Pernyataan Sikap Solidaritas Perempuan Sebay Lampung Memperingati hari pangan Dunia “penetrasi globalisasi mengancam kedaulatan perempuan atas pangan”

Sejarah peringatan hari pangan sedunia bermula dari konferensi FAO ke 20, bulan Nopember 1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya resolusi No. 179 mengenai World Food Day. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS)¹. Tujuan dari peringatan HPS tersebut adalah untuk meningkatkan kesadaran dan perhatian masyarakat internasional akan pentingnya penanganan masalah pangan baik ditingkat global, regional maupun nasional. Penyelenggaraan peringatan Hari Pangan Sedunia (HPS) merupakan konsekuensi keikutsertaan Indonesia sebagai anggota FAO. Acara diselenggarakan lintas departemen dan sebagai vocal point FAO di Indonesia, Menteri Pertanian menetapkan Departemen Pertanian sebagai departemen utama (leading institution) penyelenggara HPS.
Sistem pertanian di Indonesia merupakan sistem pertanian tradisional² yang sangat menjaga kesuburan tanah dan nilai kearifan lokal dalam pengelolaan yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat. Dalam sistem pertanian tradisional ini, berlaku pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Dimana perempuan memiliki peran yang sangat signifikan dalam pertanian keluarga. Aktivitas seperti pemilihan benih, maupun pengelolaan tanaman pangan selalu dipercayakan kepada perempuan. Praktek selama ini, pengetahuan kearifan lokal dan pengalaman yang dimiliki perempuan mampu mempertahankan pola pengelolaan produksi pangan, mulai dari kesuburan tanah dan benih lokal hingga menjadi pertanian yang berkelanjutan.

Pada masyarakat pesisir, perempuan juga selalu menambah nilai jual hasil tangkap dengan mengolahnya menjadi produk pangan perikanan. Dalam hal distribusi juga bisa dilihat betapa perempuan yang banyak menggerakkan pasar-pasar tradisional, di desa hingga di kota. Bahkan produk pangan dumahan banyak yang dikelola dan dijalankan oleh perempuan. Hingga akhirnya pangan tersedia di atas meja makan untuk konsumsi keluarga pun tetap dilekatkan menjadi tanggungjawab bagi perempuan. Dengan demikian, perempuan dan pangan adalah kedua hal yang saling terkait dan tak terpisahkan.
Namun perubahan sistem pangan di dunia, termasuk di Indonesia, telah meminggirkan peran dan pengetahuan perempuan. Sistem pertanian tradisional yang dipandang tidak efektif dan efisien dari segi produksi digantikan dengan sistem pertanian modern untuk memacu peningkatan hasil produksi.

Sumber-sumber produksi pertanian seperti lahan pun dipaksa untuk bisa mencapai panen yang berlimpah dalam jangka waktu sesingkat mungkin. Hingga pada akhirnya petani secara sistemik dijebak dalam teknologi yang tidak mampu diciptakannya sendiri. Petani pun menjadi konsumen/pengguna teknologi yang diciptakan oleh industri seperti benih unggul, pupuk dan pestisida kimia sintesis serta alat produksi lainnya.Situasi demikian merupakan peran negara industri, maupun perusahaan nasional dan multinasional yang menguasai sektor pangan dunia sebagai penyedia bibit, pupuk, pestisida dan alat-alat pertanian modern. Serta menjadi peluang bagi lembaga-lembaga internasional seperti IMF, Bank Dunia, ADB ataupun WTO (yang merupakan kelanjutan dari agenda GATT) untuk mendorong liberalisasi di bidang ekonomi, perdagangan dan investasi yang pada akhirnya mempengaruhi kebijakan maupun program/proyek pangan nasional. Liberalisasi tersebut memaksa Indonesia untuk membuka pasarnya terhadap produk pangan impor.

