Hentikan Represifitas Negara terhadap Perempuan Adat yang Mempertahankan Tanah Kehidupannya

Siaran Pers Solidaritas Perempuan dan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) NTT
Untuk Disiarkan Segera

Jakarta, 13 Agustus 2020

Hutan Pubabu yang berarti batang pohon tali hutan yang menghasilkan air, merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan maupun sebagai ruang yang mengandung nilai – nilai spritualitas yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur masyarakat adat Pubabu

Masyarakat adat Pubabu, terlebih perempuan dan anak terus menerus menjadi korban dari tindakan represif yang dilakukan oleh negara lewat aparat yang mengusir dan menggusur mereka dari tanah leluhurnya. Aparat gabungan Satuan Polisi Pamong Paraja, TNI, POLRI, BRIMOB bersama Anggota DPRD Propinsi NTT, Dinas Kehutanan Propinsi, BPN Propinsi, Dinas Pertanian sejak 4 Agustus 2020 ke lokasi Hutan Adat Pubabu untuk membongkar paksa rumah masyarakat adat Pubabu dengan menggunakan excavator. Banyak perempuan adat dan anak yang menjadi korban kekerasan aparat dalam penggusuran dalam peristiwa tersebut. Mereka dicekik dan ditarik oleh aparat agar ke luar dari lokasi penggusuran, hingga ada yang mengalami pingsan. Aparat bahkan menduduki tubuh perempuan yang sedang pingsan.

Mereka juga menargetkan untuk menggusur rumah sebanyak 9 KK, di mana di dalam keluarga- keluarga tersebut terdapat 18 orang anak, terdiri dari 13 anak laki laki dan 5 orang anak perempuan. Hingga saat ini, masyarakat adat Pubabu termasuk di dalamnya perempuan dan anak-anak harus tidur di atas tanah tanpa rumah yang melindungi mereka. Mereka juga menyatakan bahwa pemerintah melalui Dinas Peternakan berkantor mulai tanggal 3-13 Agustus 2020 di lokasi Hutan Adat Pubabu, Desa Limnanutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Dalam   penggusuran   tersebut,   Kasat   Intel   Polres   TTS   bahkan   mengancam   mereka   dengan mengatakan  “masyarakat  jangan  melawan,  biarkan  mereka  (Pemerintah)  beraktivitas  di  lokasi. Kalau ada perlawanan, risikonya aparat akan melakukan penangkapan.”   Selain itu, anak anak yang ikut  mempertahankan  rumahnya  juga  mendapatkan  perlakukan  kekerasan  dari  aparat,  bahkan aparat sampai memasukkan anak anak ke dalam mobil polisi. Hal ini diperparah dengan tindakan pelecehan  dan  objektifikasi  seksual  perempuan  yang  dilakukan  oknum  polisi  pada  tanggal  10

Agustus  2020  sekitar  pukul  13.00 WITA  terhadap 2  (dua)  orang  perempuan adat Pubabu yang berjalan melewati  markas  kepolisian di  dekat daerah Lopo yang  mengatakan  “Mari  kita  ramas mama-mama punya susu biar enak”. Atas tindakan ini, korban merasa sangat malu dan dilecehkan sehingga mengatakan “Kamu kasih tinggal kamu punya istri istri untuk datang ganggu kami.”

Berbagai perjuangan telah dilakukan oleh Masyarakat Pubabu untuk mempertahankan haknya. Di antaranya aksi spontan yang dilakukan para perempuan pada bulan Mei 2020 dengan membuka baju untuk menghadang dan menghalangi para aparat menerobos ke tanah mereka. Tindakan ini merupakan upaya terakhir untuk mempertahankan tanah yang merupakan kehidupan merekaagar tidak dirampas. Cara ini juga mengandung pesan kuat untuk berjuang melawan ketidakadilan dengan menggunakan tubuh perempuan. Berbagai perjuangan tersebut justru mendapatkan intimidasi dan stigma dari sejumlah pihak. Salah satunya Intimidasi yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Timur Tengah yang memaksa Mama Ester, salah satu pengurus PAUD Lazuardi Oemali untuk membuat surat  pernyataan  permintaan  maaf  atas  aksi  buka  baju  yang  dianggap  sebagai  porno  aksi. Pemaksaan tersebut juga disertai ancaman jika tidak membuat dan menandatangani surat tersebut maka Dinas Pendidikan tidak akan mengeluarkan Surat Tanda Tamat Belajar (STTB) tersebut. Hingga saat, ini Dinas Pendidikan masih belum mengeluarkan STTB bagi peserta didik PAUD Lazuardi Oemali sehingga  akan  menghambat  peserta  didik  untuk melanjutkan  jenjang  pendidikan  selanjutnya.

Pasalnya, surat tanda  tamat belajar  tersebut  biasanya  dijadikan  sebagai  salah satu persyaratan pendaftaran masuk  sekolah dasar.  Selain itu, pada  tahun 2017 salah seorang  Perempuan Adat dipaksa oleh aparat untuk menandatangani surat pernyataan pengosongan lahan dalam keadaan hanya memakai handuk karena baru selesai mandi, serta mendapatkan perlakuan intimidasi dengan difoto sambil diancam dengan kata-kata, “foto dia juga supaya kalau dia lari kita bisa tangkap dia.” Saat ini rumahnya juga telah rata dengan tanah karena penggusuran paksa yang dilakukan.

