RCEP Akan Memperburuk Ekonomi Indonesia di Tengah Pandemi

Siaran Pers
Koalisi Masyarayat untuk Keadilan Ekonomi
14 November 2020

Indonesia saat ini telah berada pada kondisi resesi berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik  di  kuartal  ketiga  tahun  2020  ini.  Negara-negara  berkembang  termasuk Indonesia diprediksi akan mengalami dampak jangka panjang kerugian ekonomi dari masa pandemi lebih berat dan akan membutuhkan waktu lebih lama untuk bisa pulih kembali.

Di tengah situasi ini pemerintah Indonesia justru bersiap menandatangani perjanjian perdagangan bebas kawasan Asia-Pasifik, RCEP pada tanggal 15 November 2020 mendatang. Dalam pandangan ahli ekonomi Rashmi Banga, dari badan PBB untuk perdagangan dan pembangunan UNCTAD, aturan-aturan liberalisasi dalam RCEP akan sangat membatasi ruang kebijakan Negara, dan akan menyulitkan Negara-negara ASEAN  untuk  keluar  dari  krisis  multidimensi,  kesehatan,  ekonomi  dan  iklim,  yang tengah dihadapi saat ini.

Analisis yang dilakukan Rashmi Banga, menunjukkan kerugian yang akan dialami Negara-negara ASEAN dari perjanjian RCEP ini mencapai 22 milyar USD, dimana Indonesia sendiri akan mengalami defisit perdagangan barang hampir 1,4 milyar USD dari kehilangan tarif akibat RCEP. Menurut Banga, sejumlah sektor di Indonesia yang akan  sangat  dirugikan  diantaranya  otomotif,  produks  besi  baja,  gula  dan  pangan olahan.

Senada dengan situasi tersebut, Direktur Eksekutif IGJ mengatakan bahwa “Perjanjian RCEP berpeluang besar merugikan perekonomian dan ruang hidup masyarakat Indonesia. Bila dikalkulasikan ekonomi Indonesia dengan gabung di RCEP hanya akan tumbuh 0,05% di tahun 2030. Ini kontras dengan narasi pemerintah yang mengharapkan ekonomi membaik dari RCEP, justru sebaliknya Indonesia yang akan sasaran pasar bagi Negara dagang RCEP.

Tidak hanya itu, setiap perjanjian perdagangan bebas yang dikomitmenkan oleh Pemerintah tidak mengukur analisis dampak HAM, sosial dan lingkungan dari sebuah perjanjian dagang, termasuk perjanjian RCEP. Tidak adanya analisis dampak HAM, sosial dan lingkungan akan mengakibatkan pelanggaran hak-hak sosial masyarakat maupun perampasan ruang hidup rakyat”. Tegas Rachmi.

Sementara Arie Kurniawaty, Koordinator Program Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan,  menyebutkan  .  “Klaim  Menteri  Perdagangan  bahwa  kerja  sama ekonomi  RCEP  akan  mendongkrak  UMKM  adalah  klaim  sepihak  yang  tidak berdasar. Faktanya, hingga hari ini banyak usaha kecil yang dikelola oleh perempuan mengalami kesulitan untuk bangkit akibat terpukul oleh pandemic COVID-19. Bagaimana jika nanti akses pasar terbuka lebar. Banyak perempuan pelaku usaha kecil yang dengan kapasitas terbatas harus bersaing dengan produksi massal dari negara lainnya dengan dukungan dan kapasitas yang lebih maju. Peluang apa yang bisa dimanfaatkan dari RCEP juga tidak diketahui pasti karena  teks  yang  dinegosiasikan  tidak  pernah  disampaikan  kepada  publik, apalagi dikonsultasikan. Ini betul-betul klaim sepihak,” kata Arie Kurniawaty,

Arie  menjelaskan,  usaha  pangan  olahan,  khususnya  skala  kecil,  yang  merupakan sektor  yang  sangat  banyak  dilakoni  oleh  perempuan.  Hal  ini  karena  sangat  lekat dengan  peran  gender  yang  dilekatkan  terhadap  perempuan.  Berdasarkan  data Kemenko PMK, kontribusi UMKM Uusaha mikro, kecil, menengah) yang dikelola oleh perempuan terhadap PDB di Indonesia mencapai hingga 9,1%. Sayangnya, menurut Arie,   peran   ini   tak   terlihat   dan   tak   diakui   sehingga   perempuan   tak   pernah diperhitungkan situasi spesifiknya termasuk dalam negosiasi perjanjian perdagangan seperti RCEP.

Hilangnya  ruang  kebijakan  dan  fiskal  akibat  perjanjian  perdagangan  bebas  seperti RCEP tidak bisa dilepaskan dari situasi dalam negri yang juga telah membuka lebar liberaralisasi perdagangan dan investasi melalui sejumlah kebijakan, seperti UU Cipta Kerja yang telah disahkan. Ketika di dalam negeri perlindungan hak asasi manusia, tenaga kerja dan lingkungan hidup semakin disempitkan dengan UU Cipta Kerja, penandatanganan RCEP oleh pemerintah akan secara penuh menyerahkan Indonesia dalam rekonfigurasi liberalisasi ekonomi pasar global melalui ekspansi produksi, distribusi, dan reproduksi kapital. Hal ini tentu akan memperparah perebutan hak-hak rakyat   dan   juga   ekonomi   nasional   yang   sudah   terpukul   akibat   pandemic berkepanjangan.

Bahkan hingga hitungan hari menjelang penandatangan RCEP, teks perjanjian tidak dibuka  kepada  publik  bahkan  tidak  juga  kepada  parlemen.  Sangat  penting  bagi parlemen dan masyarakat untuk bisa mencermati dan mengkritisi perjanjian ini yang akan memiliki implikasi jangka panjang terhadap Negara dan seluruh rakyat Indonesia. Jaringan masyarakat sipil yang terdiri dari berbagai pihak, perempuan, petani, nelayan, peneliti yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat untuk Keadilan Ekonomi mendesak pemerintah   untuk   tidak   menandatangani   RCEP   yang   justru   akan   semakin memperparah krisis multidimensi yang tengah dihadapi Indonesia hari ini.

Kontak:

Arie Kurniawati 0812 8056 4651
Rachmi Hertanti 0817 4985 180

Translate »