Perempuan Berdaulat: Menuntut Kedaulatan Perempuan atas Pangan dan Sumber Agraria yang Berkeadilan Gender

Siaran Pers Perserikatan Solidaritas Perempuan
Hari Pangan Sedunia 2025

Rabu, 15 Oktober 2025, 44 Tahun sejak diperingati Hari Pangan Sedunia, bermula dari konferensi Food and Agriculture Organization (FAO)/ Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa Bangsa  ke 20 tahun 1979 di Roma. Konferensi ini memutuskan resolusi mengenai World Food Day (Hari Pangan Sedunia). Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia, salah satu tujuannya menegaskan pangan yang merupakan hak asasi manusia.

Berdasarkan pengalaman Solidaritas Perempuan (SP) yang telah 34 tahun bekerja bersama perempuan akar rumput, saat ini ada di 12 komunitas Solidaritas Perempuan di 10 Provinsi di Indonesia, bekerja di 105 Desa dengan fokus memperkuat 6.843 perempuan memperlihatkan berbagai kebijakan dan/ proyek yang tidak berpihak kepada rakyat dan semakin memisahkan perempuan dari tanah dan lahannya. Sampai saat ini, pangan yang merupakan hak asasi manusia masih belum bisa dipenuhi oleh Negara.

Sulawesi Selatan “Program Pemerintah mengambil-alih sumber penghidupan-pangan perempuan seperti air, tanah, pesisir, laut, memicu konflik agraria berkepanjangan antara petani dengan perusahaan. Seperti yang dialami oleh perempuan petani di Polongbangkeng berkonflik dengan PTPN di Takalar serta peminggiran akses dan kontrol perempuan nelayan dari sumber pangannya di pesisir Tallo, Buloa, Cambaya Kota Makassar demi kepentingan bisnis jasa pelayaran-Pembangunan Pelabuhan Makassar New Port, namun justru membuat rakyat, termasuk perempuan harus kehilangan lahan dan tanahnya atas nama pembangunan” Suryani, BEK SP Anging Mammiri.

Palu, Sulawesi Tengah “Masyarakat Desa Watutau di Kabupaten Poso menghadapi konflik lahan pertanian dan peternakan dengan Badan Bank Tanah. Perampasan lahan tidak hanya mengancam mata pencaharian tapi juga kelestarian lingkungan dan budaya lokal seperti menganyam tikar dan menanam jagung, sayur-sayuran, kacang-kacangan yang tidak mengandung pestisida. Perampasan lahan sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat khususnya perempuan. Saat ini 12 orang petani Desa Watutau harus menghadapi kriminalisasi oleh pihak Polres Poso, 1 orang di antaranya telah ditetapkan sebagai tersangka. Masyarakat saling bekerja sama berjuang untuk tanah mereka dikembalikan oleh Badan Bank Tanah. Kalau kami meminta mediasi tentang bank tanah kami selalu dihadapkan dengan aparat apa salah kami? Kalau pencuri masuk desa di denda/di berikan sanksi  sedangkan tanah kami dicuri, kami yang dilaporkan, itu yang menjadi pertanyaan.” Perempuan Pemimpin di Desa Watutau.

Poso, Sulawesi Tengah “Program pemerintah dengan penyeragaman bibit juga mengancam pangan lokal perempuan, bibit pangan lokal (jagung pulut) mulai tergerus berganti menjadi bibit hibrida. Kebijakan baru pemerintah Kabupaten Poso bekerjasama dengan perusahaan perkebunan durian untuk meningkatkan ekspor durian montong ke pasar global, hal ini akan mengancam lahan-lahan pertanian milik perempuan yang akan dialihkan menjadi perkebunan durian montong. Pemerintah daerah Kab. Poso telah melakukan sosialisasi tentang perkebunan durian tersebut dan akan menggunakan lahan desa sebagai perkebunan durian. ini akan mengancam kebun kolektif yang telah ditanami padi ladang dan jagung pulut, kebun kolektif ini diolah oleh kelompok perempuan petani desa kuku, kebun kolektif ini merupakan lahan desa yang dipinjam pakai oleh kelompok perempuan untuk gunakan menanam. Penting untuk mendorong adanya kebijakan yang melindungi wilayah tata kelola perempuan”. Wemi Ngau, Perempuan di Desa Kuku.

Nusa Tenggara Timur, “Kebijakan yang melegitimasi Proyek Geothermal di Poco Leok dan rencana Pembangunan Bendungan Kolhua, mendapat penolakan dari rakyat yang kehidupan mereka sangat lekat dengan alam, terutama perempuan. Proyek ini merampas ruang hidup perempuan dan mengancam kedaulatan perempuan atas pangan dan sumber-sumber kehidupan perempuan” Linda Tagie, BEK SP Flobamoratas.

