Perempuan Berdaulat: Tuntut Reforma Agraria Adil Gender dan Gugat Undang-Undang Cipta Kerja!

PERNYATAAN SIKAP PERSERIKATAN SOLIDARITAS PEREMPUAN
Selasa, 23 September 2025

Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September seharusnya menjadi momentum untuk menegakkan cita-cita Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang terkandung dalam  Pasal  33  ayat  (3)  UUD  1945,  yakni  bahwa  bumi,  air, dan  kekayaan  alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun setelah lebih dari enam dekade,  cita-cita  tersebut  justru  dikhianati oleh kebijakan negara yang melanggengkan ketimpangan dan memperparah perampasan ruang hidup rakyat. Sebanyak 1% kelompok menguasai 68% tanah1. Tanah dan sumber kehidupan rakyat dirampas atas nama investasi, proyek strategis nasional, dan proyek iklim yang diklaim demi kepentingan pembangunan. Kondisi  ini  bukan  hanya meruntuhkan demokrasi, melainkan juga melahirkan lingkaran ketidakadilan, pemiskinan, eksploitasi, dan kerusakan lingkungan.

Perampasan  tanah  telah  memaksa  ribuan  perempuan  kehilangan  ruang  hidup melalui intimidasi, manipulasi hukum, penggusuran paksa, hingga pengerahan aparat. Semua ini dibungkus  dengan  dalih  legalitas  seperti “izin usaha”, “proyek strategis nasional”, atau “pembangunan demi kepentingan umum”, sebagaimana terjadi di PTPN VII Cinta Manis Palembang, Bendungan Bener Wadas, Makassar New Port, Teluk Kendari, Bank Tanah Poso,  Cetak  Sawah  Kalimantan  Tengah,  hingga  Bendungan  Meninting.  Ironisnya, proyek yang disebut “solusi iklim” juga menjadi kedok baru perampasan. Pembangunan geothermal di Poco Leok dan Rajabasa, PLTA Poso Energy, PLTU Captive Morowali, hingga proyek REDD+ justru menyingkirkan masyarakat adat, komunitas lokal, dan perempuan dari wilayah kelola mereka.

Dampaknya tidak berhenti pada penggusuran, tetapi juga melahirkan krisis yang lebih luas, seperti  krisis  air di Aceh akibat Pabrik Semen Andalas, serta krisis pangan yang mengancam keberlangsungan hidup rakyat, terutama perempuan yang dilekatkan dengan perannya sebagai penanggung jawab utama pangan keluarga. Padahal, dua kebutuhan ini merupakan  kebutuhan  paling mendasar, namun kini semakin sulit diakses. Gelombang perampasan tanah dalam beberapa dekade terakhir juga mendorong feminisasi migrasi di mana banyak perempuan terpaksa bermigrasi ke luar negeri sebagai buruh migran, sebagaimana terjadi di Sumbawa, Mataram, hingga Nusa Tenggara Timur. Situasi ini memperluas potensi perempuan jatuh ke dalam jurang eksploitasi dan kekerasan.

Alih-alih melindungi rakyat, negara justru memperkuat praktik militerisme agraria dengan mengerahkan   aparat   untuk   mengawal   investasi,   menggusur   tanah   rakyat,   dan membungkam perlawanan. Petani, aktivis lingkungan, hingga perempuan pembela hak atas tanah tidak hanya diintimidasi, tetapi juga ditangkap dan dikriminalisasi. Suara rakyat yang menuntut keadilan dibungkam dengan kekerasan, sementara aparat dijadikan tameng kepentingan modal. Pola represif ini dilegitimasi melalui praktik autocratic legalism, berbagai kebijakan, seperti UU Cipta Kerja, UU ITE, serta pasal-pasal karet dalam KUHP telah digunakan sebagai instrumen hukum untuk membungkam suara perlawanan masyarakat sipil, termasuk gerakan perempuan.

UU Cipta Kerja2 merupakan salah satu contoh instrumen legalisasi negara untuk merampas tanah serta mempercepat alih fungsi lahan pertanian, pesisir, dan hutan menjadi kawasan industri, tambang, dan properti. Kebijakan ini mengabaikan keadilan sosial, memperparah ketimpangan agraria, dan menempatkan perempuan, yang paling dekat dengan tanah dan air, sebagai korban paling rentan. Persoalan ini tidak dapat dilepaskan dari watak patriarki dan politik oligarki yang menyingkirkan perempuan demi akumulasi kapital. Negara berkolaborasi dengan pemodal, bahkan mengerahkan aparat bersenjata untuk mengamankan investasi. Perempuan yang berhadapan dengan konflik tanah dan konflik bersenjata menghadapi kerentanan lebih besar, yakni kehilangan ruang hidup, terpecah dari kolektivitas, dan dipaksa bermigrasi. Padahal, perempuan juga ada di garis depan perjuangan.

Solidaritas  Perempuan  menegaskan  bahwa  reforma  agraria  sejati  tidak  akan  pernah terwujud tanpa keterlibatan perempuan dan pengakuan atas hak-hak perempuan. Reforma agraria tanpa perempuan bukanlah reforma! Demokrasi hanya akan berdiri jika perempuan memiliki ruang partisipasi yang setara dalam pengambilan keputusan, serta akses adil terhadap tanah, air, dan sumber kehidupan.

Oleh  karena  itu,  Solidaritas  Perempuan  bersama  12  komunitas  menuntut  Pemerintah Republik Indonesia untuk segera:

  1. Cabut kebijakan  untuk  kepentingan  investasi  yang  tidak  berpihak  kepada rakyat, termasuk mencabut UU Cipta Kerja karena melanggengkan konflik agraria, memperparah ketimpangan dan ketidakadilan serta tapi merampas  kedaulatan perempuan.
  2. Hentikan dan cabut izin-izin usaha yang berdampak pada kerusakan lingkungan hidup dan pelanggaran hak asasi manusia.
  3. Menghentikan seluruh bentuk perampasan tanah dan sumber agraria, baik atas nama proyek  strategis nasional, proyek iklim, food estate, bank tanah, maupun investasi ekstraktif lainnya
  4. Mengakhiri tindak kekerasan, militerisme dan kriminalisasi kepada rakyat yang tengah  mempertahankan  ruang  hidupnya,  serta  membebaskan  seluruh aktivis, petani,  dan  perempuan  pembela  lingkungan  yang  ditangkap  karena memperjuangkan hak atas tanah.
  5. Menyelesaikan  konflik-konflik   agraria   secara   adil   bagi   rakyat,   dengan keterlibatan  bermakna   seluruh elemen masyarakat, termasuk perempuan, serta mengedepankan perlindungan hak asasi manusia dan hak perempuan.
  6. Hentikan kejahatan korporasi yang selama ini turut andil dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan
  1. Wujudkan reforma agraria yang berkeadilan gender, jalankan reforma agraria dengan  menjadikan   perempuan   sebagai   subjek   dan   memastikan   partisipasi bermakna bagi perempuan dalam setiap perumusan kebijakan agraria dan pembangunan.

 https://www.kompas.com/properti/read/2025/02/15/205644021/68-persen-tanah-dan-kekayaan-indone sia-dikuasai-satu-persen-kelompok  
2  Baca kertas posisi SP terkait  https://www.solidaritasperempuan.org/wp-content/uploads/2020/08/Kertas-Posisi-Solidaritas-Perempuan-terhadap-Omnibus-Law.pdf

Facebook
Twitter
LinkedIn
X
WhatsApp

Leave a Comment

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

Artikel Terbaru