Jakarta, 24 Juni 2025. Kelompok masyarakat sipil di Indonesia yang terdiri dari WALHI, Solidaritas Perempuan, Aksi! for gender, social, and ecological justice melakukan aksi di depan Kedutaan Besar Jepang Untuk Indonesia di Jakarta guna menyampaikan keprihatinan mereka terhadap inisiatif Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dipimpin Jepang, yang terus didorong implementasinya di Indonesia. Jepang memiliki peran yang signifikan dalam emisi global dan pendanaan yang besar untuk proyek-proyek bahan bakar fosil yang kotor serta promosi solusi palsu, khususnya di Asia. Selain itu, lembaga-lembaga publik Jepang seperti METI, JBIC, JICA, dan perusahaan-perusahaan swasta dan bank besar Jepang sepert JERA, MUFG, SMBC, Mizuho masih mendukung proyek-proyek pertambangan batu bara di Asia khususnya di Bangladesh, Indonesia, dan Filipina. Sebuah studi juga mengungkapkan bahwa selama satu dekade terakhir, Jepang menyediakan $93 miliar untuk mendukung proyek-proyek minyak dan gas global.
Dukungan Jepang terhadap ekspansi bahan bakar fosil tidak hanya berasal dari investasi publik tetapi juga melibatkan sektor swasta. Pendanaan yang substansial ini memperkuat ketergantungan negara pada bahan bakar fosil, membahayakan masa depan yang berkelanjutan, dan menunda peralihan yang diperlukan ke energi bersih. Dari segi kebijakan, Jepang telah mempengaruhi kebijakan energi baik di tingkat nasional (Bangladesh, Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand), sub-regional (ASEAN), dan regional (ADB). Intervensi Jepang ini bertindak sebagai insentif bagi negara-negara berkembang untuk memperpanjang umur bahan bakar fosil dengan mempromosikan solusi palsu alih-alih langsung beralih ke sistem energi berkeadilan.
“AZEC yang akan dijalankan di Indonesia secara terang-terangan mendukung pendekatan serta teknologi yang memperpanjang ketergantungan pada energi fosil. Selain itu, ketiadaan informasi yang memadai, transparansi, maupun partisipasi bermakna dari masyarakat terutama perempuan yang selama ini dekat dengan alamnya membuktikan Pemerintah Jepang dan Indonesia gagal mempertimbangkan dampak sosial, lingkungan, serta hak asasi manusia yang dapat berpengaruh pada masyarakat luas.”, tutur Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
Pada Agustus 2024, Indonesia menandatangani kerjasama dengan Jepang terkait Asia Zero Emission Community (AZEC) yang dikatakan sebagai upaya energi terbarukan. Namun, dari 68 MoU yang ditandatangani Indonesia, hanya 15 yang terkait dengan teknologi energi terbarukan. Sedangkan 27 MoU lainnya terkait dengan bahan bakar fosil, seperti gas alam cair (LNG) dan teknologi penangkapan karbon (CCS/CCUS). Sisanya, 9 MoU terkait dengan biomassa, 2 MoU tentang pasar karbon, dan 15 MoU lainnya[1]. Berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahwa Pemerintah Jepang telah mengalokasikan dana khusus sebesar USD 500 juta untuk proyek AZEC yang telah resmi diluncurkan pada 5 Mei 2025[2].
Sawung dari WALHI menambahkan, “Jepang masih mendanai energi fosil secara masif di Indonesia. Di Masa lalu banyak membiayai pembangkit batubara saat ini hanya tersisa pembiayaan dipertambangan batubara melalui pinjaman dari bank-bank jepang. Saat ini terutama membiayai gas baik di hulu atau pun hilir. Di hulu seperti Masela, Tangguh dan DonggiSenoro. Di hilir banyak membiayai pembangkit listrik tenaga Gas. Pilihan masih membiayai dan mengembangkan energi fosil ini akan menambah parah krisis iklim yang saat ini terjadi.”
Investasi Jepang dapat mempengaruhi pemerintah Indonesia untuk memberikan insentif pajak dikarenakan investasi tersebut masuk kedalam investasi energi terbarukan dan teknologi bersih. Hal ini tentunya akan mempengaruhi sistem perpajakan di Indonesia yang akan berdampak pada banyak sektor. Selain itu, investasi Jepang dalam proyek-proyek bahan bakar fosil tentunya tidak bermanfaat bagi masyarakat Indonesia, terutama kelompok rentan dan perempuan. Tidak hanya proyek menimbulkan resiko kesehatan tetapi juga sosial dan ekonomi masyarakat terutama dengan kerusakan ekosistem dan lingkungan yang terjadi.
Proyek-proyek yang didanai Jepang hanya dapat memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan emisi gas rumah kaca yang tentunya akan memperburuk krisis iklim, serta mengakibatkan berbagai krisis akibat proliferasi bahan bakar fosil di Asia. Oleh sebab itu, dengan momen penting regional dan internasional di bulan Juni 2025 yang berkaitan dengan aksi iklim dan transisi energi (misalnya ADB-ACEF, KTT G7, UNFCCC Intersessional, Japan Energy Summit, dan Rapat Umum Tahunan para pemegang saham Mega Bank Jepang seperti Mizuho, MUFG, dan SMBC), Solidaritas Perempuan, WALHI, dan Aksi! for gender, social, and ecological justice mendesak agar Jepang mengakhiri segala bentuk pendanaan proyek bahan bakar fosil, berhenti mempromosikan solusi palsu di Asia, dan mendukung transisi energi yang berkeadilan serta memastikan partisipasi bermakna dari masyarakat setempat dan kelompok masyarakat sipil di Indonesia.
Narahubung :
Dina (Solidaritas Perempuan) – 085870655315
Sawung (WALHI) – 08156104606
[1] https://tanahair.net/fossil-fuels-still-dominate-indonesia-japan-energy-partnership-under-azec-report-finds/
[2] https://indonesiabusinesspost.com/4288/geopolitics-and-diplomacy/indonesia-secures-us-500-m-japanese-support-for-geothermal-project-under-azec