Lampung: “Penghilangan benih-benih lokal melalui berbagai kebijakan pemerintah telah berdampak besar bagi petani, terutama mereka yang berupaya mempertahankan benih tradisional yang kini semakin sulit dilestarikan. Kebijakan standarisasi benih dan dominasi pangan instan membuat masyarakat kian bergantung pada sistem pangan global. Di Lampung, SP Sebay lampung menolak pembangunan bendungan di wilayah Marga III karena mengancam lahan pertanian, di tengah maraknya konflik agraria akibat ekspansi perkebunan nanas dan tebu untuk kepentingan ekspor. Kebijakan impor bahan pokok yang diperkuat oleh UU Cipta Kerja semakin mempersempit ruang hidup petani lokal, sementara perempuan petani kehilangan akses terhadap lahan dan teknologi akibat penyeragaman sistem pertanian monokultur oleh pemerintah dan perusahaan” Amnesty Amelia Utami, BEK SP Sebay Lampung.

Sulawesi Tenggara, “Reklamasi Teluk Kendari berdampak pada perempuan pesisir yang sangat berkurang tangkapan ikan. Perempuan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, termasuk perencanaan tata ruang laut dalam kebijakan pembangunan” Christine, BEK SP Kendari

Mataram, Nusa Tenggara Barat: “Pembangunan Bendungan Meninting di Desa Bukit Tinggi, Dasan Geriya dan Gegerung di Kabupaten Lombok Barat dijanjikan untuk “Pengairan sawah, pangan, dan ekonomi masyarakat.” Namun, dalam praktiknya, lahan-lahan hutan, sawah, dan ladang yang berada di desa-desa yang berada di sekitar proyek Bendungan Meninting masuk dalam area pengadaan tanah untuk PSN, sehingga warga (terutama perempuan petani) kehilangan akses lahan pertanian. Perempuan petani, kehilangan ruang produksi dan reproduksi sosial, namun tidak dilibatkan dalam perencanaan maupun pengambilan keputusan proyek. Dampak paling nyata dirasakan ibu-ibu, yang sebelumnya membuat gula aren kini kehilangan sumber penghasilan karena pohon aren ditebang. Penjual sayur harus menunda berjualan karena menunggu giliran mendapatkan air bersih. Banyak perempuan terpaksa bekerja serabutan atau menjadi Perempuan Buruh Migran yang bekerja ke luar negeri sebagai alternatif terakhir untuk memenuhi kebutuhan namun sangat minim perlindungan.” Yayuk Septiana, SP Mataram

Sumbawa, Nusa Tenggara Barat: Proyek Strategis Nasional yang menetapkan Sumbawa sebagai lumbung jagung nasional saat ini dan menargetkan 1 juta ton jagung sejak tahun 2022. Hal ini mengakibatkan petani yang mayoritasnya selama ini menanam padi beralih menanam jagung hibrida yang merupakan permintaan pasar sehingga banyak terjadi pembukaan lahan baru yang mengakibatkan penggundulan gunung yang berdampak pada kerusakan lingkungan, kekeringan, perubahan iklim yang tidak menentu  serta terjadi banjir. Perempuan di Desa Pelat berjuang untuk perlindungan pangan lokal, namun tergeser karena harus menanam jagung hibrida yang membutuhkan biaya produksi yang sangat tinggi, kemudian dihadapkan dengan gagal panen, rusaknya unsur hara tanah dan justru terlilit hutang karena harga jagung yang dibeli jauh rendah dari harga sebesar Rp. 5.500 per kilogram (kg) yang sudah ditentukan. Dania, BEK SP Sumbawa

Sumatera Selatan: Di tengah gempuran industri perkebunan besar, perempuan-perempuan di Desa Seri Bandung, Tanjung Pinang I, dan Limbang Jaya di Kabupaten Ogan Ilir masih terus kehilangan akses terhadap tanah, air, dan sumber pangan mereka. Negara merampas hak masyarakat di Ogan Ilir sejak tahun 1982, pengambilalihan lahan oleh PTPN VII Cinta Manis (perusahaan tebu milik negara) telah merampas ruang hidup perempuan petani. Perempuan yang dulunya adalah seorang petani nanas, padi, dan palawija dimana lahan pertanian yang dulu menjadi sumber pangan keluarga kini berubah menjadi hamparan tebu dan sawit. Akibatnya, perempuan kehilangan kedaulatan atas benih, pangan lokal, pengetahuan lingkungan dan sumber air bersih, serta terpaksa menjadi buruh tani ditanah sendiri dengan upah murah 30 ribu sehari dari pagi subuh sampai sore hari, hingga ada yang terpaksa meninggalkan rumah untuk menjadi buruh di negeri orang” Mutia Maharani, BEK SP Palembang

Aceh: Aceh berada dalam provinsi termiskin di pulau Sumatera, sangat tidak sebanding dengan kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Persoalan pangan yang disebabkan oleh ketimpangan ekonomi dan sosial. Pengelolaan pertanian tidak mengedepankan pengetahuan dan pengalaman perempuan yang sebenarnya sudah dikelola oleh perempuan sejak dari nenek moyangnya. Perempuan yang ada di Aceh Besar, Kecamatan Lhoknga Leupung tidak lagi menggunakan bibit lokal untuk pertaniannya yang sudah diwariskan dari dulu akan tetapi dengan mengharapkan bibit bantuan yang diberikan oleh pemerintah yang terkadang tidak cocok dengan lahannya. Ditambahkan lagi persoalan krisis air yang dialami oleh perempuan hampir setiap tahun juga belum menjadi pertimbangan pemerintah yang sangat berdampak pada sektor pengelolaan pertanian” Rahmil Izza, BEK SP Bungoeng Jeumpa Aceh.

