Tolak Pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan: Merebut Kembali Hak dan Kedaulatan Perempuan atas Tanah

ernyataan Sikap Solidaritas Perempuan“Tolak Pengesahan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan: Merebut Kembali Hak dan Kedaulatan Perempuan atas Tanah”

Pada hari Jum’at, 16 Desember 2011, Sidang Paripurna DPR-RI akan mengesahkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (RUU-PTuP) menjadi Undang-undang. Solidaritas Perempuan yang fokus memperjuangkan hak perempuan dan menghilangkan situasi ketidakadilan gender yang terjadi pada perempuan, kami memandang bahwa pengesahan ini akan semakin meningkatkan situasi pemiskinan ketidakadilan perempuan dan peminggiran HAM dan Hak asasi perempuan.

Alih-alih melaksanakan reforma agraria, pemerintah justru semakin menjauhkan perempuan dari kedaulatannya atas tanah, melalui berbagai kebijakan yang mendorong investasi dengan meminggirkan peran perempuan. Data Komisi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2010 mencatat 395 perempuan yang menjadi korban penggusuran. Konflik lahan dan penggusuran sering kali mengandung intimidasi, kekerasan fisik dan psikologis, pelecehan seksual, penangkapan, hingga kriminalisasi. Seperti yang dialami oleh perempuan dalam kasus konflik di Alas Tlogo yang memakan korban perempuan meninggal. Kasus Kekerasan dan Kriminalisasi Mama Aleta Baun dalam konflik lahan antara aparat kehutanan dengan masyarakat adat di Timor Tengah Selatan, NTT. Sampai kekerasan seksual yang dialami oleh petani perempuan Forum Tani Sejahtera di Pematang Siantar, Sumut.

Jelas terlihat pengesahan RUU PTuP ini, sarat dengan kepentingan investor asing dan swasta. Kebijakan ini hanya sebagai legalitas pemerintah untuk terus melakukan perampasan lahan perempuan atas nama pembangunan. Dengan di luncurkannya Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Keterlibatan Bank Pembangunan Asia (ADB) dalam penyusunan RUU ini melalui pemberian bantuan teknis. ADB memang secara konsisten mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi, yang berdampak pada peminggiran peran masyarakat dalam pembangunan. Hal ini semakin menguatkan kenyataan bahwa kebijakan ini hanya untuk mempermudah masuknya investor asing. Dengan itu juga ADB telah mengalokasikan pinjaman untuk Indonesia sebesar USD 2,64 milyar untuk tahun 2011-2013, termasuk di dalamnya adalah untuk pembangunan infrastruktur[1]Tentunya akan menggusur tanah-tanah rakyat yang akan berdampak pada kehidupan perempuan yang tersingkir dari sumber-sumber mata pencaharianya.

Masyarakat Indonesia hingga saat ini masih dapat dikatakan rentan terhadap perampasan lahan, karena situasi pertanahan di Indonesia yang mayoritas belum berdokumen hukum lengkap. Data Konsorsium Pembaharuan Agraria menyatakan bahwa hingga tahun 2008, 60% bidang tanah masyarakat belum bersertifikat. Ditambah lagi dengan adanya sistem tanah komunal yang masih berlaku di masyarakat Indonesia hingga saat ini. Apabila dasar kompensasi penggusuran adalah sertifikat, maka potensi pelanggaran hak masyarakat menjadi sangat besar. Terutama bagi perempuan yang hingga kini masih memiliki keterbatasan akses dan kontrol untuk hak atas tanah dikarenakan sistem negara dan budaya patriarkal. Selain itu, potensi konflik pun menjadi sangat besar.

Solidaritas Perempuan menilai, Pengesahan RUU Pengadaan Tanah akan menambah daftar panjang ketidakadilan yang dialami perempuan. Pengesahan terhadap RUU ini akan semakin menunjukkan pengabaian Negara atas situasi sosial, politik dan budaya perempuan di dalam konstruksi gender yang berlaku di masyarakat Indonesia, yang dapat mengarah pada semakin memarjinalkan perempuandalam kepemilikan akses dan kontrol terhadap sumber-sumber produksi dan semakin memiskinkan perempuan. Oleh karena itu, Solidaritas Perempuan mendesak:

  1. Pemerintah dan DPR RI untuk tidak mengesahkan RUU Pengadaan Tanah untuk Pembangunan.
  2. Pemerintah dan DPR RI untuk mendorong lahirnya kebijakan yang menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak perempuan, termasuk menyediakan akses dan kontrol perempuan atas tanah, melalui reforma agraria yang berkeadilan gender.
  3. Pemerintah menghentikan dan menolak segala bentuk intervensi atau keterlibatan ADB dan lembaga keuangan internasional lainnya, di dalam penyusunan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia.

Jakarata, 15 Desember 2011

Risma Umar
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan (SP)

[1] ADB, Indonesia – Country Operation Business Plan 2011-2013, September 2010.

Translate »