Kisah Ibu Remi: Berjuang Untuk Mempertahankan dan Merebut Kembali Lahannya

Ibu Remi, adalah perempuan yang gigih memperjuangkan haknya atas sumber daya alam. Karena bagi Ibu Remi dan perempuan Dayak lainnya, hutan adalah hidup mereka. Dari hutan inilah mereka bercocok tanam, bersosialisasi dan juga melakukan aktivitas ritual mereka, jadi saat perusahaan perkebunan kelapa sawit memasuki dan merampas tanah mereka, Ibu Remi dan perempuan Dayak lainnya serentak melawan.

Desa Mantangai Hulu berdiri dipinggir daerah aliran sungai Kapuas,  berjarak 2 km dari kecamatan Mantangai, 92 km dari wilayah Kabupaten Kapuas. serta 139 km dari kota provinsi Kalimantan Tengah. Untuk mencapai desa ini dapat dilakukan melalui jalur sungai dengan menggunakan klotok dan longboat, dan juga dapat melalui jalur darat dengan sepeda motor maupun mobil.  Meskipun demikian, jalur sungai masih lebih banyak diminati oleh mayoritas masyarakat desa Mantangai Hulu. Kesejahteraan penduduk desa Mantangai Hulu tergolong belum sejahtera, hal ini terindikasi dari data kemiskinan pada tahun 2011 jumlah keluarga pra sejahtera dan sejahtera satu tercatat sebanyak 183 KK atau berkisar 30,6 persen. Mata pencaharian utama masyarakat Desa Mantangai Hulu adalah petani Ladang dan petani Karet, Meski ada juga yang bekerja sebagi buruh di perusahaan sawit.

Desa yang memiliki luas wilayah kurang lebih 21.100 km2 ini adalah tempat Ibu Remi lahir dan membesarkan kedua anaknya. Ibu Remi adalah seorang perempuan yang lahir di Desa Mantangai Hulu Kabupaten Kapuas-Kalimantan Tengah pada tanggal 19 juni 1978. Setiap pagi, Ibu Remi pergi ke kebun karet untuk menoreh pohon karet, setelah usai menoreh dia pun pergi ke hutan untuk berladang dan mencari sayuran dengan menggunakan perahu ces yang sangat kecil. Ibu Remi tak gentarmengarungi luasnya sungai kapuas untuk bisa sampai ke hutan. Di hutan inilah, dia bercocok tanam, mulai dari menanam sayuran, obat – obatan tadisional, danjugakebutuhanpanganlainnya.

Namun kini jaman sudah berubah tidak lagi seperti dulu. Hutan dimana tempat mencari makanan kini beralih menjadi rimbunnya pohon sawit. Air sungai yang dulu jernih, sejak tahun 2010 sudah mulai berubah warna menjadi keruh, karena tercemar oleh limbah dari perkebunan kelapa sawit. Walaupun air sungai tercemar, masyarakattidakpunyapilihanlain, dan tetapmenggunakan air tersebutuntuk minum, mandi, mencuci baju dan piring, karena tidak ada sumber air bersih lainnya yang dapat diakses.

Pencemaran air sungai ini terjadi karena masuknya beberapa perusahan perkebunan kelapa sawit ke desa Mentangai Hulu. Diawali dengan masuknya PT Graha Inti Jaya pada tahun 2007, PT Globalindo Agung Lestari pada tahun 2009, dan terakhir, PT. Handalan Usaha Perkasa (HUP) pada tahun 2011. Usaha yang dilakukan oleh PT. HUP untuk mendapatkan tanah masyarakat adalah mendatangi, merayu, memberikan janji dan bahkan mengintimidasi warga Desa Mantangai Hulu untuk menyerahkan lahan, yang akan dialih fungsi menjadi perkebunan sawit, tetapi warga menolak dengan alasan lahan digunakan untuk berladang.

Selain pencemaran terhadap sungai, perkebunan sawit juga telah banyak merugikan kami masyarakat Desa Mantangai Hulu.Ladang saya diambil oleh perkebunan sawit, tanpa ada pemberitahuan, apa lagi ganti rugi dari mereka, tiba – tiba mereka tanam sawit diladang saya. Saya sangat marah waktu itu, karena ladang itu sudah puluhan tahun saya garap tanah itu adalah warisan dari leluhur saya yang harus saya jagaucap Ibu Remi.

