Komitmen Iklim Indonesia di COP 30 Masih Maskulin, Teknis, dan Minim Keadilan bagi Perempuan

Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Jakarta, 08 November 2025. Pidato resmi Indonesia di COP 30 yang disampaikan oleh Utusan Khusus  Presiden  Bidang  Energi  dan  Iklim  –  Hashim  Djojohadikusumo  –     kembali menunjukkan kecenderungan pendekatan teknokratis dan maskulin dalam kebijakan iklim nasional. Pemerintah menekankan pertumbuhan ekonomi hijau, target emisi, dan investasi besar, tetapi abai terhadap dimensi keadilan sosial dan gender yang menjadi akar persoalan dari krisis iklim itu sendiri.

Solidaritas Perempuan menilai bahwa pidato ini gagal mengakui bagaimana perempuan—khususnya perempuan nelayan, petani, masyarakat adat, dan buruh migran dan subjek rentan lainnya, —menanggung beban paling  berlapis  dari dampak krisis dan proyek iklim. Alih-alih menempatkan mereka sebagai subjek utama dalam transisi energi dan pengelolaan sumber daya alam dalam mengatasi krisis iklim, pemerintah justru menonjolkan proyek-proyek   besar   seperti   nuklir,   biofuel,   dan   waste-to-energy   yang   berpotensi memperkuat ketimpangan dan pemiskinan sistemik melalui mempersempit ruang hidup perempuan di akar rumput. Komitmen yang ditunjukkan pun tidak lebih sebagai ajang berjualan karbon yang ke depannya hanya akan menguntungkan korporasi-korporasi pencemar lingkungan dan memperparah krisis iklim.

Dalam pidato Indonesia di COP 30 pun hanya menyinggung perempuan secara sekilas dalam kategori “kelompok rentan”, tanpa menyebutkan strategi implementasi Gender Action Plan (GAP)  yang menjadi mandat internasional sejak COP 23 di Bonn dan diperkuat pada COP 28, padahal Indonesia belum memiliki Gender Action Plan (GAP) yang jelas, terukur, dan disahkan secara lintas kementerian. Dokumen ini seakan hadir hanya sebagai pelengkap untuk pemerintah berdagang di COP 30.

“Indonesia menekankan bahwa aksi iklim harus adil, inklusif, dan berpusat pada masyarakat terutama kelompok rentan. Namun disisi lain,  Negara ambisius melakukan penurunan emisi melalui hilirisasi pertumbuhan ekonomi hijau melalui pendekatan ekstraktif, yang mengedepankan proyek energi skala besar seperti geothermal , PLTA, hingga PLTB di berbagai wilayah seperti Pocoleok, Lampung, aceh hingga Sulawesi Tengah.  Proyek adaptasi iklim juga digenjot seperti food estate (cetak Sawah Rakyat) di kalimantan Tengah  hingga infrastruktur bendungan/DAM di Nusa Tenggara Barat, telah mengurai fakta dampak deforestasi, perampasan tanah, dan hilangnya sumber penghidupan perempuan. Tanpa   Gender Action Plan  yang  kuat,  dan  diintegrasikan  dalam  seluruh  kebijakan  dan  aksi  iklim,  Pemerintah Indonesia hanya omon-omon dan akan memperluas ketidakadilan,” — Tegas Armayanti Sanusi Ketua Badan eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.

Pemerintah mengklaim bahwa tingkat deforestasi menurun 75% sejak 2019. Namun fakta di lapangan, ekspansi industri sawit, tambang nikel, dan proyek energi terus menggusur hutan dan lahan hidup perempuan. Contoh kasus yang yang ditemukan oleh Solidaritas perempuan, yang dimuat pada Laporan Penelitian Aksi Berperspektif Feminis (FPAR) tahun 2015, proyek percontohan REDD di Kalimantan Tengah, dikenal sebagai Kalimantan Forest and Climate Partnership  (KFCP),  yang  didukung  dengan  pendanaan  sebesar  30  juta  dollar  AUS  dari program Indonesia-Australia Forest Carbon Partnership (IAFCP), ditandatangani Presiden SBY dan Perdana Menteri Australia pada 13 Juni 2008, telah berdampak terhadap perempuan  di wilayah Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah dan terjadi pembatasan akses masuk ke hutan dan informasi bagi perempuan untuk memahami proyek ini.

Tak hanya itu, mekanisme Perdagangan karbon melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 110 Tahun 2025 yang membentuk arsitektur pasar karbon nasional berbasis digital dan Mutual Recognition Agreements (MRA) dengan standar internasional terkemuka seperti Verra, Gold Standard, Plan Vivo, dan Global Carbon Council (GCC) melalui program REDD+ justru akan semakin meminggirkan peran perempuan dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alam serta memutus relasi holistik perempuan adat dalam melestarikan lingkungan dan kearifan lokal.

Pernyataan  Indonesia yang menyebut bahwa “aksi iklim harus inklusif dan berpusat pada manusia”  juga  menjadi lip service belaka jika tidak diikuti dengan kebijakan konkret yang mengakui hak dan peran perempuan dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini diperlihatkan dari bagaimana kabinet di pemerintahan Prabowo-Gibran masih sangat maskulin yang didominasi oleh laki-laki, dari 53 Kementerian hanya 2 Kementerian yang dipimpin oleh perempuan dan tidak pada posisi strategis dalam isu-isu kerusakan ekologis dan krisis iklim. Oleh sebab itu, Solidaritas Perempuan menegaskan bahwa krisis iklim tidak dapat diselesaikan hanya dengan target angka dan teknologi. Solusinya harus dimulai dari pengakuan atas pengalaman dan kepemimpinan   perempuan   di   tingkat   komunitas   karena   mereka  lah  yang  merasakan dampaknya secara langsung.

Kontak Person
Mareta (Staf Kampanye Solidaritas Perempuan) – 085883108642

Facebook
Twitter
LinkedIn
X
WhatsApp

Leave a Comment

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

Artikel Terbaru