PERNYATAAN SIKAP BERSAMA “Keprihatinan Terhadap Hibah FCPF Bank Dunia yang Abaikan Kepentingan Masyarakat”

Thursday, 23 June 2011 10:04
Solidaritas Perempuan, CAPPA, YPD dan Ulu Foundation

Jakarta, 23 Juni 2011

Hari ini, tanggal 23 Juni 2011 Kementerian Kehutanan merayakan perolehan hibah Bank Dunia dalam kerja sama Forest Carbon Partnership Facility (FCPF) untuk kegiatan REDD+ Readiness Preparation Support sebesar US$ 3,6 juta. Lokakarya Peluncuran FCPF tersebut dilakukan dengan mengundang berbagai kalangan mulai dari para duta besar, wakil-wakil kementrian terkait dan Kementerian Kehutanan, lembaga keuangan dan donor, dan juga wakil-wakil LSM dalam dan luar negri. Lokakarya bertujuan untuk memberikan informasi dan juga memperoleh masukan untuk pelaksanaan kerja sama tersebut. Keseriusan memperoleh masukan dalam lokakarya ini, patut dipertanyakan. Sebab, undangan dikirimkan hanya 3 hari sebelum lokakarya, dan tidak ada dokumen yang dibagikan untuk dipelajari sebelumnya.

Heboh peluncuran FCPF menyembunyikan begitu banyak persoalan yang terkandung dalam proses dan substansi hibah itu sendiri.

Hibah ini mengabaikan penyebab utama persoalan hutan di Indonesia, yaitu klaim negara atas tanah dan hutan milik masyarakat adat dan setempat. REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation) masuk ke wilayah yang sampai saat ini sarat konflik kepentingan. Masyarakat yang hidupnya bergantung pada hutan sampai saat ini terus berhadapan dengan korupsi, tidak ada kepastian dan pelaksanaan hukum, penindasan kelompok elit politik dan ekonomi yang memanfaatkan aparat militer dan para-militer. Persoalan yang berkaitan dengan deforestasi dan degradasi hutan bukanlah merupakan persoalan yang berkaitan dengan urusan pohon-pohon saja dan konservasi pohon; melainkan lebih dari itu, merupakan persoalan masyarakat yang hak milik dan hak hidupnya dirampas.

Hibah Bank Dunia mengabaikan realitas bahwa pelanggaran hak azasi manusia terjadi akibat perampasan ini. Pengabaikan ini hanya akan meningkatkan masalah yang dihadapi oleh masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan di Indonesia, secara kultural, sosial, ekonomi dan politik.

Pengabaikan ini terlihat dari proses yang buruk dalam memperoleh persetujuan dari masyarakat, termasuk perempuan; kegagalan dalam melihat kebutuhan mendesak penerapan aturan yang mampu melindungi masyarakat dalam proses persiapan dan tahap uji coba; kegagalan untuk belajar dari proyek-proyek uji coba yang sudah menimbulkan konflik dengan masyarakat; dan pengabaikan kepentingan perempuan untuk ikut dalam mengambil keputusan.

Keprihatinan terhadap proses yang buruk dalam memperoleh persetujuan dari masyarakat, termasuk perempuan

Hibah Bank Dunia banyak menggumbar janji berkaitan dengan partisipasi dan konsultasi masyarakat. Namun realitasnya, proses undangan peluncuran pun tidak memenuhi standar dasar partisipasi dan transparansi.

Rencana konsultasi publik FCPF yang akan dipaparkan dalam Lokakarya Peluncuran, tidak dibangun secara transparan dan partisipatif, melainkan dilakukan secara sepihak oleh Dewan Kehutanan Nasional dan Bank Dunia. Padahal hibah mengklaim bahwa konsultasi akan mengikutsertakan masukan dari masyarakat adat dengan menggunakan prinsip ‘free, prior and informed consultation leading to broad community support’ (konsultasi yang bebas/tanpa tekanan dengan informasi yang diberikan sebelumnya sehingga bisa memperoleh dukungan masyarakat secara luas).