Bertekad memperoleh kembali lahannya, seluas 2 Ha yang dirampas oleh PT HUP Ibu Remi mendatangi orang perusahaan yang tinggal tidak jauh dari rumahnya, untuk meminta pertanggung jawaban dari pihak perusahaan. Ibu Remi tidaksendiri, ada beberapa masyarakat yang juga datang untuk memperjuangkan lahannya.

Karena perusahaan tidak menggubris tuntutan mereka, maka pada tanggal  7 dan 12 Agustus 2013 Ibu Remi dan  masyarakat Desa Mantangai Hulu, melakukan aksi  lapangan dengan mencabuti sawit yang sudah ditanam oleh PT UHP di lahan milik mereka yang bertempat di sungai Jangkit, ada sekitar 89 KK yang ikut melakukan aksi. Tidak mau kalah, pihak perusahaan malah melaporkan aksi masyarakat kepada pihak kepolisian dengan tuduhan tindak pidana pengerusakan.

Pasca aksi tersebut, PT. HUP melakukan upaya mediasi dengan memanggil dua orang perwakilan masyarakat, pada tanggal 9 september 2013. Ibu Remi memaksa untuk terlibat dalam mediasi tersebut, karena merasa 2 orang bapak yang menjadi perwakilan, belum tentu dapat menyampaikan aspirasinya sebagai perempuan dalam mengelola hutan. Walau akhirnya Ibu Remi dan sekitar 50 orang masyarakat lainnya diijinkan terlibat dalam mediasi. Namun hasil mediasi ini ternyata belum berpihak pada masyarakat. Keinginan masyarakat untuk mendapatkan tanahnya kembali tidak diindahkan oleh perusahaan. Pihak perusahaan menganggap apa yang masyarakat lakukan di lahan yang di tanami Sawit sudah sebuah pelanggaran, karena  PT. HUP merasa sudah sesuai dengan izin arahan lokasi yang di berikan oleh Bapak Mawardi yang pada saat itu masih aktif sebagi bupati. Manager PT UHP menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu pusing dengan urusan ijin perijinan karena ini urusan perusahan dengan pemerintah.

Perjuangan Ibu Remi dalam mempertahankan lahannya belum selesai, PT. HUP masih  melakukan aktivitas di Mentangai Hulu. Kemudian Ibu Remi dan masyarakat membuat surat edaran, ditujukan pada PT UHP, beserta intansi terkait yang isinya meminta kepada pihak perusahaan untuk secepatnya mencabuti sawit yang telah ditanam di lahan masyarakat, dan jika perusahaan tidak melakukannya, masyarakat akan bertindak. Karena tidak ada respon dari pemerintah setempat, tanggal 24 september 2013, mereka kembali menduduki hutan dimana tempat mereka berladang. Mereka mencabuti bibit – bibit sawit yang masih tersisa disana, dan menggantinya dengan bibit pohon karet.

Kami  tidak akan berhenti berjuang untuk mendapatkan kembali hutan dan tanah kami” Ibu Remi berkata tegas untuk memperjuangkan haknya.

Negara / pemerintah yang seharusnya memberikan jaminan dan perlindungan atas hak ekonomi, sosial dan budaya,bukannya malah melakukan pembiaran tercarabutnya hak ekosob para perempuan dan masyarakat di Mentangai Hulu.  Ijin yang diberikan oleh Bupati selaku pemerintah daerah saat itu, sama saja telah membiarkan terampasnya hak masyarakat, untuk mengakses sumber daya alam, yang berdampak pada hilangnya hak ekonomi, social dan budaya masyarakat.  “ Kehadiran Perkebunan Kelapa Sawit, telah menambah beban kerja saya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari “ Ungkap Ibu Remi.

Masuknya perkebunan kepala sawit tanpa memberikan informasi pada masyarakat seperti yang terjadi di Mentangai Hulu ini, juga telah melanggar UU no. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pasal 65 ayat (1) dan (2). Tidak hanya hak atas informasi, negara telah melakukan pelanggaran hak perempuan atas ekonomi, sosial, budaya, hak atas pengambilan keputusan, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas rasa aman, hak untuk memutuskan, dan hak atas penghidupan yang layak.

Bersama perempuan lain di Mantangai Hulu, Ibu Remi akan terus memperjuangkan dan merebut kembali lahan dan tanah mereka yang sudah dirampas oleh perusahaan sawit.

Translate »