Perempuan Buruh Berdaulat: Lawan Rezim Diktator Militer

Rilis Perserikatan Solidaritas Perempuan – Hari Buruh Sedunia 2025 Peringatan Hari Buruh Sedunia dijadikan momentum perlawanan Solidaritas Perempuan yang selama 34 tahun bekerja bersama perempuan akar rumput memperjuangkan hak dan keadilan bagi perempuan, khususnya perempuan buruh. Perempuan yang kehilangan sumber-sumber kehidupannya akibat ekspansi perkebunan sawit, orientasi pertanian agribisnis, pembangunan infrastruktur, serta privatisasi pesisir, dipaksa menjadi buruh di bawah sistem yang diktator dan di bawah intimidasi militer.

Indonesia yang gelap saat ini menjadi cerminan dari watak kekuasaan diktator militer Prabowo–Gibran, yang memperkuat pemiskinan perempuan dengan pemerintahan autocratic legalism, memanfaatkan hukum secara sewenang-wenang untuk mengokohkan kekuasaan. Penguatan peran militer terus dilakukan, salah satunya dengan disahkannya revisi UU TNI. Penggunaan militer oleh korporasi dan negara untuk berhadapan dengan masyarakat, termasuk perempuan buruh yang memperjuangkan tanah dan ruang hidup mereka, berdampak pada pembungkaman, intimidasi, trauma kolektif, dan pelanggaran HAM.

Contoh Kasus dari Berbagai Daerah:

  • Wadas, Jawa Tengah: Perempuan petani terus berjuang meski menghadapi intimidasi dari aparat, dengan membentuk Kelompok Tani Muda Wadas Farm.
  • Morowali, Sulawesi Tengah: Sebelum masuknya tambang, perempuan bekerja sebagai petani dan nelayan. Setelah tambang masuk, mereka dipaksa menjadi buruh dengan risiko mendapat pemotongan gaji bila memprotes.
  • Makassar, Sulawesi Selatan: Pembangunan Pelabuhan Makassar New Port membuat perempuan nelayan kehilangan pekerjaan dan beralih menjadi buruh cuci atau pengepul sampah laut.
  • Teluk Bone Cungkeng, Lampung: Perempuan nelayan kesulitan mendapatkan akses Kartu Kusuka sebagai bentuk pembungkaman atas penolakan proyek pemerintah.
  • Meninting, Nusa Tenggara Barat: Pembangunan Bendungan Meninting merusak dan menghapus lebih dari 90 hektar lahan, termasuk hutan, sawah, dan ladang masyarakat, dengan proses pembebasan lahan yang penuh tekanan dari aparat.
  • Seribandung, Sumatera Selatan: Tanah perempuan dirampas oleh PTPN VII Cinta Manis, dan aparat militer digunakan untuk mengintimidasi dan membungkam perempuan yang memperjuangkan tanah mereka.
  • Lembah Pekurehua, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah: Badan Bank Tanah merampas tanah eks-HGU dan memperluas lahan hingga 2.840 hektar dari semula 550 hektar, dengan menghadirkan aparat dan jaksa, yang mengakibatkan intimidasi dan kriminalisasi masyarakat, termasuk 2 perempuan.
  • Sumbawa, Nusa Tenggara Barat: Food Estate dan mekanisasi pertanian mengubah lahan pertanian dan hutan menjadi kebun jagung skala besar, merusak lingkungan, memicu banjir dan tanah longsor, serta membuat perempuan petani kehilangan pengetahuan dan kearifan lokal yang diwariskan dari generasi ke generasi.
  • Lhoknga, Aceh: Perempuan petani kehilangan sumber penghidupan akibat pembangunan PLTB di kawasan hutan lindung yang dijaga oleh masyarakat, mengakibatkan krisis air dan memperparah penderitaan perempuan.
  • Nusa Tenggara Timur: Berbagai proyek skala besar dengan alasan proyek strategis nasional merampas dan menghancurkan ruang-ruang hidup perempuan, mengeksploitasi alam, termasuk proyek Geothermal dan pariwisata super premium.
  • Kapuas, Kalimantan Tengah: Pembukaan cetak sawah seluas 57.731 hektar dilakukan tanpa transparansi bagi masyarakat dan membuat perempuan terpinggirkan sebagai buruh di tanahnya sendiri.
  • Konawe, Sulawesi Tenggara: Revisi Peraturan Daerah Kabupaten Konawe No. 16 Tahun 2015 tidak melibatkan perempuan, sementara ekspansi perkebunan sawit membuat perempuan bekerja ke luar negeri sebagai tenaga kerja migran dengan risiko tinggi, termasuk perdagangan manusia.
  • Sulawesi Selatan (Sabah): Buruh migran perempuan di Sabah hidup dalam tekanan, kerja di bawah ancaman razia dan penahanan, dengan risiko pelanggaran HAM.

Solidaritas Perempuan menilai bahwa situasi berlapis yang dialami perempuan buruh hari ini merupakan manifestasi dari jalinan patriarki dan politik ekonomi global. Deregulasi berbagai kebijakan patriarkis seperti UU Cipta Kerja telah menciptakan pemiskinan sistemik bagi rakyat Indonesia, khususnya perempuan. Watak otokrasi rezim pemerintahan Prabowo–Gibran semakin nyata dengan menguatkan peran militer di berbagai sektor strategis, memperparah ketimpangan kuasa, meminggirkan peran perempuan, dan memperluas tindak kekerasan bagi perempuan buruh di Indonesia.

– Armayanti Sanusi, Ketua BEN Solidaritas Perempuan
Narahubung: +62 812-8078-8634 (Solidaritas Perempuan)

Facebook
Twitter
LinkedIn
X
WhatsApp

Leave a Comment

Artikel Lainnya

Artikel Terbaru

Artikel Terbaru