Jejak Langkah Gerakan Perempuan

Catatan Refleksi Diskusi Publik Solidaritas Perempuan dalam Rangka Hari Perempuan Internasional
Oleh: Rima M. Bilaut

Pada tanggal 17 Maret 2023 kemarin, saya mengikuti sebuah diskusi publik yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan bersama Beranda Rakyat Garuda di Jakarta Timur untuk memperingati hari perempuan internasional. Diskusi yang mengangkat tema Jejak Langkah Gerakan Perempuan ini menghadirkan Saskia Wieringa; Akademisi dan penulis buku Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia dan Yuniati Chuzaifah; Pegiat HAM, Ketua Komnas Perempuan 2010-2014 sekaligus Anggota Solidaritas Perempuan sebagai narasumber serta dimoderasi oleh Dinda Nuur Annisaa Yura; Ketua BEN Solidaritas Perempuan. 

Dari diskusi yang sangat kaya itu, setidaknya ada dua hal yang membekas dalam pikiran saya dan kemudian saya tuliskan dalam tulisan ini (tentunya setelah mengalami refleksi mendalam dan penelusuran atas beberapa sumber) yakni:

Pertama, politik seksualitas adalah salah satu alat yang dimainkan untuk menghancurkan gerakan perempuan dari masa ke masa.

Konsep politik seksual pertama kali diperkenalkan oleh seorang Feminis bernama Kate Millet dalam bukunya yang berjudul Sexual Politics (1970). Menurutnya, politik seksual merupakan hubungan kuasa antara laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh sistem patriarki yang telah mengakar kuat di masyarakat. Sehingga dalam masyarakat patriarki perempuan dianggap sebagai kaum minoritas yang secara fisik dianggap lemah sehingga mudah ditaklukan.

Konstruksi Seksualitas yang ada di Indonesia dipengaruhi oleh politik seksual yang dibangun negara. Politik Seksual yang digunakan dalam konteks kekuasaan negara secara sederhana diartikan sebagai sebuah upaya untuk membangun dan melestarikan kekuasaan dengan menggunakan isu seksualitas. Menurut Saskia, sampai saat ini Indonesia adalah contoh yang baik dalam mempelajari bagaimana politik seksualitas benar-benar berhasil menghancurkan gerakan perempuan. Ia memulai dengan konteks tahun 1965, seperti yang ditulis di bukunya, dimana fitnah palsu bahwa Gerwani melakukan pesta seksual dan memotong alat kelamin para jendral berujung pada pelarangan Gerwani di Indonesia, puluhan ribu anggotanya dibunuh, ditangkap dan disiksa secara mengerikan di penjara. Anggota gerwani yang selamat dinodai tidak hanya dengan tuduhan bahwa mereka telah mengkhianati negara, tetapi juga terlibat dalam skala yang besar dengan tingkah laku seksual tak bermoral. Tidak hanya Gerwani, gerakan kritis perempuan lainnya juga turut dimatikan.

Yuni mengamini apa yang disampaikan oleh Saskia dengan mengkontekskannya dengan peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan etnis Tionghoa pada tahun 1998 di mana politik seksualitas kembali digunakan untuk membungkam gerakan-gerakan massif yang ada saat itu, khususnya gerakan perempuan. Menurut Yuni, reformasi 1998 juga merupakan akumulasi dari gerakan-gerakan perempuan yang sudah terbangun. Meskipun sejarah mengatakan bahwa mahasiswa merupakan ujung tombak terjadinya reformasi, di sana ada pergerakan-pergerakan perempuan yang turut berkontribusi, termasuk dalam menyusun substansi tuntutan untuk menurunkan Soeharto dari kepemimpinan otoriternya. Pemerkosaan tersebut kemudian dinilai sebagai cara sistematis yang dipakai untuk menyebarkan teror ketakutan dalam proses perubahan politik. Hal yang paling menyedihkan dan menjadi sejarah kelam, tragedi kemanusiaan tersebut disangkal oleh negara sampai hari ini. Penyangkalan ini dapat terjadi karena negara malu akan hal tersebut. Bahkan satu-satunya korban yang selamat yakni Ita Martadinata yang saat itu akan bersaksi di sidang PBB, dibunuh secara brutal dan hingga hari ini masih tidak diketahui pelaku pembunuhannya. Tubuh perempuan dianggap sebagai penjaga martabat suatu negara sehingga tragedi pelanggaran HAM berat itu tidak boleh diketahui dunia .

Jika ditarik ke masa pasca reformasi, bentuk pembungkaman gerakan perempuan menggunakan politik seksualitas juga bisa dibilang masih terjadi dengan banyak bentuknya. Misalnya dalam beberapa kasus perempuan berhadapan dengan konflik agraria yang terjadi di indonesia. Ketika politik negosiasi yang dilakukan para perempuan tersebut tidak diakomodir, mereka melakukan resistensi berbasis tubuh dengan cara bertelanjang dada. Alih-alih melihat aksi tersebut sebagai bentuk aksi mempertahankan tanah sebagai sumber penghidupan mereka secara simbolis dan filosofis, mereka malah dikriminalisasi dengan undang-undang pornoaksi. Bahkan dalam beberapa kasus agraria lainnya, ada perempuan yang juga mendapatkan kekerasan seksual, kekerasan fisik, intimidasi dan represivitas.

