Perempuan Berdaulat: Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan, Tolak Hukuman Mati

Siaran Pers Peringatan Hari Anti Hukuman Mati Sedunia

Jakarta, 10 Oktober 2025 – Dalam momentum Hari Anti Hukuman Mati Sedunia, Solidaritas Perempuan menyuarakan penolakan tegas terhadap praktik hukuman mati dan hentikan kekerasan terhadap perempuan, terutama di dalam rezim otoriter yang terus melanggengkan pelanggaran hak asasi manusia dan menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan.

Hukuman mati tidak pernah terbukti efektif sebagai pencegah kejahatan. Sebaliknya, ia membuka ruang besar bagi kesalahan peradilan, diskriminasi, dan pelanggaran hak paling mendasar: hak untuk hidup. Dalam sejarah dunia, termasuk di kawasan Asia Tenggara, militerisme telah menggunakan hukuman mati sebagai senjata politik, bukan sebagai instrumen keadilan. Di banyak negara, hukuman mati justru dijatuhkan secara tidak adil kepada kelompok rentan, terkhusus mereka yang miskin, perempuan, penyandang disabilitas mental, atau dari kelompok minoritas

Vonis hukuman mati hanya akan menimbulkan kekerasan bagi perempuan. Salah satu kelompok yang rentan terkena hukuman mati adalah Perempuan Buruh Migran (PBM) Setidaknya berdasarkan data Kementerian Luar Negeri pada bulan Mei 2024 terdapat 165 WNI yang terancam hukuman mati, 30% diantaranya perempuan, dan mayoritas WNI yang terancam hukuman mati adalah Buruh Migran Indonesia (PMI) yang tersebar di Malaysia, Vietnam, Arab Saudi, Uni Emirat Arab dan Laos. Hukuman mati yang di ancamkan kepada buruh migran khususnya PBM tentu adalah hak yang sangat tidak adil, karena kejahatan yang dilakukan oleh PBM tersebut merupakan reaksi atas tindakan majikannya, misalnya ia mengalami kekerasan seksual, penyiksaan yang keji, ataupun ketidak mampuannya membela diri di depan aparat penegak hukum untuk membela diri.

Masyarakat harus diberi kesadaran bahwa hukuman mati adalah tindakan represif, bukan solusi dan justru akan menimbulkan luka baru serta rekayasa impunitas terlebih jika pelaku berasal dari instansi negara. Hal ini didukung dari data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bersama Komnas Perempuan dan Forum Pengada Layanan (FPL) yang menunjukkan bahwa pelaku kekerasan perempuan tertinggi adalah PNS dan tentara (2025).

Pada momen ini, kami juga mengingatkan bahwa kekerasan terhadap perempuan, termasuk di dalam sistem peradilan pidana, masih berlangsung secara masif. Perempuan yang dihukum mati sering kali adalah korban: korban kekerasan dalam rumah tangga, eksploitasi ekonomi, perdagangan manusia, atau tekanan sosial. Namun sistem hukum gagal melihat mereka sebagai korban, dan justru menghukum mereka hingga mati. Pada rentang tahun 2023-2024 Solidaritas Perempuan melakukan advokasi kasus terhadap PBM berinisial S asal Jember, Jawa Timur yang bekerja sebagai PRT di Arab Saudi, ia terancam hukuman mati  atas tuduhan pembunuhan terhadap  majikan perempuan. Situasi yang dialami oleh PBM S dipicu oleh tidak adanya pendampingan dari perwakilan Indonesia di awal kasus, serta PBM tidak mampu berkomunikasi dengan baik menggunakan bahasa Arab. Jika dilihat situasi yang dialami oleh PBM S juga dipicu oleh rendahnya penegakan hukum terhadap para pelaku TPPO atau orang perseorangan yang melakukan penempatan PBM dengan tidak aman sehingga menyebabkan kerentanan berlebih bagi PBM. Selain itu Keputusan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 260 tahun 2015 Tentang Penghentian dan Pelarangan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Pada Pengguna Perseorangan di Negara-Negara Kawasan Timur Tengah adalah kebijakan diskriminatif yang mendorong PBM menjadi korban TPPO dan rentaan menghadapi ancaman hukuman mati tanpa sepengetahuan dari perwakilan Indonesia di negara-negara tersebut karena penempatannya tidak tercatat.

Disisi lain UU PPMI juga tidak terimplementasi sebagaimana mestinya, akibatnya banyak PBM yang tidak terdataa, tentunya mereka sulit untuk mendapatkan layanan yang dibutuhkan ketika terjadi permasalahan di negara penempatan. Selain itu, penempatan PBM yang dilakukan masih menggunakan sudut pandang  Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri  yang melihat  PBM sebagai komoditas dengan memberikan kewenangan dominan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) tanpa penegakan hukum dan pengawasan  yang memadai, dampaknya PBM rentan mengalami berbagai pelanggaran hak, kekerasan bahkan ancaman hukuman mati tanpa pendampingan.

Oleh sebab itu, Solidaritas Perempuan menyerukan untuk menghentikan segala bentuk hukuman mati sebagai bentuk legitimasi rezim militer dan otoriter untuk membungkam oposisi, menyebarkan ketakutan, dan memperkuat kekuasaan.

Kontak Media:
Mareta (Staf Kampanye Sekretariat Nasional) – 085883108642

Facebook
Twitter
LinkedIn
X
WhatsApp

Leave a Comment

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

Artikel Terbaru