Selain menggeser pangan lokal, kehadiran pangan impor menjadi salah satu sebab terjadinya pemiskinan terutama perempuan yang hidup dari sektor pertanian tradisional. Bagi perempuan miskin kota pun, meski pangan impor melimpah tetap tidak terjangkau hingga mereka tidak mampu mengakses pangan di negerinya sendiri yang kaya raya dengan sumber daya alam. Alih-alih melindungi kepentingan dan kesejahteraan rakyat, Pemerintah bersama dengan legislatif justru memuluskan agenda liberalisasi dengan mendorong deregulasi kebijakan, hingga menghasilkan berbagai undang-undang yang memberi peluang besar bagi swasta dan investor asing untuk dengan mudahnya menguasai tanah, sumber daya alam, pasar, dan lainnya. Beberapa undang-undang tersebut diantaranya adalah UU Pangan yang dinilai tidak berpihak dan melindungi kepentingan petani tradisional.

Di desa sidodadi kec. Teluk pandan kab. Pasawaran terdapat lebih dari 50 KK perempuan petani terancam kedaulatannya atas pangan, dengan adanya program pemerintah provinsi lampung yang mengacu pada kebijakan nasional Peraturan Menteri Pertanian no. 18/Permentan/OT.140/2/2010 Badan Pertahanan Pangan untuk menghimbau penanaman kakau/penyeragaman bibit dan pupuk kimia.

Melalui peraturan dan kebijakan ini tentunya mengancam produksi local dimana masyarakat umumnya menanam kopi, pisang, lada, dan ubi-ubian , harus merubah pola produksi yang sudah dilakukan secara turun menurun.hal ini mengancam hilangnya pengetahuan local perempuan di desa sidodadi dalam memproduksi pangan mereka. Dampak lain dari andanya penyeragaman bibit dan pupuk kimia mengancam kesehatan reproduksi perempuan, tanah menjadi tidak subur, muncul hama-hama baru dengan demikian hasil pertanian menurun yang berakibat pada pemiskinan danpeminggiran petani khususnya petani perempuan. di sisi lain perempuan di desa teluk bone cungkeng juga terancam kedaulatannya atas pangan dari hasil laut, melalui kebijakan perda RT/RW no 10 tahun 2011 terkait tata ruang wilayah pesisir yang berujung pada reklamasi berdampak pada hilangnya sumber-sumber penghidupan masyarakat pesisir dari hasil laut, hasil tangkapan ikan menjadi sedikit, dan harga pangan ikanpun mahal dipasaran sehingga perempuan pesisir kehilangan sumber penghidupan dari olahan pangan hasil laut. Selain itu kebijakan pemerintah provinsi lampung yang ingin menerbitkan perda terkait Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang tidak melibatkan masyarakat pesisir terutama perempuan pesisir dalam penyusunan perda tersebut akan mengancam kedaulatan pangan perempuan dari hasil laut.

Untuk itu pada hari pangan sedunia 2017 solidaritas perempuan bersama dengan perempuan petani sidodadi dan perempuan pesisir teluk bone cungkeng menyerukan kepada seluruh masyarakat di provinsi lampung untuk :

1. KEMBALIKAN SISTEM PERTANIAN TRADISIONAL
2. STOP PRODUKSI PANGAN IMPORT
3. LINDUNGI KEARIFAN LOKAL DAN PENGETAHUAN PEREMPUAN ATAS PANGAN
4. KEMBALIKAN KEDAULATAN PEREMPUAN ATAS BENIH.
5. STOP REKLAMSI YANG MENGANCAM KEDAULATAN PEREMPUAN ATAS PANGAN
6. STOP LIBERALISASI PERTANIAN
7. LIBATKAN MASYARAKAT / PEREMPUAN PESISIR DALAM PENYUSUNAN PERDA RZWP3K.

Selamat Hari Pangan Sedunia 2017, Perempuan Berdaulat Atas Pangan Lokal

 

 

Bandar lampung, 16 oktober 2017

Badan Eksekutif Komunitas
Solidaritas Perempuan Sebay lampung

Armayanti Sanusi, S.kom
Ketua

Translate »