Konflik lahan yang terjadi antara Masyarakat Adat Pubabu dengan Pemerintah Provinsi NTT berawal pada   tahun   1982-1985.   Hal   ini   berawal   dari   pelaksanaan   proyek   percontohan   intensifikasi peternakan kerjasama Pemerintah Provinsi NTT dengan Pemerintah Australia di wilayah hutan adat Pubabu dengan total lahan seluas 6.000 hektare, yang didalamnya merupakan lahan masyarakat adat Pubabu seluas 2.761,4 hektare dan merupakan merupakan sumber hidup dan kehidupan mereka.   Setelah   itu,   Dinas   Kehutanan   melaksanakan   program  GERHAN   (Gerakan   Nasional Rehabilitasi  Hutan)  dan  menjadikannya  sebagai  kawasan  budi  daya  untuk tanaman  komoditas seperti jati dan mahoni dengan skema HGU dari tahun 1988 hingga 2008 tanpa persetujuan dari masyarakat.  Dinas  Kehutanan  pada  tahun  1995  mengeluarkan  register  tanah  kehutanan  (NTK) nomor 29 yang ditanda tangani oleh Gubernur NTT dan termuat dalam berita tata batas Negara, yang memasukan kawasan hutan Pubabu-Besipae masuk pada kawasan hutan Negara (Fungsi Hutan lindung) seluas ± 2900 Ha. Masyarakat adat melakukan aksi penolakan perpanjangan HGU untuk program GERHAN pada tahun 2009 karena aktivitas pembabatan hutan alam telah menyebabkan keringnya  sumur-sumur  disekitar  kawasan  hutan  yang  selama  ini  menjadi  sumber  air  bagi masyarakat untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan juga kehilangan akses terhadap hutan milik mereka sendiri karena masyarakat dilarang memasuki kawasan hutan walaupun hanya sekedar mengambil ranting kering untuk kayu bakar dan mengambil pakan ternak.

Konflik tersebut masih berlanjut hingga saat ini, di mana rekomendasi sejumlah pihak dari institusi negara tidak dituruti oleh pemerintah Provinsi. Merespon perjuangan masyarakat Pubabu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada tahun 2012 telah mengeluarkan rekomendasi untuk mengembalikan lahan pertanian yang dipinjam Dinas Peternakan Provinsi NTT tersebut. Sementara, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada bulan Juli 2020 merekomendasikan penyelesaian konflik hutan adat diselesaikan secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan hak konstitusional warga negara. Rekomendasi dua lembaga negara tersebut diabaikan oleh Pemerintah Provinsi NTT. Bahkan, Pemda NTT dan aparat gabungan tidak mengakui surat rekomendasi tersebut, ketika diperlihatkan oleh perempuan adat Pubabu yang tengah mempertahankan tanah adat mereka.

Selain itu, pada tanggal 12 Mei 2020, DPRD Provinsi NTT menyepakati akan membentuk tim pencari fakta terkait kasus tanah di Pubabu dan bersurat ke Pemerintah Provinsi NTT untuk menghentikan segala upaya pembongkaran di lokasi hutan adat Pubabu. Namun sampai sekarang, kesepakatan dari hasil audiensi belum dilakukan oleh DPRD.

Solidaritas Perempuan dan Walhi NTT memandang Negara, dalam hal ini yang dilakukan pemprov NTT di Besipae, telah secara aktif melakukan pelanggaran HAM dan menjadi pelaku aksi represif penggusuran paksa. Tindak represif negara tersebut secara nyata mengakibatkan kekerasan dan ketidakadilan serta menimbulkan trauma dan ketakutan mendalam bagi masyarakat adat Pubabu, terutama para perempuan dan anak. Pelecehan seksual dan intimidasi terhadap tubuh perempuan, termasuk dalam hal perempuan yang menggunakan tubuhnya untuk berjuang, jugs menunjukkan upaya pembungkaman gerakan dengan menggunakan seksualitas perempuan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak Pemerintah untuk:

  1. Menghentikan intimidasi dan  diskriminasi  serta  mencabut  sertifikat  hak  pakai  serta mengembalikan hutan adat Pubabu dan hak masyarakat
  2. Menghentikan tindakan penggusuran dan intimidasi kepada warga, khususnya perempuan adat Pubabu, serta menghentikan segala bentuk dan cara-cara kekerasan dan intimidasi, dan kriminalisasi  terhadap   masyarakat   adat   Pubabu,   terutama   perempuan   yang   melakukan perjuangan terhadap hak-haknya
  3. Melakukan penyelesaian konflik yang sensitif dan responsif gender, dengan memastikan upaya pemulihan terhadap dampak  materil  dan immateril yang  langsung  dan tidak  langsung, yang dialami perempuan dan anak akibat konflik, serta kriminalisasi dan kekerasan yang menyertainya.
  4. Segera membentuk Tim Pencari Fakta terkait kasus tanah Pubabu
  5. Memberikan sanksi tegas berupa penghentian tidak hormat kepada aparat kepolisian yang telah melakukan kekerasan, intimidasi, serta pelecehan dan objektifikasi seksual perempuan adat Pubabu

 

Contact Person:

Sekretariat Nasional
Solidaritas Perempuan  : 0821-1090-5225
WALHI NTT                    : 0823-4109-4885

Translate »