Solidaritas Perempuan bersama kelompok muda perempuan melakukan diskusi bersama dalam Kemah Feminis Muda. Kegiatan ini dilakukan selama 7-9 November 2022 di Kubu Bali WCC, Tabanan, Bali. Kegiatan ini dihadiri oleh 24 puan-puan muda dari Aceh hingga Maluku. Masing-masing peserta membagikan pengalamannya sebagai perempuan dan situasi yang mereka hadapi di masing-masing wilayah, sehingga tema yang diangkat dalam kemah adalah “Suar Suara Perempuan”. Sebagaimana makna suar yang berarti nyala api (lentera), suara perempuan yang ada diharapkan akan terus menyala bersama dengan perjuangan perempuan.
Selama 3 hari kegiatan, peserta berdiskusi dan mengenali diri mereka masing-masing dengan membagikan dan menganalisis pengalaman yang mereka miliki sebagai perempuan, hingga permasalahan apa saja yang mereka miliki baik dalam keluarga, komunitas, dan negara. Keberagaman latar belakang yang para peserta miliki membantu mereka memperkaya perspektif dan pengetahuan mereka. Dari diskusi yang berjalan, para peserta berpartisipasi aktif dalam membentuk kesadaran kritis dalam diri mereka.
Dalam memperjuangkan haknya, perempuan kerap kali dihadapkan dengan berbagai macam situasi. Untuk itu, penting untuk melihat permasalahan melalui pisau analisis interseksionalitas, di mana penindasan berlapis yang dialami oleh perempuan tidak terlepas dari permasalahan multidimensional. Sehingga, untuk memperjuangkan tujuannya, perempuan perlu menggalang kekuatan kolektif yang dapat melihat permasalahan secara bersama-sama.
Salah satu peserta Kemah Feminis Muda dari Makassar, Saskia Salsyam menyatakan bahwa perempuan, terkhusus perempuan akar rumput mempunyai beban berlapis-lapis. Konstruksi masyarakat telah membatasi akses perempuan, ditambah dengan kebijakan yang tidak berpihak pada perempuan sehingga perempuan kehilangan kontrol atas sumber daya yang ada di sekitarnya. Hal ini tidak terlepas dari pemangku kebijakan yang punya kepentingan untuk mengamankan bisnisnya dan terus memperkaya diri. Salah satu yang paling tampak adalah pemulihan yang dijadikan kedok dalam memperkaya pemangku kuasa yang biasa disebut sebagai oligarki. Melalui G20, negara justru membuka proyek-proyek investasi yang tidak berpihak pada rakyat karena prosesnya yang memiskinkan masyarakat.
Bagi Kia, Kemah Feminis justru telah membuka pandangannya jauh lebih luas. “Di Kemah Feminis Muda ini saya belajar banyak hal bahwa untuk isu feminis bukan hanya sekedar kita bicara kasus saja, tetapi banyak hal semisal iklim, buruh migran, dan agraria yang bersentuhan dengan semisal perampasan lahan. Jadi, Kemah Feminis Muda ini mengajarkan banyak hal karena saya langsung bertemu dengan teman-teman yang punya pengalaman yang sangat luar biasa dan itu adalah sumber pengetahuan.”
Melalui Kemah Feminis Muda, peserta juga merasakan solidaritas yang tumbuh melalui cerita yang dibagikan sehingga memunculkan kolektivitas di antara peserta. Bagi Rizki Mareta, kolektivitas sangat diperlukan kelompok muda hari ini. “Kolektif itu biasanya bergerak dari akar rumput, di masyarakat secara langsung. Dengan berkolektif kita bisa nyatuin pandangan yang berbeda, dengan terbiasa berkolektif, nanti bersama-sama yang lain juga gak akan ada egoisme di dalamnya, karena sejak awal kita gak ada rasa memiliki satu nama saja, tapi kita punya nama yang banyak dengan bergerak bersama.” Tutur Mareta.
Senada dengan Mareta, Rizki Anggarini atau yang akrab disapa Kiki juga menegaskan pentingnya untuk membangun kolektivitas dan menyuarakan keresahan perempuan. “Aku pikir kita harus membangun kekuatan bersama dan kembali lagi kepada feminisme itu sendiri sebagai sebuah pengetahuan dan juga cara kita melawan sebuah sistem yang juga sangat merugikan masyarakat. Feminisme sebagai suatu sistem aku pikir ada banyak sekali caranya. Dengan membangun solidaritas, membangun kolektif, memproduksi pengetahuan-pengetahuan lokal, mengamplifikasi suara-suara yang selama ini tidak terdengar ke permukaan, suara-suara perempuan akar rumput. Mendokumentasikan pengalaman serta ilmu mereka secara baik.” tutur Kiki.