Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan Anging Mammiri
Memperingati Hari Pangan Sedunia 2017
72 tahun yang lalu tepatnya 16 Oktober 1945, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendirikan Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pangan bagi kehidupan manusia. Dan sejak tahun 1981, tanggal 16 Oktober pun diperingati setiap tahun sebagai Hari Pangan Sedunia. Tentunya peringatan ini bukanlah sebagai bentuk seremoni belaka, tetapi momentum ini justru menjadi ruang dan media bagi kita untuk terus menyuarakan kondisi yang terjadi dimana masyarakat indonesia semakin tidak berdaulat atas sumber-sumber pangannya.
Petani dan nelayan yang merupakan produsen pangan utama, yang menyediakan pangan bagi seluruh penduduk di Indonesia, justru tak kunjung sejahterah hidupnya. Aturan perUUan yang dibuat pemerintah seperti UU Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Nomor 19 Tahun 2013, UU Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi Daya Ikan dan Petambak Garam Nomor 7 Tahun 2016, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Nomor 32 Tahun 2009, ternyata belum mampu menjamin perlindungan yang sebenar-benarnya oleh negara terhadap para petani dan nelayan. Berbagai kebijakan yang dilahirkan yang “katanya” untuk melindungi, nyatanya dilemahkan dengan beragam skema perjanjian dan kebijakan investasi. UU Penanaman Modal Asing Nomor 25 Tahun 2007 dan UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Nomor 2 Tahun 2012 saja, semakin memudahkan para pemilik modal besar baik di dalam negeri maupun investor asing untuk semakin menguasai sumber-sumber produksi pangan di Indonesia.
Konflik yang berkepanjangan antara masyarakat Petani Polongbangkeng Utara Kabupaten Takalar dengan PTPN XIV hingga hari ini tak kunjung terselesaikan. Padi, ubi, sayuran dan tanaman pangan lainnya yang dulunya diproduksi di lahan pertanian mereka, harus tergantikan dengan tebu, demi memenuhi produksi gula dalam negeri. Mega proyek reklamasi dikawasan pesisir Kota Makassar (Centre Point of Indonesia dan Makassar New Port) juga telah telah mengabaikan hak publik terhadap pesisir dan pantainya dan juga hak hidup dan melanjutkan hidup para nelayan. Masyarakat pesisir dan nelayan di Kecamatan Mariso, Ujung Tanah dan Tallo harus kehilangan lahan mata pencaharian bahkan tempat tinggal. Laut jadi tercemar bahkan disulap menjadi daratan yang tentunya peruntukannya bukan bagi nelayan dan masyarakat miskin perkotaan. Mereka tidak lagi mencari kerang karena wilayah untuk mencari kerang tidak dapat diakses oleh perempuan. Belum lagi jika perusahaan melibatkan kekuatan aparat keamanan untuk memastikan perusahaan bekerja dengan tanpa gangguan akan penolakan dari masyarakat. Seperti yang terjadi pada 400 perempuan Seko di Kabupaten Luwu Utara yang berjuang mempertahankan tanahnya, sumber pangannya dari rencana pembangunan PLTA oleh PT Seko Power Prima, harus mengalami intimidasi dan kekerasan aparat keamanan. Daerah pedesaan maupun perkotaan, telah menjadi kantong-kantong kemiskinan akibat alih fungsi lahan dan sengketa lahan atas nama kepentingan pembangunan dan investasi.
Hilangnya sumber pangan menyebabkan kehidupan perempuan semakin sulit, dikarenakan peran dan tanggung jawab domestik yang dilekatkan pada perempuan mengakibatkan perempuan semakin rentan mengalami penindasan dan kekerasan yang berlapis. Perempuan petani di Desa Lassang Barat dan Parang Luara di Takalar, banyak yang kemudian menjadi buruh tani, buruh bangunan, bermigrasi ke propinsi lain hingga ke luar negeri hanya untuk memastikan kebutuhan pangan keluarganya dapat terpenuhi. Demikian juga dengan perempuan nelayan/pesisir Mariso dan Tallo yang tidak lagi bisa mengakses lautnya untuk mendapatkan kerang yang sehat dan aman dikonsumsi bagi keluarga dan masyarakatnya.
Situasi-situasi yang dialami oleh perempuan petani, perempuan pesisir dan perempuan yang tergusur dari lahan tempat tinggal dan kehidupannya membuktikan bahwa perempuan dan masyarakat miskin tidak pernah dijadikan prioritas oleh pengambil kebijakan dalam melakukan program pembangunan. Kami menilai bahwa pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran hak yang terjadi, bahkan seringkali memfasilitasi pelanggaran hak tersebut melalui aparatnya.
Olehnya itu, Kami dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri mendesak pemerintah Sulawesi
Selatan dan Pemerintah Kota Makassar untuk:
- Menjalankan amanat konstitusi untuk mensejahterahkan seluruh rakyat Indonesia dan melindungi dari segala ancaman investasi yang merampas dan merusak sumber-sumber pangan
- Menghentikan proyek-proyek pembangunan yang telah merampas sumber-sumber pangan dan memiskinkan perempuan,.
- Menghentikan proyek reklamasi pantai Kota Makassar yang terbukti memiskinkan dan meminggirkan perempuan dari ruang kelolanya.
- Menghentikan pembangunan PLTA oleh P Seko Power Prima di kecamatan Seko, kabupaten Luwu Utara yang mengancam hilangnya sumber pangan perempuan.
- Menyelesaikan konflik agraria di Sulawesi Selatan dengan memperhatikan situasi, kondisi dan dampak yang dialami perempuan akibat dari konflik tersebut, khususnya konflik lahan PTPN XIV di Kabupaten Takalar.
- Wujudkan kedaulatan hak perempuan atas pangan.
Makassar, 16 Oktober 2017
Solidaritas Perempuan
Anging Mammiri
Narahubung :
Nur Aisyah : +6285255216656