Yogyakarta, Berbagai kebijakan pangan di Indonesia merupakan kebijakan politik yang merampas lahan. Wadon Wadas yaitu perempuan yang ada di Wadas, Purworejo yang kehilangan tanahnya akibat dari PSN untuk Pembangunan Bendungan Bener. Kebijakan negara yang semakin memisahkan perempuan dari tanahnya. Kebijakan yang hadir semestinya merupakan kebutuhan masyarakat terutama perempuan. Refleksi dari Perempuan Petani Lestari di Kulon Progo yang melestarikan pola pertanian selaras dengan alam, memiliki prinsip “Nandur nganggo roso ora ngresulo” (menanam memakai rasa tidak mengeluh). “Nandur sing dipangan mangan sing ditandur” (menanam apa yang kita makan dan makan apa yang kita tanam)” Suhartini, BEK SP Kinasih.

Kalimantan Tengah: Program Strategis Nasional yang diluncurkan pada saat pandemi covid-19 dan digaungkan sebagai program penyediaan cadangan pangan nasional yaitu Food Estate berada di Desa Mantangai Hulu, membuat perempuan menjadi kehilangan lahan pertaniannya akibat dari pembukaan lahan. Terjadinya kerusakan lingkungan dan penebangan pohon untuk membuka lahan pertanian untuk program strategis nasional Food Estate merusak ekosistem dimana selama ini perempuan melekat pada alam seperti masyarakat suku Dayak, juga hilangnya pengetahuan lokal perempuan karena PSN Food Estate mewajibkan penggunaan bibit hibrida dan pupuk kimia yang selama ini jauh dari warisan masyarakat secara turun temurun dilestarikan. Program Food Estate merupakan kegagalan dan pelanggaran negara terhadap hak atas pangan dan gizi bagi masyarakat” Irene Natalia Lambung, BEK SP Mamut Menteng

Bojonegoro: “Bojonegoro sebagai lumbung pangan dengan 72% petani gurem, namun Proyek ekstraktif Blok Cepu telah menghilangkan lebih dari 600 hektare lahan produktif dan menimbulkan krisis air, diperburuk oleh ancaman greenwashing agraria dari rencana pabrik bioetanol senilai Rp 19 triliun yang menuntut pasokan 300.000 ton jagung, menggeser lahan pangan menjadi komoditas energi. Selain itu, Kegagalan PSN Karangnongko, Petani Ngelo telah dua tahun kehilangan panen, sementara Rp 35,3 miliar dana ganti rugi terblokir, menunjukkan perampasan hak ekonomi terselubung terhadap perempuan petani. Krisis ini diperparah oleh kegagalan jaminan pangan dan iklim, produksi padi anjlok 77.293 ton akibat kekeringan, dan keracunan massal program MBG yang menimpa 500 siswa membuktikan rapuhnya pengawasan Pemkab, di mana 66 SPPG beroperasi tanpa standar sanitasi” Anggun, Perwakilan Anggota SP di Bojonegoro

“Ketimpangan penguasaan pangan dan sumber agraria, tidak terlepas dari politik pangan global yang berwatak neoliberalisme dan privatisasi sehingga sistem pangan diterapkan sebagai komoditas pasar, tidak dilandaskan pada hak asasi manusia. Kebijakan dan program pangan yang berorientasi pada ekstraktivisme skala besar telah terbukti banyak menimbulkan masalah struktural dan pemiskinan sistemik bagi produsen pangan perempuan seperti nelayan, petani, perempuan adat situasi tersebut diperparah oleh peran  militerisme pada  produksi pangan, pertanian dan sumber agraria lainya. Proses pembangunan kebijakan di Indonesia yang berkaitan dengan pangan, telah mengabaikan partisipasi bermakna perempuan. Tidak ada meaningful participation di dalam proses  penyusunan  kebijakan itu sendiri, pengalaman dan inisiatif lokal perempuan tidak di rekognisi dalam substansi dan program kebijakan sebagai  memastikan pangan berkelanjutan  dan kelestarian lingkungan. Sehingga Solidaritas Perempuan menyerukan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran untuk menghentikan kekuasaan Autocratic Legalism dan mengembalikan kedaulatan pangan kepada rakyat dan perempuan dengan memastikan keadilan pangan  dengan menjamin adanya  akses yang setara dalam penguasaan dan pengelolaan produksi pangan bagi kelompok rentan, termasuk mengedepankan pengakuan identitas perempuan produsen pangan, perlindungan budaya dan resiliensi pangan lokal di tengah krisis iklim.” ditegaskan oleh Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan

Contact Person:
Sofianty 083133412060
Dina 085870655315

Facebook
Twitter
LinkedIn
X
WhatsApp

Leave a Comment

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

Artikel Terbaru