Salah satu tawaran yang diberikan oleh Saskia, perempuan perlu membangun wacana-wacana teoritis untuk tidak menjadi korban politik seksual. Misalnya dengan menentang narasi heteronormativitas, yakni sistem dimana beberapa bentuk perilaku dianggap sah atau diterima masyarakat tetapi beberapa perilaku lainnya tidak diterima karena menyangkut moralitas. Saskia juga menganggap penting untuk mengetahui cara untuk mensurversi heteronormativitas tersebut entah melalui demonstrasi maupun subversi secara simbolik. Selain itu, Saskia juga mengharapkan agar dalam menjelang perhelatan politik Indonesia mendatang, belajar dari sejarah, gerakan perempuan memiliki agendanya sendiri.

Kedua, ranah publik dan domestik adalah ruang juang yang sama pentingnya

Poin ini berangkat dari pertanyaan kritis dari salah satu peserta diskusi yang juga merupakan peserta Sekolah Kepemimpinan Feminis SP dari NTT, Irene Kanalasari. Inti pertanyaan dari Irene adalah tentang kecenderungan pergerakan perempuan yang berkaitan dengan ranah publik sementara ranah domestik menurutnya sebenarnya juga bisa menjadi arena perjuangan. Hal ini merupakan kekuatirannya, jika semua perempuan mau berjuang di ranah publik, perjuangan perempuan yang dianggap domestik seperti menenun dan menganyam berpotensi hilang. Menanggapi pertanyaan tersebut, Yuni menjawab bahwa Gerakan Perempuan di ranah publik dan ranah domestik sama pentingnya. Yuni mencontohkan tentang penolakan perempuan atas Undang-undang ketahanan keluarga yang dianggap selain mendomestifikasi perempuan, undang-undang tersebut juga dikhawatirkan menguasai ranah domestik untuk transmisi-transmisi patriarki, radikalisme, ekstremisme, konservatisme.

Menanggapi pertanyaan Irene, saya juga sepakat bahwa ranah publik maupun ranah domestik adalah ruang juang yang sama pentingnya. Saya sendiri mengamini hal tersebut dengan berangkat dari kepercayaan bahwa pengalaman perempuan berhadapan dengan ketertindasannya yang berbeda-beda karena identitasnya. Oleh karena itu, perjuangan perempuan untuk terlepas dari ketertindasan itu juga beragam. Misalnya seperti perempuan Dayak yang berjuang mempertahankan hutan mereka dengan menganyam rotan atau mempertahankan budaya merawat benih lokal serta tradisi manunggal dalam bercocok tanam yang selaras dengan alam. Ada juga perempuan Helong Kolhua yang mempertahankan tanah dan sumber mata air dengan menenun menggunakan lumpur dari mata air sebagai pewarna alami. Kelompok perempuan petani di Kulonprogo yang melakukan praktik pertanian lestari sebagai bentuk perlawanan atas sistem pertanian modern yang merugikan perempuan karena menghilangkan pengetahuan mengenai bibit lokal dan penggunaan pestisida dan masih banyak lagi contoh ragam perjuangan perempuan lainnya berhadapan dengan situasi ketidakadilan di berbagai daerah di Indonesia.

Masalah domestik maupun publik sebenarnya ada pada pengakuan. Hal ini dikarenakan dalam sistem yang mapan, kerja-kerja perempuan yang diasosiasikan sebagai kerja perawatan tidak dianggap sebagai sesuatu yang produktif atau tidak bernilai ekonomi sehingga dianggap tidak sepenting bekerja di ranah publik yang selama ini lebih banyak diperjuangkan oleh perempuan kelas menengah perkotaan. Oleh karena itu, feminisme yang pada dasarnya mengakui setiap pengetahuan perempuan, mengakui keberagaman pengalaman dan identitas perempuan harusnya mengakomodir setiap keragaman perjuangan yang dilakukan perempuan melampaui dikotomi publik maupun domestik.

Menutup tulisan refleksi ini, saya ingin mengutip lirik lagu pertama yang dibawakan oleh paduan suara Dialita yang menjadi pembuka dalam acara diskusi memperingati hari perempuan internasional yang berjudul Salam Harapan.

Bersama terbitnya matahari pagi
Mekar merah, mekarlah melati
Salam harapan
Padamu kawan
Semoga kau tetap sehat sentosa
Bagai gunung karang di tengah lautan
Tetap tegar didera gelombang
Laju lah laju
Perahu kita laju
Pasti kan mencapai pantai cita
Bersama terbitnya matahari pagi
Mekar merah, mekarlah melati
Salam harapan
Padamu kawan
Semoga kau tetap sehat sentosa
Bagai gunung karang di tengah lautan
Tetap tegar didera gelombang
Laju lah laju
Perahu kita laju
Pasti kan mencapai pantai cita

Bagi yang belum tahu, Paduan Suara Dialita adalah Paduan Suara yang beranggotakan para perempuan yang keluarganya pernah menjadi tahanan politik pada masa orde baru, serta termasuk pula tahanan politik dari masa itu. Salam Harapan sebagai lagu pertama maupun Ujian sebagai lagu kedua yang dibawakan ibu-ibu Dialita dengan ceria menjadi pemantik inspirasi dan semangat bagi setiap generasi perempuan yang berjuang. Bahwa mungkin dalam perjalanannya gerakan kita akan terus dihadapkan dengan berbagai bentuk pelemahan, namun setiap kemenangan kecil yang kita raih dalam jalan juang adalah lagu yang menggerakan kita untuk menari dengan penuh kekuatan.

Salam harapan, padamu kawan semoga kau tetap sehat sentosa.
Selamat Hari Perempuan Internasional!

Nb:

Rekaman diskusi Publik Hari Perempuan Internasional 2023 Jejak Langkah Gerakan Perempuan yang dilakukan Solidaritas Perempuan bisa ditonton kembali di sini

 

Translate ยป