melalui metode bom bunuh diri di ruang publik dan tempat ibadah. Setidaknya dalam 20 tahun terakhir terjadi 6 peristiwa pengeboman yang telah mengorbankan banyak nyawa di beberapa wilayah di Indonesia.[1] Menguatnya radikalisme yang masuk hampir ke seluruh aspek kehidupan, menunjukkan paham ini tidak tumbuh dan berkembang secara instan. Bahkan, institusi pendidikan yang seharusnya mencerdaskan dan memerdekakan tidak terlepas dari penyebaran doktrinasi paham radikal ini.
- Bahwa dalam situasi ini perempuan mengalami beban, kekerasan dan ketidakadilan berlapis karena radikalisme berkelindan dengan patriarki. Teror dan politik ketakutan yang disebarkan oleh kelompok radikal ini menyebabkan perempuan hidup tanpa rasa aman di berbagai ranah. Berbagai peristiwa teror yang terjadi memberikan dampak ketakutan dan trauma yang mendalam bagi perempuan, hingga kehilangan anak, suami, maupun keluarga lainnya. Peran merawat keluarga yang dilekatkan kepada perempuan memberikan lapisan beban tersendiri, di mana perempuan tidak hanya harus mengatasi traumanya, tetapi juga mengatasi trauma anaknya hingga memastikan keberlanjutan kehidupan keluarganya.
- Bahwa sistem patriarki telah menempatkan perempuan dalam posisi yang mengharuskannya patuh dan tunduk pada laki-laki, termasuk dalam konteks ideologi yang diyakini. Identitas perempuan yang dilekatkan pada laki-laki dalam keluarga, seperti ayah maupun suami, seringkali menjadikan keputusan perempuan dalam berideologi, berkeyakinan maupun berkelompok juga ditentukan oleh laki-laki. Pada situasi ini, perempuan rentan dijadikan alat politik bagi gerakan radikal mulai dari perekrutan, pengumpulan logistik, hingga menjadi tameng pada setiap aksi yang dilakukan, termasuk aksi bom bunuh diri. Sementara, stigma negatif juga dilekatkan pada simbol-simbol seperti pakaian yang dikenakan perempuan, sehingga perempuan akan semakin didiskriminasi dan dipinggirkan akibat radikalisme. Stigma negatif juga akan dilekatkan pada perempuan yang menjadi keluarga dari kelompok radikal. Misalnya saja, stigma terhadap ibu yang dianggap tidak bisa menjaga anaknya dari pengaruh buruk paham radikal, maupun stigma sebagai keluarga teroris yang seringkali harus diemban dan dilekatkan hingga seumur hidupnya.
- Bahwa kebijakan maupun tindakan yang diambil pemerintah selama ini belum mampu menyelesaikan akar persoalan munculnya terorisme yang berbasis pada paham radikalisme agama dan menumbuhkan kebencian terhadap agama dan kelompok tertentu. Menghentikan terorisme tidak dapat dilakukan secara reaktif, karena pola gerakan radikalisme yang sistematis dan terorganisir. Maka Penyelesaian yang dilakukan harus secara mendasar menyasar pada akar persoalan dari menguatnya radikalisme itu sendiri. Aksi-aksi teror melalui pengeboman maupun cara lainnya, merupakan manifestasi dari pemikiran radikalisme yang ditumbuhkan terus menerus hingga terinternalisasi. Hal itu juga berwujud di dalam berbagai bentuk, termasuk tindakan-tindakan intoleran, dan merusak keberagaman, maupun tindakan dan pola pikir diskriminatif terhadap kelompok yang berbeda, dan kebijakan diskriminatif. Karenanya, penanganan terorisme yang bersumber pada radikalisme ini tidak cukup dilakukan dengan pendekatan keamanan, namun harus dilihat dengan cara yang lebih menyeluruh dan mendasar, yang juga mencakup aspek sosial, pendidikan, dan budaya.
Karena menghentikan radikalisme dan terorisme tentu membutuhkan keterlibatan semua pihak termasuk perempuan, maka berdasarkan hal tersebut Solidaritas Perempuan menyatakan sikapnya untuk:
- Mendesak pemerintah untuk mengambil langkah-langkah strategis dan komprehensif, mulai dari pencegahan, penanganan, hingga rehabilitasi, baik kepada korban maupun pelaku, khususnya perempuan, termasuk di dalamnya dengan merombak cara pikir radikalisme, dengan mengembalikan nilai-nilai Bhineka Tunggal Ika yang saling menghargai, tanpa kekerasan dan tanpa diskriminasi terhadap perempuan. Berbagai langkah yang dilakukan harus berdasarkan prinsip Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan yang tertuang di dalam kebijakan negara melalui ratifikasi Instrumen Hukum internasional di antaranya Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR), Ekonomi Sosial dan Budaya (ICESCR), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi MenentangPenyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Martabat Manusia (CAT), dan Kovenan Hak Anak (CRC)
- Menyerukan kepada tokoh agama untuk menyebarkan nilai-nilai perdamaian, cinta kasih, dan saling menghargai serta menghentikan penyebaran kebencian, sikap diskriminatif terhadap agama ataupun keyakinan sebagai salah satu langkah preventif agar paham radikalisme yang berisikan kebencian melalui aksi teror tidak tumbuh subur di Indonesia.
- Menyerukan kepada semua pihak, terutama politisi dan partai politik untuk tidak menggunakan dan atau tidak menyebarluaskan isu SARA, serta tidak menggunakan isu SARA dalam konteks politik, termasuk dalam proses Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah.
- Menyerukan kepada media dalam memberitakan peristiwa teror yang terjadi harus sesuai degan kode etik jurnalistik dengan memperhatikan kondisi psikologis korban dan masyarakat luas.
- Menyerukan dan mengajak seluruh masyarakat untuk tidak terprovokasi dan tidak menyebarkan ujaran kebencian dan kekerasan dengan atas nama apapun terhadap kelompok manapun.
Jakarta, 17 Mei 2018
Hormat Kami
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
[1] Sebelumnya, di Indonesia telah terjadi berbagai peristiwa pengeboman, antara lain Peristiwa bom Bali I 2002, Bom Kuningan dan Bom Marriot 2003, Bom Bali II 2005, Bom JW Marriot dan Ritz Carlton pada 2009