Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan
Untuk Disiarkan Segera
Bank Dunia dan IMF telah menciptakan penindasan rakyat, termasuk perempuan, secara massif, sistematis dan terorganisir
Jakarta, 16 Oktober 2018 bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia. Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional yang digelar di Bali menghasilkan skema utang dan investasi baru sejumlah USD 13,2 Miliar, atau setara dengan sekitar Rp200 triliyun.[1] Mayoritas dana tersebut dikucurkan untuk proyek pertambangan dan energi (USD7,7miliar), serta konstruksi dan infrastruktur (USD2,9 miliar). Padahal, selama 74 tahun, kedua lembaga tersebut telah membuktikan bahwa kehadirannya telah menghasilkan krisis dan bencana besar, bagi manusia, perempuan dan laki-laki, maupun ekologi, termasuk di dalamnya menghancurkan kedaulatan pangan rakyat.
Bank Dunia, Dana moneter Internasional bersama Organisasi Perdagangan Dunia, telah mengintervensi kedaulatan Negara melalui perubahan kebijakan dan proyek-proyek yang merampas dan menghancurkan hidup dan ruang hidup rakyat beserta seluruh tatanan sosial budaya di dalamnya. “Kebijakan-kebijakan negara lebih berpihak pada investasi ketimbang kepentingan rakyat dan kepentingan perempuan. Bahkan negara menfasilitasi kepentingan Bank Dunia – IMF dengan kebijakan-kebijakan serta pendekatan militer yang memperkuat pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan,” ungkap Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Puspa Dewy. “Slogan Bank Dunia dan IMF untuk mengentaskan kemiskinan justru berbanding terbalik dengan fakta yang ada. Perampasan hidup dan ruang hidup rakyat, perempuan dan laki-laki, telah memperlihatkan watak Bank Dunia dan IMF yang menciptakan penindasan rakyat, termasuk perempuan, secara massif, sistematis dan terorganisir” lanjutnya.
Jumlah utang pada sektor pertambangan dan energi yang besar didanai Bank Dunia, termasuk di dalamnya pendanaan untuk proyek Energi Panas Bumi (geothermal). Bank Dunia berdalih bahwa dana ini untuk mendukung skema energi bersih. Sayangnya, fakta yang membuktikan geothermal telah merampas tanah, menghancurkan sumber mata air, pertanian, dan pertenakan warga, pencemaran dengan menimbulkan gas berbahaya, hingga dapat memicu terjadinya gempa bumi[2], telah diabaikan oleh Negara dan Bank Dunia. Bahkan kehadiran proyek ini telah menimbulkan ancaman kriminalisasi dan kematian bagi rakyat yang berjuang oleh Negara melalui aparat keamanan. Kasus pertambangan semen PT. Holcim di Aceh Besar yang memonopoli sumber mata air untuk kepentingan produksi tambang, telah mengakibatkan krisis air, sehingga perempuan di 6 desa di Kecamatan Leupung – Aceh Besar harus berjalan kaki hingga 2 KM untuk mengakses air bersih untuk kebutuhan rumah tangga, dan kebutuhan pangannya[3].
Ancaman kedaulatan pangan juga akan dialami perempuan yang terkena dampak pembangunan infrastruktur. Utang sebesar USD 2,9 Miliar untuk konstruksi dan infrastruktur akan memperkuat dan meningkatkan konflik lahan, penghancuran lingkungan, penggusuran serta pelanggaran HAM dan HAP. Kasus pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kulon Progo telah menghancurkan lahan pertanian, menggusur 5 desa[4] dan mengintimidasi setidaknya 300 orang[5] dan menghancurkan hidup dan ruang hidup rakyat di Kulon Progo.
Skema utang dan investasi yang baru disetujui, juga berdampak pada menguatnya perampasan dan penghancuran kedaulatan perempuan atas pangan. Pemberian utang terbesar pada sektor pertambangan dan energi akan memperluas perampasan lahan produksi pangan, krisis dan pencemaran air, di darat maupun di laut, serta penghilangan identitas perempuan petani dan nelayan sebagai produsen pangan, yang pada akhirnya memaksa perempuan beralih pekerjaan, termasuk menjadi buruh migran. Peran signifikan perempuan dalam memastikan kedaulatan pangan melalui pengetahuan dan kearifan lokalnya, dirampas dan dihancurkan oleh skema politik ekonomi global yang dijalankan Bank Dunia. Hal ini menunjukkan, skema politik yang dimainkan Bank Dunia, didasari pada ideologi yang tidak mengakui dan melindungi, bahkan mengabaikan peran, posisi, dan kedaulatan perempuan atas pangan. Penindasan dan ketidakadilan berlapis perempuan akan semakin menguat dan meluas dengan kehadiran proyek-proyek tersebut.
Tidak hanya itu, utang yang diberikan Bank Dunia dan IMF disinyalir juga akan digunakan sebagai alat politik menuju Pemilihan Umum 2019. Bahwa calon-calon kandidat yang berkompetisi pada pemilihan umum 2019 juga didukung oleh aktor-aktor (perusahaan dan pengusaha) yang bermain di sektor pertambangan, energy dan infrastruktur di Indonesia.
Berdasarkan situasi di atas Solidaritas Perempuan Menyatakan sikap menuntut Negara untuk segera menghentikan intervensi Bank Dunia, Dana Moneter Internasional terhadap proyek maupun kebijakan di Indonesia. Kami juga menuntut pemerintah Indonesia untuk merombak sistem politik ekonomi agar berorientasi pada Kedaulatan Rakyat dan kedaulatan perempuan.
Solidaritas Perempuan juga menyerukan kepada Seluruh rakyat Indonesia, termasuk perempuan dan kelompok marginal lainnya, untuk :
Mengkonsolidasikan, memperkuat dan memperluas gerakan dalam melawan intervensi Bank Dunia dan IMF, termasuk perlawanan terhadap aktor-aktor yang mendukung Bank Dunia dan IMF.
Menolak calon kandidat peserta Pemilihan Umum 2019 yang mendukung Bank Dunia, IMF, dan aktor-aktor yang merampas dan menghancurkan sistem dan ruang hidup perempuan, termasuk menghancurkan kedaulatan pangan perempuan
Jakarta, 16 Oktober 2018
Puspa Dewy
Ketua Badan Eksekutif Nasional
Solidaritas Perempuan
Narahubung : 081288794813
[1] Kurs Dollar tanggal 16 Oktober 2018
[2] Rakhmat Setiawan, file:///Users/cha-cha/Downloads/7-fakta-dampak-negatif-pembangkit-listrik-tenaga-panas-bumi-di-indonesia.html
[3] Data Solidaritas Perempuan Bungoeng Jeumpa Aceh, 2016
[4] Bandara ini direncanakan berdiri di lahan seluar 587 hektare, mengubah ruang hidup di 5 desa: Glagah, Kebonrejo, Jangkaran, Palihan, dan Sindutan. Sumber: https://tirto.id/peran-jokowi-memuluskan-megaproyek-bandara-kulon-progo-cBe3
[5] http://www.mongabay.co.id/2017/12/12/ketika-lahan-subur-warga-tergusur-demi-bandara-baru-yogyakarta-bagian-1/