Siaran Pers Solidaritas Perempuan
Untuk segera disiarkan
Jakarta, 25 November 2014. Pemerintahan baru diharapkan berani bersikap progresif dalam negosiasi internasional mengenai perubahan iklim COP 20, pada 1-12 Desember 2014 di Lima-Peru. “Kepentingan rakyat, termasuk perempuan adalah utama dan bukan di belakang kepentingan negara industri maju. Pemerintah seharusnya memprioritaskan program adaptasi dibandingkan mitigasi”, ungkap Puspa Dewy, Koordinator Solidaritas Perempuan dalam pembukaan Dialog Publik bertema “Menuju Keadilan Iklim Berkeadilan Gender” yang diselenggarakan Solidaritas Perempuan pada 24 November kemarin di Hotel Alia, Jakarta. Dialog publik yang dimoderasi oleh Khalisah Khalid dari Walhi ini menghadirkan narasumber Doddy Sukadri-Dewan Nasional Perubahan Iklim, Novia Widyaningtyas -Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ciput Purwianti – Kementerian Perlindungan Perempuan dan Perlindungan Anak, Risma Umar -AKSI dan Puspa Dewy – Solidaritas Perempuan, serta peserta dari kalangan pemerintah, aktivis LSM, media, dan masyarakat.
Komitmen pemerintah Indonesia untuk mengurangi emisinya hingga 26% pada tahun 2020 atas usaha sendiri atau 41% atas bantuan internasional, yang mengundang banyaknya pendanaan iklim mengalir masuk ke Indonesia, telah membuat Indonesia terjebak dalam skema mitigasi melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, dibandingkan adaptasi. Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan terluas ketiga setelah Brazil dan Congo, menjadi salah satu negara target percontohan skema pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+) yang merupakan mekanisme internasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan skema perdagangan karbon atau berbasis pasar. Walaupun Novia Widyaningtyas dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan bahwa, “REDD+ bukan hanya soal dagang karbon. Perdagangan karbon hanya merupakan bagian dari co-benefit atau keuntungan tambahan”. Namun, “Jika dilihat, program dan pendanaan iklim yang masuk ke Indonesia, 90% untuk mitigasi, hanya sedikit untuk adaptasi, ini jelas adalah agenda kepentingan negara maju yang menjadikan negara berkembang sebagai ladang bagi negara maju untuk bertanggung jawab atas pemanasan global” Ungkap Risma Umar dari AKSI.
Padahal Indonesia yang merupakan negara kepulauan menjadi salah satu negara yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, diantaranya musim kering berkepanjangan, banjir, serta berbagai peristiwa iklim ekstrim yang mempengaruhi kesehatan dan sumber penghidupan komunitas, penurunan keanekaragaman hayati, serta ketidakstabilan ekonomi (RAN-API 2012). Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia diharapkan lebih memprioritaskan adaptasi dan tidak fokus pada mitigasi. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga diharapkan untuk sensitive dan responsive gender dalam merespon perubahan iklim ini. Hal ini karena perubahan iklim menimbulkan dampak lebih berat bagi perempuan akibat hubungan yang erat dengan alam serta meningkatkan beban perempuan akibat adanya sistem dan budaya patriarki yang mengkonstruksikan peran gender berbeda antara laki-laki dan perempuan, yang memarjinalisasi perempuan, terutama dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam merespon perubahan iklim pun persoalan perempuan tidak menjadi prioritas. Ini terlihat dari minimnya pelibatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam perundingan-perundingan kebijakan iklim. “KPPPA tidak menghadiri COP 20 di Lima, karena tidak ada anggarannya”, jelas Ciput Purwianti (KPPPA).
Selama ini, respon pemerintah Indonesia dalam setiap negosiasi perubahan iklim, tidak mengedepankan upaya mengatasi dampak perubahan iklim dan meningkatkan daya tahan masyarakat Indonesia, terutama perempuan terhadap dampak perubahan iklim. Perwakilan Pemerintah Indonesia pada Ministers Meeting Social Precop di Venezuela pada 6 November yang lalu menyatakan bahwa “Mitigation is the Core”. Walaupun oleh DNPI dinyatakan bahwa, “terkait posisi kita, karena negara kita rentan maka kita ingin jadikan adaptasi sebagai top priorities, tapi mitigasi juga tak terlupakan. Bagaimana mem-balanced antara mitigasi dan adaptasi. Soal penurunan emisi itu mitigasi, tapi kita juga ada RAN API dan ada banyak bidang yang sangat rentan yaitu pertanian, kesehatan dan lainnya.”, ungkap Doddy Sukardi pada Dialog Publik tersebut ketika merespon pertanyaan terkait bagaimana posisi pemerintah Indonesia pada COP20 di Lima. DNPI juga menyebutkan bahwa DNPI akan mengawal pengarusutamaan Gender di setiap kementerian dan Lembaga.
Menuju COP 20 di Lima, pemerintahan Jokowi-JK yang digambarkan sebagai pro terhadap kepentingan rakyatnya dan mengutamakan kepentingan nasional dibanding kepentingan negara lain yang lebih maju, sudah seharusnya mendorong perubahan paradigma dalam proses negosiasi perubahan iklim, “Pemerintah Indonesia pada COP 20 di Lima menuju 2015 agreement, harus berani bersikap tegas dan mendesak negara-negara industri maju untuk mengurangi emisinya dan memberikan pendanaan iklim, capacity building serta transfer teknologi secara cuma-cuma untuk adaptasi bagi negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk mengatasi kerentanannya atas dampak perubahan iklim sebagai bentuk kewajiban dan tanggung jawab historisnya dan menjadikannya sebagai sebuah legally binding agreement. Selain itu, Pemerintah Indonesia juga harus lebih serius mengintegrasikan perspektif keadilan gender di dalam setiap kebijakan dan rencana aksi perubahan iklim di Indonesia, baik mitigasi maupun adaptasi.”, tegas Puspa Dewy.
CP: Aliza (aliza@solidaritasperempuan.org)