Berdasarkan prinsip ini seharusnya rencana konsultasi publik dibangun oleh masyarakat adat dan masyarakat yang bergantung pada hutan sebagai pemangku kepentingan utama dalam persoalan ini. Banyak hal yang masih perlu dijawab oleh Kementrian Kehutanan dan Bank Dunia berkaitan dengan hal partisipasi dan konsultasi, misalnya:

  • Bagaimana aplikasi UNDRIP (United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples) yang berbicara mengenai ‘consent’ (persetujuan) dan bukan ‘consultation’ (konsultasi)?
  • Siapa yang membangun strategi untuk konsultasi dengan masyarakat yang kehidupannya bergantung pada hutan? Sejauh mana mereka dilibatkan dalam perencanaan konsultasi?
  • Siapa yang menentukan perwakilan dari masyarakat yang bergantung pada hutan, untuk terlibat dalam konsultasi-konsultasi tersebut?
  • Bagaimana membangun proses konsultasi dan melakukan konsultasi yang bebas dan tanpa paksaan, dengan informasi yang jelas dan benar, mengingat maraknya konflik dan pelanggaran HAM yang terjadi akibat perampasan tanah, hutan dan sumber-sumber kehidupan lainnya yang selama ini dialami oleh masyarakat yang bergantung pada hutan?

Keprihatinan terhadap pengabaian penerapan aturan perlindungan

Hibah ini tidak menerapkan aturan perlindungan dalam proses persetujuannya oleh Bank Dunia dengan alasan bahwa hibah tidak untuk membiayai proyek REDD+ sehingga tidak ada dampak langsung dari hibah ini. Padahal, hibah ini antara lain memberikan arah investasi REDD+ di Indonesia dan opsi-opsi bagi hasil. Tanpa adanya sebuah penilaian sejauh mana dampak dari arahan ini terhadap keberlanjutan lingkungan dan kehidupan ekonomi, sosial, politik dan kultural masyarakat, maka hasil yang dicapai melalui hibah ini juga mencerminkan pengabaian terhadap situasi masyarakat tersebut.

Pengabaikan aturan perlindungan juga dibenarkan oleh hibah Bank Dunia ini dalam arahan pelaksanaan proyek hibah ini, misalnya:

  • Tidak perlu mengembangkan Rencana Pengembangan Masyarakat Adat secara khusus karena aspek ini sudah diintegrasikan ke berbagai kegiatan dalam hibah ini. Apabila hal ini diabaikan, jelas kepentingan-kepentingan masyarakat adat tidak akan secara khusus diperhatikan.
  • Dokumen proyek hibah menyatakan bahwa tidak akan ada penggusuran sebagai bagian dari kegiatan REDD+. Jelas hal ini mengundang persoalan di masa depan karena dua hal: (1) kegiatan di sektor kehutanan dan konservasi banyak menimbulkan penggusuran mereka yang hidupnya bergantung pada hutan; (2) apabila diperkirakan tidak akan terjadi penggusuran, maka harusnya sudah menjadi ketentuan dalam kegiatan REDD+ bahwa tidak boleh terjadi penggusuran. Sebaliknya, kerangka kebijakan yang ada dalam hibah di lain pihak menyatakan bahwa penggusuran akan berusaha dihindari sebisa mungkin. Ini merupakan sebuah ketentuan yang lemah dan bisa melegitimasi penggusuran masyarakat dari wilayah hutan.

Keprihatinan terhadap pengabaian kepentingan perempuan untuk ikut dalam mengambil keputusan

Dalam dokumen hibah FCPF untuk Indonesia (ISDS, 02/25/2011) tidak secara eksplisit diatur mengenai pelibatan perempuan dalam proses-proses pengambilan keputusan:

  • Dalam studi penyusunan TOR, ketentuan -ketentuan yang mengikuti ketentuan Bank Dunia pada penilaian lingkungan, habitat alam, sumber daya dan budaya fisik, pemukiman kembali, dan masyarakat adat saja; sementara aspek gender tidak dilakukan/direncanakan.
  • Masukan para pemangku kepentingan dan masyarakat adat diharapkan dalam proses konsultasi, tetapi tidak dipertimbangkan perlunya masukan dari perempuan
  • Kerangka acuan SESA (Strategic Environmental and Social Assessment) tidak memastikan keterlibatan perempuan dalam keseluruhan diskusi terkait dengan hal-hal yang mempengaruhi kehidupan mereka, misalnya mekanisme berbagi pendapatan/keuntungan. Seharusnya diskusi yang dibangun tidak hanya terkait dengan mekanisme pendapatan/keuntungan, tetapi juga terkait dampak yang akan merugikan kehidupan mereka.
  • Kerangka Kerja ESMF (Environmental and Social management Framework) akan memberikan pertimbangan terhadap sumber kehidupan dan hak, termasuk hak masyarakat adat, dan seterusnya. Namun, tidak ada pertimbangan dan perhatian terhadap hak – hak perempuan.

Kontak Person:
Puspa Dewy : 0852 6024 1597 pdewy@solidaritasperempuan.org
Rivani Noor : 0812 7414 5333 rivani@cappa.or.id

Translate »