Wacana kebangkitan dwifungsi ABRI semakin menguat pasca terpilihnya Prabowo–Gibran, terlihat dengan masuknya RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) ke dalam Prolegnas Jangka Menengah yang diusulkan oleh DPR RI sejak 2019. Penolakan revisi RUU TNI telah lama dilakukan oleh berbagai lapisan masyarakat, namun Pemerintah dan DPR RI Komisi 1 terus menggodok RUU tersebut.
Rapat tertutup yang dilakukan DPR RI di hari libur dan di hotel mewah di tengah efisiensi anggaran adalah bentuk pengkhianatan bagi masyarakat sipil dan semakin menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah terhadap perlindungan masyarakat sipil, khususnya perempuan. Perubahan substansi RUU TNI dari 10 menjadi 15 jabatan sipil di Kementerian/Lembaga dengan frasa “yang membutuhkan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden” semakin meluaskan kewenangan TNI, dengan dalih Solusi Pengelolaan Sumber Daya Nasional di Era Geopolitik Global. Data Imparsial menunjukkan bahwa sejak 2023 terdapat 2.500 prajurit aktif duduk di jabatan sipil.
Solidaritas Perempuan sebagai organisasi feminis dengan tegas menolak militerisme serta campur tangan militer di dalam kehidupan sosial, politik, ekonomi dan budaya. Watak otoritarianisme dan militerisme yang mendasari sistem pengelolaan negara tidak hanya memunculkan sistem yang sentralistik, represif, tertutup, korup dan menghambat kebebasan atau ekspresi politik perempuan dan masyarakat secara keseluruhan, tetapi juga telah berkembang jauh menjadi sistem pendukung yang efektif bagi keberlanjutan kepentingan ekonomi negara industri di Indonesia.
Berdasarkan pengalaman 34 tahun Solidaritas Perempuan bergerak bersama perempuan akar rumput, TNI kerap terlibat dan juga menjadi aktor dalam kekerasan yang dialami perempuan, seperti di konflik-konflik perampasan lahan demi proyek perkebunan skala besar di PTPN Takalar dan PTPN Cinta Manis hingga proyek iklim Geothermal di Poco Leok. Perusakan hutan yang menghilangkan sumber-sumber penghidupan di desa juga melibatkan TNI, termasuk dalam proses proyek Food Estate di Kalimantan Tengah. Pembungkaman masyarakat, khususnya perempuan yang tanahnya diklaim Bank Tanah di Kabupaten Poso, juga dilakukan oleh aparat TNI bersenjata lengkap. Bahkan di Makassar, Sulawesi Selatan, TNI turun langsung ke rumah masyarakat dan menanyai aktivitas setiap pemilik rumah, padahal TNI seharusnya berada dalam fungsi alat pertahanan, bukan di ranah sipil.
Yang diperlukan bukanlah perluasan jabatan sipil yang dapat diduduki oleh prajurit aktif TNI, tetapi justru pembatasan dan pengurangan peran TNI aktif untuk duduk di jabatan sipil, sebagaimana diatur dalam UU TNI. Jadi, jika ingin merevisi UU TNI, seharusnya jumlah jabatan sipil yang diatur dalam Pasal 47 Ayat (2) dikurangi, bukan ditambah, karena keterlibatan aparat militer yang terlalu besar dapat memicu konflik kepentingan di ranah sipil.
Oleh sebab itu, Perserikatan Solidaritas Perempuan dengan 634 anggota di seluruh Indonesia, bersama 12 komunitas dan 6.100 perempuan akar rumput dengan tegas menyatakan sikap terkait Revisi RUU TNI Polri:
- Menolak Revisi RUU TNI karena masih mengandung pasal-pasal bermasalah yang akan mengembalikan dwi fungsi TNI dan militerisme di Indonesia.
- Mengecam keras pelaksanaan pembahasan Revisi UU TNI yang dilakukan secara diam-diam di hotel mewah, dengan minim transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi publik, terutama dilakukan di akhir pekan dan akhir masa reses DPR.
- Mengecam kriminalisasi terhadap masyarakat sipil, termasuk dengan penggunaan pasal mengganggu ketertiban umum dan penghinaan terhadap penguasa bagi masyarakat yang menyuarakan pendapat terkait RUU TNI.
Mendesak Pemerintah dan DPR untuk berhenti membohongi rakyat dan berhenti menambah penindasan yang dialami perempuan dengan menghadirkan militer di ranah sipil.