Oleh: Irena Lucy
(Volunteer Divisi Kedaulatan Perempuan Melawan Perdagangan Bebas dan Investasi)
Dikutip dari website Mahkamah Agung, pada 19 Juni 2017 putusan kasasi telah diketok oleh Hakim Agung Yulius sebagai ketua majelis dengan dibantu oleh Hakim Agung Yosran dan Hakim Agung Irfan Fachruddin sebagai anggota majelis. Putusan yang dituangkan dalam Putusan Mahkamah Agung No. 92/K/TUN/LH/2017 menolak kasasi Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta sehingga izin reklamasi Pulau G dibenarkan. Putusan tersebut merupakan putusan atas permohonan kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 228/B/2016/PT.TUN.JKT yang telah membatalkan Putusan Pengadilan TUN No. 193/G/LH/2015/PTUN.JKT.
Solidaritas Perempuan bersama dengan Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta menilai bahwa putusan ini merupakan sebuah kejanggalan dan secara substansi tidak sesuai dengan asas-asas hukum lingkungan sehingga dapat menjadi preseden buruk dalam pembangunan proyek serupa di daerah lainnya. Majelis Hakim menolak permohonan para pemohon untuk mencabut izin reklamasi sebatas karena isu pencabutan kuasa terhadap kuasa hukum yang ditafsirkan oleh dua orang hakim sebagai bentuk ketidakinginan para pemohon untuk melanjutkan perkara tersebut.
Padahal ada soal yang lebih substantif, sebagaimana disampaikan oleh anggota Majelis Hakim Dr. Irfan Fachruddin, S.H., CN. (Hakim Anggota II) dalam musywarah Majelis Hakimsebagai dissenting opinion (perbedaan pendapat) Setidaknya ada tiga hal yang penting. Pertama, Hakim Anggota II menyatakan bahwa pencabutan kuasa pemohon terhadap kuasa hukum merupakan pencabutan sepihak yang bahkan dilakukan setelah permohonan kasasi dilakukan. Permohonan itu pun tidak pernah dicabut oleh para pemohon, sehingga seharusnya tidak menjadi bahan pertimbangan penolakan.
Kedua adalah apabila dilakukan pembenaran terhadap pertimbangan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta maka akan menjadi preseden buruk bagi pelaksanaan judicial control Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap tindakan pemerintah dan penegakan hukum administrasi negara di republik ini.. Hal ini penting mengingat harus ada perimbangan kekuasaan eksekutif dan legislatif oleh yudikatif.
Selanjutnya yang ketiga adalah perihal substansi dampak ekologis terhadap lingkungan hidup yang akan terjadi akibat reklamasi. Hakim Anggota II mempertimbangkan substansi izin terhadap reklamasi akan mempengaruhi stabilitas pola arus karena sebaran-sebaran kepadatan material urug dan muka permukaan air laut juga akan naik 10 cm dari palng ujung pulau reklamasi. Kemudian kemampuan laut untuk membersihkan dirinya akan berkurang secara drastis dengan reklamasi. Dampak fisik seperti perubahan hidro-oseanografi, erosi pantai, sedimentasi pantai, peningkatan kekeruhan, pencemaran laut, perubahan rezim ar tanah, peningkatan potensi banjir serta penggenangan di wilayah pesisir juga akan terjadi. Yang terakhir dampak biologis seperti terganggunya ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, estuaria serta penurunan keanekaragaman hayati juga tidak terhindarkan lagi.
Hal-hal tersebut di atas merupakan potensi dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi atas suatu rencana kegiatan. Dalam perbedaan pendapat putusan ini juga dielaborasi, bahwa dalam hal dampak ini tidak dapat dipulihkan (irreversible) serta mengakibatkan bencana besar (catastrophic), maka harus dilakukan tindakan-tindakan penghentian rencana dan kegiatan tersebut. Hal ini dikarenakan apabila dilakukan justru akan merugikan karena membutuhkan biaya yang jauh lebih besar untuk pemulihan di kemudian hari dibanding keuntungan yang didapatkan saat ini. Selain itu, dalam putusan Pengadilan Tata Usaha Negara tingkat pertama, majelis hakim mendukung penggunaan doktrin in dubio pro natura yang diejawantahkan melalui asas kehati-hatian (precautionary principle) bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan dan dampak buruk yang dapat terjadi baik terhadap lingkungan maupun manusia.
Belum lagi diketahui bahwa proyek reklamasi Pulau G ini memegang dasar hukum yang cukup lemah. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana tidak adanya izin lokasi yang diterbitkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, Perpres No. 3 Tahun 2016 dan Permen KP No. 17/PERMEN-KP/2013 serta kebijakan lain yang berhubungan dengan reklamasi. Kemudian, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) juga belum ada sehingga tidak dijadikan acuan dalam pembuatan dokumen-dokumen perizinan seperti izin lingkungan, amdal dan sebagainya. Yang terakhir adalah hal terpenting, yaitu bagaimana keterlibatan masyarakat terdampak tidak ada dalam penyusunan dokumen-dokumen terkait proyek reklamasi. hal ini akan berdampak terhadap berjalannya reklamasi dan dampaknya tanpa ada perspektif dari masyarakat terdampak. Khususnya jika memperhatikan bahwa pesisir sebagai wilayah yang paling terkena dampak reklamasi merupakan wilayah kelola perempuan, maka penting untuk adanya upaya afirmasi pelibatan perempuan yang bermakna. Namun hal ini sama sekali tidak dipedulikan oleh pemerintah.
Pada akhirnya, kelemahan akan dasar hukum izin reklamasi ini juga secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana kajian-kajian lingkungan hidup dan potensi dampak terhadap warga, khususnya perempuan, yang dilakukan sangat lemah. Namun hal ini semakin miris karena bahkan didukung oleh putusan pengadilan yang dapat menjadi yurisprudensi bagi kasus-kasus serupa di masa depan. Hal ini juga menunjukkan bagaimana berantakannya pengaturan dan pelaksanaan proyek reklamasi di Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah.
Lampiran Putusan Kasasi Pulau G